Jalan Keadilan di Amerika Latin

Budiman Sudjatmiko

""Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin"

Hugo Chavez, 2005.


Sejak tahun 1998, para politisi sayap kiri yang mengusung platform anti-neoliberalisme telah memenangi pemilihan presiden di delapan negeri Amerika Latin. Kemenangan yang terakhir diraih oleh Rafael Correa, seorang ekonom lulusan Amerika Serikat (satu almamater dengan Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani Indrawati).

Menurut polling dan para pengamat, kemungkinan besar Hugo Chavez dari Venezuela pun terpilih kembali pada pemilihan presiden tanggal 3 Desember 2006. Kemenangan para kandidat kiri ini tentunya tidak serta-merta menggambarkan keseragaman dalam pendekatan mereka.

Kesenjangan

Kemenangan kandidat sayap kiri ini dipicu oleh kemiskinan dan ketimpangan yang dipersepsi masyarakat sebagai dampak dari resep-resep ekonomi neoliberalisme, seperti privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), disiplin dalam kebijakan fiskal, deregulasi, liberalisasi dalam investasi, dan perdagangan.

Seiring dengan itu, neoliberalisme bukan cuma memperparah kesenjangan berdasar kelas antara para pebisnis besar dengan kalangan buruh, tani, dan kalangan pengusaha kecil. Di sejumlah negeri Amerika Latin yang ditandai dengan banyaknya masyarakat suku Indian, segregasi itu juga berkait dengan pembagian masyarakat berdasar etnis. Kemakmuran para imigran Spanyol yang tinggal di dataran rendah sangat kontras dengan kaum Indian dan mestizo (campuran) yang banyak tinggal di dataran tinggi (altiplano).

Laporan Bank Dunia 2005 juga mengakui bahwa rata-rata angka kesenjangan antara lima penduduk terkaya dengan penduduk termiskin di seluruh Amerika Latin mencapai angka 30 berbanding 1. Di Bolivia, angka ini bahkan mencapai 90 berbanding 1, dan khusus di wilayah pedesaan yang banyak dihuni suku Indian, angkanya berkisar 170 berbanding 1 (Leila Lu, Upside Down World, 7/12/2005).

Tidaklah mengherankan jika sejumlah kandidat sayap kiri dari keturunan Indian, seperti Evo Morales di Bolivia maupun Rafael Correa (meskipun dia sendiri keturunan Spanyol, tetapi dekat dengan kalangan Indian) menggabungkan apa yang disebut sebagai indigenismo (paham yang mendorong emansipasi penduduk asli suku Indian yang mayoritas) dengan sosialisme atau nasionalisme kerakyatan (nasionalisme populis).

Sementara itu di sejumlah negeri Amerika Latin, di mana kesenjangannya tidak berkait dengan pembagian masyarakat berdasar etnis, program-program populisme dan sosialisme relatif diterima oleh semua etnis secara merata.

Penguasaan negara

Strategi penguasaan negara melalui pemilu oleh para aktivis politik anti-neoliberalis ini selalu didahului dan juga diikuti dengan strategi pengorganisasian serta mobilisasi dari bawah, baik itu mobilisasi untuk memenangi pertarungan lewat pemilu maupun ketika kekuatan anti-neoliberalis tersebut berkuasa.

Di satu sisi, adanya mobilisasi dari bawah ini mempercepat proses nasionalisasi sumber- sumber daya alam maupun alat-alat produksi lainnya yang selama puluhan tahun dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Di lain sisi, negara (state) kemudian melegalisasi dan melindunginya dengan undang-undang. Sebagai contoh, hal ini terjadi di Argentina, di mana banyak perusahaan swasta yang bangkrut karena krisis ekonomi kemudian diambil alih dan dijalankan sendiri oleh kaum buruh. Undang-undang yang melindungi penyelamatan perusahaan oleh buruh ini sekarang sedang dibahas di DPR dan menunggu persetujuan oleh senat Argentina.

Sebuah organisasi gerakan penyelamatan perusahaan oleh buruh Argentina bahkan berhasil menjalankan kembali 100 perusahaan yang telah bangkrut dan ditinggalkan para pemiliknya. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan para bekas majikan itu merasa berterima kasih karena bekas buruh-buruh mereka meneruskan mimpinya ketika dulu dia merintis berdirinya pabrik untuk pertama kali. Pabrik bekerja dan beroperasi kembali, bahkan di antaranya hingga berhasil mengekspor produknya dengan dewan-dewan buruh menjadi pekerja dan sekaligus majikannya!

