Bebas Utang Selama 19 Tahun?

Martin Manurung

MUNGKIN ini hanya kebetulan. Tak lama setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Times karena pemberitaan tentang harta hasil korupsi ‘Bapak Pembangunan’ itu, Bank Dunia (WB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan Stolen Asset Recovery (StaR) Initiative. Rilis WB tersebut menyebutkan Soeharto sebagai peringkat pertama di antara para penguasa dan mantan penguasa di dunia yang diduga terbanyak mencuri aset publik. Jumlah aset negara yang dicuri oleh sang jenderal 'besar' itu, berkisar antara 15 milyar sampai 35 milyar dollar AS (USD).
Di antara sepuluh besar lainnya, terdapat Mobutu Sese Seko dari Zaire, Sani Abacha dari Nigeria, Slobodan Milosevic dari Yugoslavia, Jean-Claude Duvalier dari Haiti, Alberto Fujimori dari Peru, Pavlo Lazarencko dari Ukraina, Arnold Aleman dari Nikaragua, dan Joseph Estrada dari Filipina. Bagi yang tertarik, laporan lengkap STaR dapat diunduh di sini.

Selain dapat disebut sebagai langkah maju, inisiatif itu juga sebuah langkah ‘banting stir.’ Sebab, selama tiga dasawarsa Soeharto berkuasa, WB selalu membisu terhadap berbagai praktik korupsi rejim Soeharto yang terjadi di depan mata mereka. Sejak lama telah disuarakan bahwa beragam utang yang berkedok ‘bantuan’ dari WB telah diselewengkan oleh rejim Orde Baru. Bahkan, WB sendiri pun pada 1999 mengakui bahwa diindikasikan 30 persen dari dana-dana pinjaman yang diberikan selama pemerintahan Soeharto telah dikorupsi (Times Asia, 24 Mei 1999).

Para ahli dan aktivis antikorupsi pun telah lama menyuarakan hal itu. Bahkan, mereka juga menyerukan pengurangan dan penghapusan utang yang dikorupsi oleh rejim penguasa berdasarkan prinsip ‘utang najis’ (odious debt). Akan tetapi, WB dan juga ‘saudara kandung’ lembaga itu, IMF, tetap bergeming. Dalam sebuah dokumenter yang dibuat oleh jurnalis ternama John Pilger, berjudul ‘The New Rulers of the World,’ Deputy Managing Director IMF Stanley Fischer, dengan tegas menolak tuntutan penghapusan itu.


“We are a financial institution… The only way we can operate is if debts are repaid” (kami adalah lembaga keuangan... Satu-satunya cara kami bisa beroperasi adalah jika utang-utang dibayarkan), katanya.

Baiklah, kini kita beranggapan bahwa ‘banting stir’ WB itu dilandasi sikap sungguh-sungguh lembaga-lembaga internasional untuk mendukung pembasmian korupsi. Bila demikian, maka WB, PBB dan juga IMF harus segera menindaklanjuti inisiatif itu. Caranya adalah dengan menekan pemerintah-pemerintah dimana para penguasa dan mantan penguasa itu berada. Mereka harus secara serius melakukan upaya-upaya hukum luar biasa untuk menghukum para pencuri aset tersebut, sekaligus mengembalikannya kepada negara.

Bila data PBB dan WB itu akurat, maka dana yang diduga dicuri Soeharto itu sungguhlah besar. Dana yang setara 135 trilyun sampai dengan 315 trilyun rupiah itu adalah hampir sepersepuluh Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bila dibandingkan dengan posisi netto pembiayaan (utang) luar negeri yang terdapat dalam RAPBN 2008 yang baru saja diajukan pemerintah (Rp. 16,7 trilyun), maka hal itu berarti kita tak perlu lagi mengajukan utang baru selama 19 tahun (dengan asumsi statis). Jumlah sebesar itu, tentu bukan main-main.

Inisiatif lain, dengan pengumuman resmi WB itu, kini terbuka lebar langkah pemerintah untuk memakai dalil ‘utang najis.’ Jika selama ini langkah itu buntu karena lembaga-lembaga keuangan internasional selalu mengelak dari dugaan penyelewengan utang, maka pengakuan WB itu dapat dijadikan dasar yang valid. Berbekal pengakuan itu, pemerintah tinggal ‘menjemput bola’ dengan pengajuan penghapusan/pengurangan utang yang dikorupsi tersebut. Tentu saja, tuntutan hukum terhadap korupsi Soeharto itu harus pula diajukan di dalam negeri untuk melengkapi bukti-bukti pencurian aset tersebut.

Dengan demikian, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak perlu jauh-jauh ke Washington DC untuk menemui Presiden WB Robert B. Zoellick. Yang penting dilakukan adalah segera mengundang rapat kabinet, meminta pendapat para ahli dan aktivis antikorupsi, serta menyusun rencana aksi. Dengan demikian, momentum pengumuman STaR dari WB itu tidak sia-sia dan dapat bermanfaat bagi negara dan rakyat.***