Coen Husain Pontoh
DUA artikel dari Indrasari Tjandraningsih, yang secara khusus membahas soal pasar kerja fleksibel (lihat di sini dan di sini), menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Paling tidak, ada dua hal yang membuatnya menarik. Pertama, Tjandraningsih dengan jernih menunjukkan sisi-sisi buruk dari pasar kerja fleksibel; dan kedua, menurut Tjandraningsih, untuk mengatasi dampak negatif dari penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel tersebut, peran negara sangatlah penting.
Tulisan kali ini, hendak menyoroti peran negara yang diadvokasikan oleh Tjandraningsih. Dalam artikel yang ditulis bersama Hari Nugroho, Tjandranigsih mengatakan, ada empat tugas penting negara sehubungan dengan masalah pasar kerja fleksibel: pertama, negara perlu merumuskan dengan jelas dan tegas sejauh mana tingkat fleksibilitas pasar yang aman bagi kondisi angkatan kerja dan pasar kerja yang ada; kedua, merumuskan sebuah kebijakan pasar kerja yang terintegrasi dengan institusi-institusi dan kebijakan sektor lain: kebijakan industrialisasi, kebijakan pengembangan sumber daya manusia, kebijakan pengurangan kemiskinan yang multisektoral, maupun tata kelola sistem pemerintahan, yang sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan sistem pasar kerja maupun bekerjanya pasar kerja fleksibel yang menjamin keamanan kondisi sosial ekonomi buruh; ketiga, menegakkan hukum karena kebijakan pasar kerja fleksibel tetap akan memberikan konsekuensi yang merugikan buruh; dan keempat, merumuskan sistem jaminan sosial yang memadai.
Global Social Democracy
Dari empat tugas yang dibebankan kepada negara tersebut, secara tersurat kita melihat posisi teoritik dari Tjandraningsih. Pada dasarnya, Tjandraningsih tidak menolak penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel. Yang ditolaknya adalah ketika kebijakan itu diterapkan di atas asumsi cateris paribus, karena hanya akan melahirkan serentetan efek negatif bagi buruh. Karena itu, menurut Tjandraningsih, yang perlu dilakukan adalah mengatasi dampak buruk dari penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel tersebut.
Posisi ini, menurut saya, bertolak dari sebuah pendekatan, yang oleh intelektual-cum aktivis Walden Bello, sebut sebagai aliran global social democracy. Pendekatan ini dikampanyekan antara lain oleh ekonom Jeffrey Sach, sosiolog David Held dan Martin Shaw, serta pemenang nobel ekonomi Joseph Stiglitz, dan organisasi LSM seperti OXFAM, yang berbasis di Inggris. Masih menurut Bello, aliran ini mengakui bahwa neoliberalisme berpotensi besar untuk mendatangkan kerugian bagi mayoritas rakyat, sembari melihat bahwa kalangan anti-globalisasi sebagai teman seperjuangan dalam mengatasi dampak buruk neoliberalisme. Tetapi, pada dasarnya, pendekatan ini melihat globalisasi-neoliberal sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Jika dikelola dengan baik, akan membawa mayoritas rakyat pada tanah kemakmuran yang telah dijanjikan.
Oleh karena itu, isu-isu yang diusung oleh pendekatan ini hampir tidak berbeda dengan isu-isu yang dipanggul oleh kalangan anti-globalisasi. Kelompok global social democracy ini, menuntut agar ada perubahan mendasar di lembaga-lembaga pengelola aturan main global semacam IMF, WTO, dan hak kepemilikan intelektual (TRIPs). David Held, misalnya, menyerukan agar dilakukan reform, atau lebih tegas lagi, penghapusan kesepakatan mengenai TRIPs; sementara Stiglitz menyerukan agar negara-negara maju seharusnya membuka pasar mereka kepada negara-negara miskin tanpa imbal beli saling menguntungkan atau persyaratan-persyaratan ekonomi dan politik. Sedangkan Shaw mengusulkan agar (a) dilakukannya penghapusan terhadap sebagian besar elemen-elemen dasar kemiskinan dalam sebuah kerangka waktu yang serius: (b) pelembagaan kerangka kerja kesejahteraan sosial global (lebih dari sekadar “bantuan”) dan mencari sumber-sumber untuk pemenuhannya; (c) pelembagaan kerangka kerja global mobilitas kerja, melekatkan dan mendukung hak-hak untuk berpindah; dan (d) membangun rejim lingkungan global, khususnya dimasukkannya ukuran-ukuran konktret dalam perlindungan mayoritas rakyat yang lemah dari dampak-dampak perubahan iklim yang menghancurkan seperti, banjir dan kekeringan.
Tujuan akhir dari pendekatan ini, demikian Bello, bukan untuk menolak keberadaan globalisasi-neoliberal melainkan, untuk menghumaniskan atau mencerahkan globalisasi-neoliberal. Atau dalam bahasa David Held, tujuannya adalah untuk
"provide the basis for a free, fair, and just world economy," where the "values of efficient and effective global economic processes...function in a manner commensurate with self-determination, democracy, human rights, and environmental sustainability."
Peran Negara
Kini, saya mau masuk pada kritik terhadap posisi teoritik yang dianut oleh Indrasari Tjandraningsih. Khususnya, menyangkut posisi negara dalam konteks pasar kerja fleksibel.
Seperti diketahui, kebijakan menyangkut pasar kerja fleksibel adalah salah satu cabang dari pohon besar kebijakan neoliberal. Tujuan utamanya adalah memperlancar pergerakan kapital guna sebesar-besarnya akumulasi keuntungan. Dan salah satu peghambat terbesar arus kapital adalah adanya serikat buruh yang kuat. Di titik ini, penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel pada esensinya dimaksudkan untuk menghancurkan keberadaan serikat buruh kuat sebagai alat bagi buruh untuk menghadapi kapital.
