Dani Setiawan
DARI sedikit sidang-sidang yang saya ikuti di Mahkamah Konstitusi (MK), persidangan untuk menguji Undang Undang Penanaman Modal (UUPM) Nomor 25 tahun 2007, terhadap Undang Undang Dasar 1945, merupakan babak baru pertarungan dua kutub pemikiran ekonomi Indonesia.
Kami para pemohon berpendapat, UUPM hadir dalam nuansa yang sama sekali jauh dari semangat mengedepankan kepentingan nasional. Lebih jauh, UU ini dibuat sekadar melayani keinginan mengubah struktur perekonomian nasional ke arah yang lebih liberal dan terbuka. Meletakkan asas perlakukan yang sama dan kebebasan dominasi ke pemilikan saham bagi investor asing di hampir semua sektor, hanya akan melahirkan ketidakadilan ekonomi di Indonesia.
Peningkatan kepemilikan asing pada sektor-sektor strategis, seperti telekomunikasi, perbankan, air, minyak dan gas, pertambangan, telah menyebabkan kesenjangan antara kepemilikan asing dan domestik semakin parah. Dampak langsung yang dialami saat ini adalah proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan asing itu tidak dilakukan untuk memuaskan keperluan di dalam negeri, melainkan untuk pasar dunia yang menjamin keuntungan yang sebesarbesarnya.
Pengujian terhadap sebuah undang-undang 'liberal' yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, bukanlah hal baru bagi MK. UU Ketenagalistrikan nomor 20 tahun 2002, UU Minyak dan Gas nomor 22 tahun 2001, UU Sumber Daya Air nomor 7 ta hun 2004, UU APBN 2005 dan 2006, adalah sedikit dari produk perundang-undangan yang dihasilkan DPR dan pemerintah yang dimohonkan untuk diuji, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan, tiga dari undang-undang tersebut (UU Ketenagalistrikan, tiga pasal dalam UU Migas, dan UU APBN 2005 dan 2006, khususnya mengenai anggaran pendidikan 20 persen) telah divonis bertentangan dengan konstitusi.
Jika dilihat isi satu persatu undang-undang tersebut, jelas bahwa pemerintahan pascareformasi berusaha melakukan liberalisasi sektor-sektor ekonomi secara total di Indonesia. Parahnya, belakangan diketahui, penyusunan undang-undang tersebut juga melibatkan lembaga-lembaga donor dan pemberi pinjaman seperti USAID, Bank Dunia, ADB, dan IMF.
Ekonomi vs Konstitusi
Dalam ruang sidang Mahkamah Konstitusi terungkap, arah perekonomian nasional menurut pemerintah dan juga para ahlinya, harus sesuai dengan dinamika ekonomi yang terjadi di tingkat internasional.
Dinamika yang dimaksud adalah aturan perdagangan internasional dalam WTO, keterlibatan lembaga-lembaga keuangan multilateral dalam perekonomian global, serta perjanjian perdagangan antarnegara. Singkatnya, globalisasi ekonomi dipahami oleh pemerintah sebagai tuntutan zaman yang tak mungkin dan tak perlu dihindari. Sekaligus, menjadi peluang bagi kemajuan ekonomi sebuah negara bila mampu memanfaatkannya.
Implikasi paling serius dari pemikiran ini adalah cara pandang pemerintah menetapkan cabang-cabang produksi yang dianggap penting dan strategis untuk melayani hajat hidup orang banyak. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Chatib Basri (MCB), salah seorang ahli dari pemerintah, yang berpendapat bahwa dalam perekonomian yang semakin berubah ini (baca: globalisasi), tidak mungkin menetapkan cabang-cabang produksi yang dianggap penting secara permanen. Bahkan, jika dibuat definisinya secara permanen, MCB mengkhawatirkan hal tersebut cenderung menjadi absolut, usang, dan anti perubahan.
Lebih jauh, keterangan tertulis yang disampaikan pemerintah menyebutkan, seiring dengan perubahan ekonomi di tingkat global, komposisi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak juga berubah. Pemerintah bahkan secara terang-terangan mengajukan skema hukum pasar (supply and demand) dalam menentukan sebuah barang atau jasa yang masuk dalam kategori cabang-cabang produksi yang penting bagi negara tersebut.
Sampai di sini, ada baiknya kita menguraikan penjelasan mengenai pasal 33 UUD 1945 yang menjadi pangkal perdebatan ini. Konteks historis kemunculan pasal 33 dalam UUD 1945, secara jelas dimaksudkan untuk mengoreksi struktur perekonomian Indonesia yang berwatak kolonial. Di mana perusahaan besar dan perusahaan menengah berada di tangan bangsa asing dan warga keturunan. Sementara, rakyat Indonesia hanya menjadi kuli dari keseluruhan proses produksi yang sedang berlangsung.
Hatta (1967) menyebut pasal 33 sebagai sendi politik perekonomian nasional yang tercantum cita-cita ekonomi berencana, di mana pemerintah memiliki peranan yang menentukan. Ayat (1), (2), dan (3) Pasal 33 merupakan bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi, dimana terdapat pembagian yang jelas antara sektor-sektor yang dapat di selenggarakan secara privat dengan sektor-sektor yang harus diselenggarakan secara kolektif.
Dalam sistem Pasal 33 UUD 1945, perusahaan yang kecil dan sedang besarnya dapat dikerjakan oleh koperasi. Dan usaha yang besar-besar di kerjakan oleh pemerintah. Bukan saja perusahaan yang tergolong masuk "public utilities" diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan juga cabang-cabang produksi yang penting seperti industri dasar, tambang dan lain-lainnya dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah.
Dalam pengelolaannya, Hatta menyebutkan, pemerintah dapat menyerahkan manajemen perusahaan kepada orang-orang yang cakap dan tenaga ahli yang disewa dari luar negeri, asalkan dapat dipercaya dan ber tanggung jawab kepada pemerintah.
Bagaimana dengan keberadaan usaha swasta. Inisiatif partikelir (swasta) tetap diberikan tempat oleh pemeritah asalkan, sejalan dengan strategi perekonomian yang telah dibuat. Namun, seiring dengan meningkatnya kemampuan koperasi untuk mengelola usaha-usaha sedang dan besar, pihak swasta diharapkan semakin kecil peranannya dalam perekonomian nasional. Hal tersebut sejalan dengan semangat kolektifitas yang menjadi ciri dalam pengelolaan perekonomian Indonesia merdeka yang dicita-citakan.
Penjelasan di atas, hendaknya menjadi petunjuk yang objektif bahwa inisiatif pengelolaan ekonomi Indonesia, sesuai dengan konstitusi, tidaklah muncul dari kalangan swasta atau asing. Sebagaimana dikhawatirkan Hatta, suatu politik perekonomian yang didasarkan pada inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi masuknya kapitalis asing ke Indonesia. Dan, dengan itu, sejarah kolonialisme ekonomi, berulang kembali.
Dari proses persidangan UUPM yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, saya semakin menyadari bahwa tekanan untuk mengubah pasal 33 sudah sedemikian kuat. Konstitusi seringkali dipersalahkan karena dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan nafsu serakah para penjajah ekonomi dan kaki tangannya di Indonesia. Sekarang, mereka lebih suka mengadili konstitusi ketimbang melaksanakannya.***
Dani Setiawan,
Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU).
Artikel ini sebelumya telah dimuat di harian Bisnis Indonesia, 27/12/2007.