SETELAH pembunuhan Benazir Bhutto (54 tahun), transisi politik Pakistan menuju demokrasi di bawah pemerintahan sipil, mengalami jalan buntu. Aksi teror di Rawalpindi, pusa konsentrasi tentara Pakistan di Pakistan Utara untuk menangkal infiltrasi gerilyawan Afghanistan, menimbulkan tanda tanya besar: kalau betul pembunuhan itu dilakukan oleh Al-Qaeda, seperti klaim komandan mereka di Afghanistan, Mustafa Abu al-Yazid, lantas apa kerja intelligence dan tentara Pakistan di Rawalpindi?
Sebaliknya, apabila pembunuhan Bhutto didalangi oleh militer, seperti tuduhan sebagian anggota partai oposisi, betapa konyolnya langkah ini, setelah Pervez Musharraf berhasil bertahan jadi Presiden Pakistan, dengan mencopot seragam militernya?
Reaksi dunia terhadap pembunuhan mantan Perdana Menteri Pakistan ini sangat keras, dan kadang-kadang sedikit berlebihan. Tulis Andrew C. McCarthy, di National Review di AS, yang disebarkan oleh Jihad Watch, 27 Desember lalu, Benazir Bhutto "dibunuh oleh Pakistan yang sesungguhnya" (killed by the real Pakistan). Pakistan yang didominasi oleh kaum fundamentalis Islam, menurut McCarthy, tidak menerima diperintah oleh perempuan.
Analisis ini jelas keliru. Kenyataan bahwa Benazier dua kali terpilih menjadi Perdana Menteri menunjukkan bahwa rakyat Pakistan dapat menerima kepemimpinan perempuan yang kehidupan pribadinya sangat sekuler dan borjuis. Dua kali kejatuhannya bukan karena dia perempuan, tapi karena dia dan suaminya menyelewengkan berjuta-juta "poundsterling" kekayaan rakyatnya.
Satu hal sudah jelas. Pembunuhan Bhutto memicu serangkaian kerusuhan yang bisa menjurus ke pemberontakan terbuka terhadap rezim Musharraf yang didukung tentara. Mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif, mantan lawan politik Bhutto yang telah beraliansi dengannya untuk melawan Musharaff, menyatakan akan memboikot pemilu yang dijadualkan Januari mendatang, sebagai penghormatan bagi Benazir.
Menjelang pemakaman jenazah Bhutto, kerusuhan sosial merembet ke seluruh negara. Di Karachi, Tando Allahyar, Lahore, Multan dan Peshawar para pendukung Bhutto dari Partai Rakyat Pakistan bentrok dengan aparat keamanan, sambil membakar sejumlah bank, toserba milik pemerintah dan toko swasta. Walaupun seluruh negara sudah dinyatakan dalam keadaan darurat, korban jiwa dan luka-luka terus berjatuhan. Di Tando Jam, para demonstra menghentikan kereta api, menyuruh penumpangnya turun, lalu membakar kereta api itu.
Sudah dapat diperkirakan, siapa yang akan memancing di air keruh. Seperti sering terjadi di negara-negara lain, kemungkinan besar militer Pakistan akan mengambil alih kekuasaan, dengan alasan 'mengembalikan keamanan dan ketertiban', sampai keadaan cukup tenang untuk menyelenggarakan pemilu.
Dominasi militer Pakistan pada gilirannya akan semakin mengabadikan kehadiran pasukan AS di Pakistan dan Afghanistan. Sebelum pembunuhan Bhutto pun, militer AS telah berencana mempertinggi kehadiran mereka di Pakistan, yang dianggap semakin mantap menjadi basis gerilyawan Taliban dari Afghanistan. "Talibanisasi" Pakistan barat-laut, begitu istilah lembaga riset keamanan AS, Strategic Forecasting, merupakan alasan buat peningkatan satuan-satuan khusus militer AS di Pakistan. Ketakutan akan bahaya "Talibanisasi" dilatarbelakangi kenyataan bahwa penduduk kawasan barat laut Pakisan berasal dari suku Pashtun. Gerilyawan Taliban pun sebagian besar berasal dari suku ini. Bahkan menurut sensus terakhir, ada sebelas juta orang Pashtun yang menjadi warga negara Pakistan, lebih banyak dari yang ada di Afghanistan.
