Mohammed Ikhwan
Masalah harga beras adalah klasik bagi Indonesia. Guncangan harga di awal Desember 2006 hingga kini, patut dipandang kritis, terutama bagi pemerintah. Telah lumrah dipahami, jika masalah beras bukan semata urusan tukar-menukar barang antara pembeli dan penjual tapi, juga masalah untung rugi politik kekuasaan. Harga beras—tak ayal—bisa membuat gonjang-ganjing pemerintahan. Presiden Soekarno pernah kena getahnya, dan di masa Presiden Soeharto kebijakan ketat dijalankan. Lebih dalam lagi, beras tidak hanya krusial bagi masalah domestik, namun juga dipengaruhi oleh kebijakan lembaga internasional seperti, Bank Dunia, IMF dan WTO.
Pertanyaan mendasar yang patut dikemukakan dalam masalah perberasan saat ini: pertama, apakah stok beras sesungguhnya ada, dan harga naik? Atau kedua, stok beras memang tidak ada, dan harga naik? Masalah ini sebenarnya bisa dibuatkan skenario pemecahannya, tanpa mengorbankan rakyat - terutama petani.
Beras ada, harga naik
BPS melalui angka ramalan II tahun 2006 memperkirakan, stok gabah kering giling (GKG) sebesar 54.75 ton. Dengan angka ini, melalui perhitungan sebenarnya, kita surplus 120 ribu ton di akhir tahun. Berarti beras cukup tapi, harga naik. Dengan menggunakan hukum ekonomi yang awam, tentunya ada yang salah dalam fenomena ini.
Hal ini bisa dijelaskan dengan beberapa gambaran. Pengalaman rantai perdagangan beras Indonesia yang tidak efektif sejak tahun 1960-an, memang bisa menjadi alasannya. Rente ekonomi dalam perdagangan beras menjadi sangat menggiurkan bagi pedagang dan spekulan beras. Tak salah jika tengkulak beras di desa-desa, disebut sebagai salah satu dari tujuh setan desa. Di Sumatera Utara, misalnya, sudah terbukti bahwa rantai perdagangan beras dari gabah petani bisa membengkak hingga 120 persen. Beras itu sendiri bisa berpindah tangan sampai delapan pihak.
Iklim perburuan rente ini, sebenarnya bisa ditangani jika pemerintah menjadi shortcut perdagangan beras ini. Dari dulu belum ada konsep jual beli langsung (direct selling/buying) dari petani ke Bulog (atau pedagang pemerintah langsung), padahal soal ini cukup penting untuk memotong rantai perdagangan beras. Dalam jaman Bulog yang sangat berkuasa sebelum dikebiri LoI IMF 1998, hal ini sebenarnya pernah dipraktekkan. Tercatat selama 20 tahun (1973-1997), misi stabilisasi harga bisa dicapai dengan baik: hanya 10 kali dalam 240 bulan (4 persen) harga gabah jatuh di bawah harga dasar. Hal inilah yang disebut sebagai public service obligation (PSO) Bulog, dan tidak semata-mata mencari profit. Di masa panen raya, gabah petani ditabung dan akan ditebar di masa-masa paceklik maupun saat perlu stabilisasi harga.
Beras kurang, harga naik
Pertanyaan kedua relatif lebih pelik. Jika beras kurang dan harga naik, itu hukum ekonomi yang lazim. Fakta selama ini, kekurangan selalu diatasi dengan impor. Namun sebagai catatan, impor seharusnya merupakan pilihan terakhir, terutama bagi Indonesia - yang notabene negara agraris dan mayoritas rakyatnya bergerak di sektor pertanian beras.
Yang terjadi di Indonesia seringkali keliru. Beras kurang belum tentu yang disimpan oleh pemerintah (Bulog), namun beras kurang acapkali yang beredar di pasar. Hal inilah yang terjadi, misalnya, tahun 2004 dan 2005, kita surplus beras masing-masing 459 ribu ton dan 49 ribu ton tetapi, kita mengimpor 632 ribu ton pada 2004 dan 304 ribu ton pada 2005 (Khudori, 2006).
Klaim kedua ini juga menjadi senjata Bulog pasca LoI IMF 1998, untuk selalu impor. Dengan impor pula, pemerintah lupa untuk membangun sektor pertanian. Sejak ‘diprivatisasi’ IMF, semakin rasional pula bagi Bulog untuk mencari untung - dan jadi legitimasi untuk mengimpor beras. Parahnya, Bulog malah mengimpor lebih dari kebutuhan nyata, bisa empat hingga enam kali dari yang seharusnya, seperti yang terjadi pada kurun waktu 2002-2005 (Khudori, 2006).
Harus pula diperhatikan, kenaikan harga beras tidak selalu menguntungkan petani. Harga beras tidak berkorelasi langsung dengan harga gabah. Sebaliknya, harga gabah selalu berkorelasi langsung dengan harga beras. Contohnya Desember ini, harga beras dengan kenaikan sampai Rp. 1.000 per kilogram ternyata tidak diikuti oleh kenaikan harga gabah (tetap stabil dari Mei 2006 di kisaran Rp 2300). Petani padi Indonesia selalu menjual gabah, karena tidak memiliki modal dan sumber daya untuk memproduksi beras melalui penggilingan padi.
Dari cermatan singkat ini, akan lebih baik jika peran negara dikembalikan sebagai pelindung rakyatnya - dalam kasus ini petani. Sebab dari masalah pertama dan kedua, gerakan antinegara yang mewujud pada pengutamaan mekanisme pasar, malah merugikan petani sebagai produsen dan konsumen beras. Pasar tidak seharusnya menjadi pengatur utama dalam masalah beras, mengalahkan peran negara (konsep kedaulatan pangan La Via Campesina, 1996). Justru pemerintah sebagai aparatus negara, harus mengembalikan peran Bulog untuk membeli gabah petani secara langsung (catatan: harga yang diberikan pemerintah juga harus berelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan petani). Dana delapan trilyun rupiah milik Bulog, harus dikembalikan sebagai bentuk pelayanan publik bagi petani. Dengan membeli gabah petani langsung, dengan sendirinya akan memberi insentif dan juga merangsang produksi.
Operasi pasar dengan menggunakan segala kekuatan yang ada, juga penting secara praktis untuk mencegah masalah harga beras yang kian berlarut-larut.***
Penulis saat ini menjabat sebagai Staf Pengkajian Kebijakan dan Kampanye di Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), juga merupakan pengamat ekonomi politik internasional yang berhubungan dengan liberalisasi perdagangan.