Tambahan untuk Budiman Sudjatmiko
Coen Husain Pontoh
Serangkaian kemenangan beruntun direngkuh oleh beberapa calon presiden berhaluan kiri di Amerika Latin. Luiz Inazio “Lula” Da Silva di Brazil, Daniel Ortega di Nikaragua, Rafael Correa di Ekuador, dan Hugo Chavez Frias di Venezuela. Parade kemenangan ini makin memperkukuh sinyalemen, makin bergesernya orientasi politik Amerika Latin ke kiri. Sebelumnya, pemerintahan yang beraliran kiri telah bertahta di Argentina, Bolivia, Chile, dan Uruguai.
Pergeseran orientasi politik itu, tentu saja melahirkan sejumlah pertanyaan dan penafsiran. Majalah The Economist, edisi 9-15 Desember 2006, yang menyediakan empat halaman khusus untuk membahas fenomena pergeseran politik itu, menilai pergeseran tersebut disebabkan oleh kelemahan kelembagaan dan terutama oleh melonjaknya harga minyak dunia. Boom minyak itu telah memberi kesempatan pada Hugo Chavez, misalnya, untuk merealisasikan program-program populisnya. Di seberang lain, ada yang menafsirkan pergeseran tersebut sebagai pertanda kekalahan politik luar negeri Amerika Serikat (AS) di kawasan Amerika Latin. Adapula yang melihatnya sebagai awal dari keruntuhan rejim demokrasi neoliberal. Yang lain berseru, “tuh khan kata gua, sejarah belum berakhir.”
Di balik senarai penafsiran itu, mengemuka pertanyaan yang substanial: “jalan apa yang ditempuh gerakan progresif di Amerika Latin, yang mengantarkannya pada kemenangan? Apa yang membedakan jalan Amerika Latin, dengan jalan lain, katakanlah jalan kelompok Islam radikal yang juga menyerukan penentangannya pada dominasi AS dan kapitalisme-neoliberali?” Khusus untuk pertanyaan kedua ini sangat penting, karena sering sekali terjadi manipulasi bahwa gerakan kiri dan gerakan islamis, tengah melakukan persekutuan tidak suci untuk melawan sistem demokrasi. Dengan ini, mereka mau mengatakan bahwa antara kiri dan islamis, sama-sama anti-demokrasi. Bagi kelompok manipulator ini, mereka tidak bisa membedakan antara solidaritas sesama kaum tertindas, dengan kolaborasi politik yang oportunistik.
Sukses Demokrasi-Neoliberal
Kebangkitan gerakan kiri baru di Amerika Latin, sebenarnya tidak terlepas dari dua keadaan: pertama, kegagalan sosialisme terpusat dan birokratis, yang disimbolkan oleh keruntuhan Uni Sovyet; dan kedua, kegagalan kapitalisme neoliberal dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyat Amerika Latin.
Tak dapat dipungkiri, kebangkrutan sistem sosialisme terpusat dan birokratis telah menimbulkan krisis ideologi, politik, program dan organisasi yang parah di kalangan gerakan progresif Amerika Latin. Tetapi, kegagalan sistem sosialisme terpusat ini, tidak serta-merta disimpulkan sebagai kegagalan sistem sosialisme. Meminjam kategorisasi dari Joseph Ferraro, kegagalan sistem sosialisme terpusat itu dimaknai sebagai kegagalan penafsiran tertentu atas Marxisme yakni, penafsiran yang determinisme-mekanis.
Dari sini saya berpendapat, keadaan yang memberikan sumbangan paling signifikan bagi kebangkitan kembali gerakan progresif, adalah kesuksesan penerapan demokrasi-neoliberal di kawasan tersebut. Untuk itu, saya akan membahas terlebih dulu apa yang dimaksud dengan demokrasi-neoliberal.
Seperti dikemukakan Andrés Pérez Baltodano, ketika kita berbicara neoliberalisme, kita bicara tentang sebuah model masyarakat dengan seperangkat standar, prinsip, dan nilai-nilai yang melegitimasi tujuan-tujuan praktis. Lebih spesifik, soal bagaimana jalan yang harus ditegakkan untuk mengatur hubungan di antara negara, pasar, dan masyarakat. Bagi Boltadano, neoliberalisme adalah seperangkat kelembagaan yang khusus, kebijakan dan proses untuk mengintensifkan seperangkat alasan bagi bekerjanya sistem kapitalis dan mengijinkan pasar untuk menjadi kekuatan penggerak di balik seluruh aktivitas kehidupan masyarakat. Dan ketika kita merujuk pada pelembagaan model ini, itu berarti, kita berbicara tentang kristalisasi dan naturalisasi seperangkat gagasan itu menjadi sesuati yang “normal.” Di sini, termasuk gagasan tentang liberalisasi perdagangan, liberalisasi pasar termasuk pasar kerja, privatisasi aset-aset negara, dan penghancuran peran sosial negara.