Sementara itu di Venezuela, gerakan ekonomi rakyat yang mandiri berhasil melahirkan sekitar 70.000 badan usaha milik rakyat (BUMR), dari jumlah semula hanya 762 BUMR ketika Chavez untuk pertama kalinya menjadi presiden pada tahun 1998. BUMR-BUMR ini kemudian menjalankan proyek-proyek subkontrak dengan BUMN- BUMN, seperti perusahaan listrik dan perusahaan minyak negara. Kesemuanya ini dilindungi oleh Konstitusi Venezuela 1999 (yang dikenal sebagai Konstitusi Bolivarian) yang menyatakan bahwa aktor-aktor ekonomi dalam perekonomian nasional merupakan instrumen bagi partisipasi dan keterlibatan ekonomi rakyat serta bagian dari desentralisasi kekuasaan negara (Pasal 70 dan Pasal 184 Konstitusi Republik Bolivarian Venezuela 1999).

Dengan begitu, perlawanan dan pembangunan alternatif atas neoliberalisme tersebut kemudian lebih menitikberatkan pada pemerataan, pembangunan kapasitas sumber daya manusia, pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi ekonomi dan budaya lokal, serta pengerahan tenaga kerja lokal.

Tantangan dan prospek

Kedelapan pemerintahan kiri dan kiri-tengah di Amerika Latin tersebut memang memiliki gaya dan keunikan tersendiri dalam mengelola kebijakannya. Sebagai presiden negara kaya minyak, Chavez dengan keterampilan manajemennya telah menggerakkan roda ekonomi dan melakukan pemerataan dari pendapatan minyaknya; sementara Lula da Silva menjalankan pemerintahan di Brasil dengan terus memelihara rasa saling percaya dengan gerakan serikat buruh sebagai pendukung utamanya; Morales, dengan sosialisme dan indigenismo-nya, berhasil mengelola kepercayaan dari mayoritas rakyatnya yang berasal dari etnis Indian yang termarjinalisasi; Tabare Vasquez di Uruguay serta Ricardo Lagos (dan sekarang Michele Chabelet Jeria) di Cile, menjalankan program pemberantasan kemiskinan rakyatnya tanpa harus mengancam kepentingan pengusaha-pengusaha kelas menengah sekutunya; dan akhirnya Nestor Kirchner di Argentina memerintah di ujung selatan Amerika Latin untuk memulihkan ekonominya yang tertimpa krisis ekonomi dahsyat, sembari tetap konfrontatif dengan International Monetary Fund (IMF) dan merestui buruh-buruh secara kooperatif menjalankan alat-alat kerja yang ditelantarkan para pemiliknya.

Kita masih harus menunggu apakah Rafael Correa, yang ekonom lulusan Amerika Serikat itu, konsisten dengan program perubahan radikalnya. Dalam kampanyenya, Correa berjanji untuk: 1) memperketat peraturan perbankan dan menarik kembali dana sekitar dua miliar dollar AS yang telah diparkir para elite Ekuador di Miami, Amerika Serikat; 2) renegosiasi kontrak pertambangan dengan perusahaan-perusahaan asing agar menguntungkan rakyat Ekuador; 3) membentuk sebuah sistem kredit perbankan guna memulai sebuah dana bersama; dan 4) mengalirkan dana tersebut untuk kepentingan rakyat banyak di negerinya. Correa telah menjanjikan sebuah revolusi sosial yang demokratis dan radikal buat orang miskin (Kompas, 29/11/2006).

Yang sudah pasti menarik yaitu Chavez - si penentang yang vokal terhadap pemerintahan George Walker Bush—sudah sejak lama mengetuk dengan ramah pintu gubuk Paman Tom (simbolisasi kulit hitam yang diperbudak di Amerika Serikat pada abad ke-19). Chavez sudah lama menyalurkan minyak penghangat dengan harga murah untuk dikonsumsi komunitas- komunitas miskin di Boston, Bronx, dan sejumlah tempat lain di Amerika Serikat untuk menghadapi musim dingin. Satu sisipan kecil yang ironis pada awal abad ke-21 di tengah kisah besar hubungan Utara-Selatan yang timpang!***


Budiman Sudjatmiko, Direktur Eksekutif ResPublica Institute; Departemen Pemuda/Mahasiswa PDI Perjuangan

Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Kompas, 18 Desember 2006.