Eskalasi kehadiran satuan-satuan khusus militer AS di perbatasan kedua negara tetangga itu didukung oleh Pj. Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, dan Presiden Pakistan, Pervez Musharraf. Dalam pertemuan kedua negara Asia Tengah itu di Islamabad, beberapa waktu lalu, kata Karzai: "Afghanistan dan Pakistan adalah saudara kembar, bahkan kembar Siam yang tubuhnya terikat jadi satu" (jihadwatch, 27 Desember 2007).
Jadi, terlepas benar-tidaknya tuduhan bahwa militer Pakistan mendalangi pembunuhan Bhutto, peningkatan aksi-aksi teror itu serta kerusuhan sosial yang terpicu oleh pembunuhan politik tingkat tinggi itu menjustifikasi hegemoni militer Pakistan. Mereka, pada gilirannya, didukung oleh satuan-satuan khusus militer AS di wilayah perbatasan negeri itu dengan Afghanistan.
Membendung bahaya teroris Muslim militan, tentu saja, merupakan justifikasi militer AS. Namun di balik alasan formal itu, kehadiran tentara AS – dengan dukungan sekutu-sekutu lokalnya – berfungsi melindungi kehadiran industri migas AS di wilayah Asia Tengah. Khususnya, pipa migas dari Turkmenistan ke Pakistan, melintasi Afghanistan, tanpa melintasi wilayah Iran yang tidak bersahabat dengan AS.
Pembangunan pipa migas sepanjang 1.667 kilometer itu direncanakan oleh Unocal, bekerjasama dengan perusahaan Saudi Arabia, Delta Oil Company. Pipa itu akan dapat mengalirkan satu juta minyak bumi sehari dari ladang minyak di Turkmenistan Timur ke pangkalan di pantai Pakistan. Untuk itu didirikanlah Central Asia Gas Pipeline Limited (CentGas), dengan Unocal dan Delta Oil sebagai pemegang saham utama, serta sejumlah perusahaan Turkmenistan, Rusia, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia sebagai pemegang saham ikutan. Impex (Indonesia Petroleum), adalah perusahaan Indonesia yang
memiliki 6,5% saham CentGas.
Namun rencana itu ditolak oleh rezim Taliban. Ini mendorong AS mengganti rezim itu dengan rezim baru yang lebih bersahabat dengan industri migas AS, setelah menggempur Afghanistan habis-habisan. Tidak kebetulan Hamid Karzai serta Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, pernah bekerja sebagai konsultan Unocal.
Tokoh-tokoh Afghanistan pilihan AS itu tentu lebih mudah bekerjasama dengan Kabinet Presiden George W. Bush, Jr, yang sarat orang-orang migas, mulai dari Wakil Presiden Dick Cheney s/d Menlu Condoleeza Rice. Cheney adalah mantan boss Halliburton Group, kontraktor perusahaan-perusahaan migas AS yang juga kontraktor logistik perang pasukan AS di berbagai penjuru dunia, dan ironisnya, juga kontraktor rekonstruksi Afganistan dan Irak. Sedangkan Rice mantan boss Unocal. Setelah Unocal lebur ke dalam ChevronTexaco perusahaan itu menamai salah satu supertankernya yang terbaru, Condoleeza Rice. Juga mantan Dubes AS untuk Pakistan, Robert Oakley, pernah bekerja untuk Unocal.
Jadi, sebagaimana halnya pemboman gedung kembar WTC di New York pada tanggal 11 September 2001 memberikan alasan pada AS untuk membom Afghanistan guna mendudukkan rezim baru yang lebih pro-industri migas AS di Kabul, pembunuhan Benazir Bhutto dapat memberikan alasan bagi AS untuk mendukung re-militerisasi Pakistan.***
George Junus Aditjondro adalah pengamat ekonomi politik industri migas di mancanegara.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian sore Suara Pembaruan 29-12-07.