Lalu bagaimana hubungannya dengan demokrasi? Kembali mengutip Boltadano, ketika kita bicara demokrasi, kita bicara tentang dua hal: pertama, demokrasi sebagai sebuah proses formal yang didesain untuk memutuskan apakah kelompok atau partai yang seharusnya mengontrol kekuasaan negara; dan kedua, demokrasi adalah konsensus sosial yang melingkupi seluruh hubngan yang harus eksis di antara pasar, negara, dan masyarkat yang tengah dalam proses perkembangan. Dalam kerangka neoliberal, demokrasi bermakna mereka yang mengontrol kekuasaan negara haruslah memfasilitasi dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal. Itulah yang kemudian disebut Boltadano sebagai demokrasi-neoliberal.
Dalam konteks Amerika Latin, penerapan demokrasi neoliberal ini berjalan secara efektif sepanjang tahun 1980an dan 1990an. Menurut William I. Robinson, para pengusung demokrasi-neoliberal (pemerintah Amerika Serikat, lembaga-lembaga multilateral, dan kolaborator-kolaborator lokal), yang disebutnya Polyarchy, menggunakan struktur kekuasaan global ekonomi untuk mereorganisasi kelembagaan negara dan menciptakan seperangkat kelembagaan yang sangat memudahkan bagi pendalaman penyesuaian struktural. Para elite sipil yang lahir dari sistem demokrasi-neoliberal ini, kemudian berlomba-lomba mengintegrasikan ekonomi negara-negara di kawasan Amerika Latin ke dalam sistem kapitalisme global, melalui restrukturisasi neoliberal secara massal, dalam apa yang dikenal sebagai deregulasi, liberalisasi, privatisasi, pengetatan belanja sosial, fleksibilitas kerja, dan sebagainya.
James Petras mencatat, terdapat tiga gelombang rejim demokrasi- neoliberal di Amerika Latin. Gelombang pertama sepanjang dekade 1980an, kira-kira bersamaan waktu dengan transisi hasil negosiasi antara kediktatoran militer dengan pemerintahan sipil yang berlangsung di hampir seluruh benua ini. Gelombang kedua mengikuti arah ujung dekade hingga paruh pertama dekade 1990an. Gelombang ketiga neoliberal dimulai pada akhir gelombang kedua hingga periode sekarang ini.
Fernando Belaúnde dan Alan García di Peru, Raúl Alfonsín di Argentina, Miguel de la Madrid di Mexico, Julio Sanguinetti di Uruguay, dan José Sarney di Brazil, adalah figur-figur terkemuka yang memimpin gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu. “Gelombang” kedua dari politikus-politikus elektoral neoliberal, adalah Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos Menem di Argentina, Fernando Collor di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Jaime Paz Zamora di Bolivia, Luis La Calle di Uruguay, dan Carlos Salinas di Mexico. Sedangkan gelombang ketiga rejim demokrasi-neoliberal berhasil memperoleh kekuasaan antara tahun 1993 dan 1995. Mereka terdiri dari Alberto Fujimori di Peru dan Carlos Menem di Argentina, keduanya terpilih kembali dalam pemilu, pemerintahan Ernesto Zedillo di Mexico, Rafael Caldera di Venezuela, Gonzalo Sánchez de Losada di Bolivia, dan Fernando Henrique Cardoso di Brazil.
Bagaimana cerita dari tiga gelombang rejim demokrasi-neoliberal itu? Sungguh luar biasa: “yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin; kondisi-kondisi sosial kalangan mayoritas memburuk dengan cepat dan marjinalitas semakin meningkat,” tulis Robinson. Studi empiris yang dilakukan Luis Reygadas, mengkonfirmasi retorika Robinson. Menurut Reygadas, sejak diterapkannya kebijakan neoliberal pada 1990 hingga 2005, tingkat kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin di kawasan itu adalah yang terburuk di dunia. Misalnya, 10 persen lapisan teratas menerima hampir setengah (48 persen) total pendapatan, dimana di negara berkembang lainnya 10 persen teratas menerima “hanya” 29.1 persen.
Dari tahun ke tahun, jurang pendapatan ini semakin lebar. Pada tahun 1970, satu persen penduduk kaya menerima pendapatan 363 kali dibanding satu persen penduduk miskin. Pada 1985, proporsi ini meningkat menjadi 417 kali. Pada dekadde yang sama, di tahun 1970, jumlah orang miskin mencapai 118 juta, dimana angka ini pada 1998 menyusut tinggal 82 juta orang. Tetapi, pada 1994 jumlah orang miskin kembali melesat menembus angka 210 juta, dan terus naik hingga mencapai 222 juta pada 2005.
Pada tingkat negara, seperti Paraguay, Brazil, Bolivia, dan Panama, mencatat rekor sebagai negara yang tingkat kesenjangan penduduknya menempati posisi teratas di planet ini. Di tingkat kota, potret kesenjangan antar penduduk juga sangat timpang. Buenos Aires, ibukota Argentina, misalnya, adalah salah satu kota dengan tingkat kesenjangan yang tertinggi di dunia. Di kota itu, rata-rata tingkat kemiskinan naik dari 4.7 persen populasi pada 1974, menjadi 57 persen seperempat abad kemudian.
