Hari Nugroho dan Indrasari Tjandraniningsih
BAGI sebagian kalangan, kebijakan fleksibilitas pasar kerja atau Labour Market Flexibility (LMF), adalah solusi. Kebijakan ini diambil sebagai salah satu strategi utama mengundang investasi. Investasi datang, lapangan kerja tersedia. Tingkat pengangguran pun berkurang.
Tetapi, logika berpikir linier ini terlalu menyederhanakan masalah. Di lapangan, wujud konkrit penerapan kebijakan ini menghadirkan sejumlah persoalan. Yang utama dan paling menyolok adalah dampak negatif kebijakan tersebut bagi kaum buruh. Menurunnya kepastian kerja, memburuknya kondisi kerja dan kesejahteraan, degradasi posisi tawar buruh, meningkatnya eksploitasi serta, melemahnya serikat buruh dan kolektivisme mereka, adalah sebagian contohnya.
Secara langsung, di tangan pengusaha, praktek LMF menjadi senjata ampuh dalam memberlakukan gerakan PHK masal, mengganti status hubungan kerja tetap menjadi hubungan kerja kontrak, dan/atau mempekerjakan tenaga outsourcing tanpa mengikuti peraturan UU Ketenagakerjaan 13/2003. Respon terhadap praktek negatif kebijakan ini sangat bisa diduga: demo buruh berskala dalam tiga tahun terakhir.
Sumber-sumber Masalah
Ada tiga pokok persoalan yang menimbulkan dampak negatif dari kebijakan fleksibilitas pasar kerja. Pertama, adanya kesenjangan antara konsep dasar fleksibilitas pasar kerja dengan realitas pasar kerja di Indonesia. Kedua, adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam konsep pasar kerja fleksibel. Ketiga, pengunduran diri negara dalam konteks hubungan industrial maupun dalam perannya sebagai pelindung kesejahteraan warga, khususnya ketika kondisi nyata situasi hubungan industrial dan kondisi kesejahteraan warga masih banyak ditandai oleh berbagai ketimpangan.
Tiga pokok persoalan ini menunjukkan, konsep pasar kerja fleksibel yang berbasiskan prinsip liberalisasi pasar tidak dapat menghindari realitas yang kontekstual. Liberalisasi pasar dan fleksibilitas pasar kerja juga, tak dapat menghindari kegagalan pasar yang melekat pada konsep pasar. Karena itu, peran negara sangat diperlukan dalam konteks hubungan kerja dan pasar kerja.
Fleksibilitas Pasar Kerja : Asumsi-asumsi Positif dan Kritik-kritik
Sebagai sebuah turunan dari konsep pasar bebas dan terbuka, gagasan fleksibilitas pasar kerja memang dipenuhi oleh asumsi-asumsi positif. Pasar kerja yang fleksibel merupakan sebuah pasar dimana pekerja, pencari kerja, dan pemakai tenaga kerja memiliki kebebasan yang relatif setara untuk saling berinteraksi dan melakukan pertukaran rasional (Meulders & Wilkin, 1991; Ul Haque, 2002; Islam, 2001).
Prinsip kebebasan ini diasumsikan merupakan kunci penting bagi efisiensi produksi, maksimalisasi keuntungan, sekaligus pemerataan kesempatan kerja, pengurangan tingkat pengangguran dan perbaikan tingkat pendapatan. Kebebasan ini dipandang membuka peluang bagi para penganggur dan pekerja di sektor informal untuk mudah berpindah ke sektor formal yang dinilai lebih aman, adil, dan menyejahterakan (World Bank, 2006). Dengan cara ini, angka pengangguran akan dapat ditekan dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Namun, untuk itu, employment security harus lebih diutamakan dibanding job security. Untuk menjamin bekerjanya pasar kerja sefleksibel mungkin, peran dari serikat buruh juga harus dikurangi atau setidaknya, didesak ke arah sikap yang lebih akomodatif terhadap kepentingan dunia usaha (Douglas, 2000).
Persoalannya, asumsi-asumsi tersebut mengandung sejumlah keterbatasan. Ada tiga kritik utama terhadap asumsi-asumsi positif dari sistem pasar kerja yang fleksibel. Kritik pertama, pasar kerja di Indonesia mengandung ciri dualisme pasar kerja dengan kelebihan penawaran tenaga kerja tidak terampil. Kondisi ini membantah logika kesetaraan kebebasan antara pencari dan pengguna kerja. Mayoritas pekerja berada dalam posisi yang lemah. Di tingkat pasar tenaga kerja internal, dualisme pasar kerja menciptakan fragmentasi pekerja berdasarkan keterampilan, status hubungan kerja dan upah. Kelebihan penawaran tenaga tidak terampil, melemahkan posisi tawar pekerja dan membatasi peluang untuk meningkatkan pendapatan. Kebijakan upah minimum, juga menjadi penyebab terbatasnya kesempatan untuk meningkatkan pendapatan.