Pertanyaannya kemudian, dimana keberadaan negara dalam konteks hubungan buruh dan kapital? Globalisasi neoliberal, sesungguhnya merupakan respon kapital terhadap kegagalan paradigma Keynesian dan rejim Sosial Demokrasi, pada akhir 1970an. Seperti diketahui, Keynesianisme dan Sosial Demokrasi, menempatkan negara sebagai agen pembangunan. Negara tidak hanya menjadi “anjing penjaga malam,” atau berperan sebagai wasit dalam pertarungan bisnis, atau menjadi tukang koreksi kegagalan pasar. Lebih dari itu, negara juga aktif terlibat dalam urusan-urusan bisnis yang tujuan utamanya untuk memenuhi kepentingan publik.
Tetapi, dan ini yang banyak diabaikan, rejim Sosial Demokrasi dan Keynesianisme penanda utamanya adalah terjadinya kolaborasi kelas antara kapital dan buruh. Kolaborasi ini terjadi karena adanya keseimbangan kekuatan antara kapital dan buruh. Hasilnya, Sosial Demokrasi dan Keynesianisme muncul sebagai “big government,” yang sanggup meregulasi kapital, dan meredistribusikan pendapatan dan kemakmuran.
Pada periode 1950-1973, rejim Sosial Demokrasi dan Keynesianisme mencapai puncak kejayaannya. Dalam periode tersebut, negara-negara kapitalis maju menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah, standar hidup yang tinggi, dan stabilitas sosial. Sementara, negara-negara kapitalis pinggiran dan semi pinggiran, juga menuai imbas dari sukses tersebut. Beberapa kemajuan dalam pembangunan nasional bisa dicapai melalui strategi “substitusi impor,” atau industrialisasi “sosialis.”
Tetapi, kapasitas Sosial Demokrasi dan Keynesianisme terbukti gagal dalam meredam kontradiksi inheren yang melekat pada kapitalisme. Negara yang budiman (meminjam istilah Kuntowijoyo), hanya mungkin jika terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi yang konstan. Syarat ini membutuhkan syarat lainnya yakni, adanya kebebasan yang seluas-luasnya bagi pergerakan kapital. Tetapi, itu menjadi musykil ketika pada saat yang sama negara juga memberi ruang yang luas bagi serikat buruh. Terbukti, daya tahan Keynesianisme dan Sosial Demokrasi untuk mengakomodasi konflik kelas dan mengelola secara relatif rata-rata permintaan yang tinggi, hanya berlangsung selama dua dekade. Keseimbangan kelas itu pada akhirnya runtuh. Terjadi perubahan keseimbangan kekuatan antara kapital dan buruh, dan antara pusat dan pinggiran, yang ditandai oleh menurunnya tingkat keuntungan yang kemudian menyumbang pada terjadinya krisis akumulasi pada dekade 1960an dan 1970an. Dan sebagai jalan keluar dari krisis ini, menurut Minqi Li, elite penguasa global kemudian meluncurkan kebijakan neoliberalisme.
Itulah sebabnya, dalam rangka kepentingan akumulasi kapital sebesar-besarnya, seluruh kebijakan neoliberalisme dimaksudkan untuk menghancurkan Keynesianisme dan Sosial Demokrasi. Dalam neoliberalisme, negara dirantai tangannya dari masalah publik. Negara hanya dibolehkan turut campur, jika muncul gangguan terhadap kelancaran proses akumulasi tersebut.
Pada titik ini, kita mesti melihat posisi negara secara kritis. Banyak pengamat mengatakan, di era kapitalisme-neoliberal peran negara menjadi minimal. Negara tinggal sebagai aparatus administratif yang memboroskan anggaran, tempat bersemainya praktek moral hazard, atau wilayah dalam pengertian teritorial. Tetapi, dalam prakteknya, yang disebut negara minimal itu tak lebih dari pemanis bibir di pesta-pesta akademik. Yang sesungguhnya terjadi adalah pergeseran secara drastis peran negara, dibanding masa Keynesianisme atau Sosial Demokrasi. Dimana saat ini, peran negara justru semakin besar dalam melancarkan pergerakan kapital. Bahkan, menurut Ellen Meiksins Wood, negara merupakan agen utama globalisasi. Dalam pasar global, demikian Wood, kapital membutuhkan negara untuk mengelola kondisi-kondisi yang ajeg bagi kepentingan akumulasi, untuk menciptakan buruh yang berdisiplin, dan untuk mempercepat mobilitas kapital sementara disaat yang sama, menekan pergerakan tenaga kerja.
Kalau begini soalnya, tuntutan agar negara mesti berperan aktif dalam menanggulangi dampak buruk dari pasar kerja fleksibel, adalah persoalan yang sangat serius.***
Kepustakaan:
Ellen Meiksins Wood, “Labor, the State, and Class Struggle,” Monthly Review, July-August, 1997.
Martin Shaw, “The Deep Challenge Of Global Social Democracy,” 2002, http://www.editiondesign.com/fgf/forum/article001.html
Minqi Li, “After Neoliberalisme Empire, Social Democracy, or Socialism?” Monthly Review, January 2004.
Walden Bello, “The Post-Washington Consensus: the Unraveling of a Doctrine of Development Defending and Reclaiming the Commons - IMF and World bank," Friday, 14 September 2007, http://focusweb.org/.