Segregasi masyarakat yang disebabkan oleh penerapan kebijakan neoliberal, juga melanda sektor politik. Di kawasan itu, walau tidak resmi berlaku politik rasis a la Afrika Selatan, selama berpuluh tahun, dominasi warga keturunan kulit putih tak tergoyahkan. Pada saat bersamaan, penduduk keturunan kulit hitam, perempuan, dan masyarakat adat menempati posisi yang sangat marjinal.
Jalan Amerika Latin
Berlatar kepedihan akibat kebangkrutan proyek demokrasi-neoliberal, gerakan kiri-progresif Amerika Latin, tumbuh berkecambah. Ini juga menandakan, pertumbuhan tunas-tunas baru itu merupakan anak kandung kapitalisme-neoliberal, ketimbang sebagai produk gerakan kiri-lama.
"We had no contact with the traditional left," ujar Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia, sekaligus mentor politik Evo Morales
Kini kita tiba pada inti tulisan ini: “apa jalan yang ditempuh dan apa yang membedakannya dari jalan yang lain?” Budiman dalam artikelnya, menyebut jalan itu adalah Jalan Keadilan. Eric Hersberg dan Fred Rosen, menyimpulkan, “jalan Amerika Latin merupakan sintesa dari sosialisme, partisipasi warga negara secara luas, dan pendalaman demokrasi.”
Jalan ini merupakan kritik terhadap nilai-nilai dan praktek demokrasi-neoliberal, dan juga sebagai kritik atas penafsiran sosialisme-birokratis. Kita telah menyaksikan, demokrasi yang berlangsung dalam sistm kapitalisme-neoliberal akhirnya terjatuh pada mekanisme prosedural belaka. Partisipasi terbatas rakyat dalam pengambilan keputusan, tidak melahirkan transformasi sosial yang radikal. Sebaliknya, mengukuhkan struktur sosial-ekonomi-politik yang diskriminatif.
Demikian juga sosialisme minus partisipasi rakyat dan demokrasi, adalah ujung lain dari monster politik mengerikan. Atas nama keadilan dan pemerataan manfaat ekonomi, aparatus negara memiliki kontrol dan wewenang luar biasa besar. Itu sebabnya, sosialisme baru yang berkembang di Amerika Latin, bukanlah sosialisme yang semata-mata berorientasi negara (statism), yang berniat baik mengubah laku sosial masyarakat dari atas dengan partisipasi sosial yang dikontrol oleh aparatus negara. Tidak juga sosialisme yang berselingkuh dengan pasar, yang menundukkan kepentingan rakyat di bawah logika kepentingan pasar.
Meminjam rumusan Joao Machado ekonom-cum-anggota pendiri Partai Buruh Brazil, sosialisme Amerika Latin adalah sosialisme yang memberikan ruang seluas-luasnya pada rakyat terorganisir untuk melakukan kontrol terhadap mekanisme ekonomi dan manajemen politik dalam masyarakat, serta menciptakan kondisi-kondisi baru bagi perkembangan solidaritas guna mengganti laku kompetisi sebagai bentuk dasar hubungan di antara sesama.
Dengan pendekatan ini, demikian Machado, “apapun yang memperkuat kesadaran dan organisasi buruh mandiri, serta rakyat secara umum; apapun yang menyebabkan kita terbebas dari dikotomi antara kontrol vertikal oleh negara di satu sisi dan sikap pasif warga negara di sisi lain; apapun yang menyebabkan terjadinya kontradiksi antara logika kompetisi dan pasar dengan sebagai gantinya, dimungkinkannya kerja sama dan mempromosikan nilai-nilai keadilan, demokrasi asli dan solidaritas, merupakan modal bagi kita untuk membangun sosialisme.
Keseluruhan proses ini, diringkas menjadi “full democratization of society,” dimana warga negara secara bersama-sama mengontrol apapun keputusan yang berdampak pada kehidupan bersama mereka.***
Kepustakaan:
Andrés Pérez Baltodano, “Has a Neoliberal Democracy Been Institutionalized in Nicaragua?” http://www.envio.org.ni/articulo/3326, Numbre 300, Julio 2006
Eric Hersberg and Fred Rosen (ed), “Latin America After Neoliberalism Turning The Tide 21st Century?” The New Press and NACLA, 2006.
Luis Reygada, “Latin America: Persistent Inequality and Recent Transformations,” in Eric Hersberg and Fred Rosen.
Joseph Faerraro, “Freedom and Determinism in History According To Marx & Engels,” Monthly Review Press, NY, 1992.
James Petras, “Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas,” IndoProgress Kajian Klik di sini).
João Machado, “PT Local Governments and Socialisme” in Ian Bruce (ed)., “The Porto Alegre Alternative Direct Democracy in Action,” Pluto Press, 2004.
William I. Robinson, “Promoting Polyarchy in Latin America: The Oxymoron of “Market Democracy,” in Eric Hersberg and Fred Rosen.