Kritik kedua, degradasi kondisi kerja serta ketidakpastian kerja, dan menurunnya kesejahteraan melekat di dalam sistem pasar kerja fleksibel. Pasar kerja yang fleksibel memang menambah kesempatan kerja tetapi, dalam bentuk kesempatan kerja yang terbatas, berjangka pendek, dan minim perlindungan. Penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing tenagakerja yang tidak terkendali memperburuk ekses tersebut. Asumsi bahwa bekerja di sektor formal lebih terlindungi membutuhkan koreksi karena hak-hak pekerja kontrak maupun outsourcing sering tidak dipenuhi. Ketidakpastian kerja yang tinggi, upah yang rendah, serta absennya tunjangan-tunjangan kerja merupakan kondisi kerja nyata yang muncul. Kondisi ini mendorong pemiskinan yang menciptakan lebih banyak kelompok miskin pekerja (Lindenthal, 2005).
Kritik ketiga, menunjukkan, pelemahan kekuatan serikat buruh mengikis basis kolektivisme dalam jangka panjang. Sistem hubungan kerja kontrak dan outsourcing serta sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan yang berlaku dalam bentuk hubungan kerja tersebut, menggeser prinsip kolektivisme dalam hubungan industrial ke arah individualisme. Kontrak individual menutup peluang serikat untuk melakukan intervensi dalam hubungan pengusaha-buruh. Hilangnya kolektivitas buruh pada saatnya juga akan menghilangkan perlindungan kolektif yang dimiliki oleh buruh di sektor formal. Juga, berakibat hilangnya keunggulan atau keuntungan bekerja di sektor formal. Sistem hubungan kerja tidak tetap yang menjadi inti hubungan kerja fleksibel, telah mengikis jumlah anggota serikat buruh yang menjadi basis kekuatan utama serikat dan posisi berunding mereka.
Pentingnya Peran Negara
Dampak negatif fleksibilitas pasar kerja kian menjadi-jadi, ketika penerapan fungsi-fungsi perlindungan mendasar dari negara juga memiliki berbagai kelemahan yang serius. Pertama, kelemahan peran negara di dalam menjalankan fungsi regulator pasar kerja. Ini terlihat dari lemahnya integrasi antar kebijakan yang terkait langsung dan tidak langsung dengan sistem pasar kerja, lemahnya infrastruktur pasar kerja itu sendiri serta, tidak adanya kebijakan pasar kerja yang aktif.
Kelemahan kedua, terletak pada lemahnya penegakan hukum yang mengawal peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Kelemahan ini berasal dari kelemahan aparat pelaksana peraturan dan penegak hukum, masalah kelembagaan birokrasi yang disebabkan oleh praktek otonomi daerah maupun, sejumlah celah di dalam sistem hukum itu sendiri. Kelemahan ketiga, terletak kepada ketidaksiapan sistem jaminan sosial di dalam mengatasi konsekuensi negatif yang tak terhindarkan dari sistem pasar kerja fleksibel.
Namun demikian, dengan setumpuk masalah yang dikandungnya, peran negara tak bisa diabaikan. Luas dan besarnya dampak negatif dari praktek LMF terhadap buruh, merupakan dasar utamanya. Peran negara diperlukan untuk menata kesesuaian antara kebijakan pasar kerja dengan kondisi nyata pasar kerja dan berbagai institusi penopangnya. Untuk memastikan peran negara yang kuat dalam menata sistem pasar kerja yang aman secara sosial ekonomi bagi pekerja tanpa menciptakan beban bagi pertumbuhan ekonomi, negara perlu merumuskan dengan jelas dan tegas sejauh mana tingkat fleksibilitas pasar yang aman bagi kondisi angkatan kerja dan pasar kerja yang ada.
Pekerjaan kedua, merumuskan sebuah kebijakan pasar kerja yang terintegrasi dengan institusi-institusi dan kebijakan sektor lain: kebijakan industrialisasi, kebijakan pengembangan sumber daya manusia, kebijakan pengurangan kemiskinan yang multisektoral, maupun tata kelola sistem pemerintahan, yang sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan sistem pasar kerja maupun bekerjanya pasar kerja fleksibel yang menjamin keamanan kondisi sosial ekonomi buruh.
Pekerjaan ketiga, menegakkan hukum karena kebijakan pasar kerja fleksibel tetap akan memberikan konsekuensi yang merugikan buruh. Dalam hal ini buruh tidak dapat dibiarkan berhadapan dengan pihak lain – khususnya pengusaha – di dalam sebuah pasar dengan karakter dan sistem hukum yang tidak memungkinkan posisi mereka seimbang satu sama lain. Pekerjaan keempat, merumuskan sistem jaminan sosial yang memadai.
Dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut, negara secara politik juga memerlukan pengawasan. Yang mendesak dilakukan adalah memperkuat aspek pengawasan politik terhadap fungsi pengawasan Disnaker (dinas tenaga kerj) khususnya, melalui institusi-institusi formal politik daerah. Fungsi ini juga harus dijalankan oleh serikat buruh bersama elemen masyarakat lainnya. Tujuannya, memastikan kewajiban negara mengurus warganya secara lebih adil.***
Hari Nugroho adalah pengajar dan peneliti LabSosio Pusat Kajian Sosiologi UI dan Indrasari Tjandraniningsih adalah peneliti di AKATIGA -Pusat Analisis Sosial.
Tulisan ini merupa kan ringkasan dan adaptasi dari Kertas Posisi yang berjudul "Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara" (Nugroho & Tjandraningsih, 2007) yang merupakan hasil kerjasama antara LIPS-Bogor, LabSosio UI-Depok, AKATIGA-Bandung, dan Perkumpulan PraKarsa-Jakarta.