Coen Husain Pontoh
Perjuangan untuk mengonsolidasikan demokrasi di Indonesia, kini memasuki fase yang kritis. Ketika kedikatoran berhasil ditumbangkan, gelombang pasang optimisme berdebur kencang: partai-partai baru bermunculan, kebebasan berpendapat terbuka luas, kebebasan pers bukan lagi sebuah impian. Tapi, kian jauh jarak dengan kediktatoran, pelan-pelan pasang naik optimisme mulai surut. Yang terjadi adalah arus balik gelombang pesimisme: keterbukaan yang tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, kebebasan yang melahirkan kekacauan, pers bebas makin mengipas bara panas yang menjadi warisan peninggalan kediktatoran, dan partai-partai baru yang gila uang.
Lalu, banyak suara mengatakan masa transisi telah lewat. Yang tinggal adalah ketidakpastian. Romantisme masa lalu kediktatoran yang stabil pelan-pelan menyebar luas, menghancurkan kesadaran massa yang goyah akibat ketidakpastian yang mematikan ini. Dalam situasi sedemikian, kelompok kiri dituntut untuk memberikan alternatif yang bisa menerobos kebuntuan yang ada. Kegagalan menyediakan alternatif yang bisa mempercepat proses konsolidasi demokrasi, bisa berujung pada makin terkonsolidasinya kekuatan oligarki. Sesuatu yang kini tengah berlangsung.
Tetapi, sebuah solusi menjadi efektif jika yang mengusulkannya memiliki otoritas. Seorang dokter didengar dan dilaksanakan nasihatnya karena ia dipercaya memiliki otoritas untuk itu. Ini yang sering terabaikan tapi, begitu nyata terpampang dalam peta gerakan sosial di Indonesia: terlalu banyak solusi, terlalu sedikit dampaknya. Maka, di sini ada dua tantangan besar yang dihadapi: membangun kekuatan kiri sebagai kekuatan politik alternatif; dan setarikan nafas dengannya, memberikan solusi-solusi alternatif terhadap masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan yang kian membelenggu ini.
Sehubungan dengan dua hal itu, tulisan ini akan memaparkan secara ringkas tentang pengalaman Partai Buruh Brasil (Partido do Trabalhadores/PT), dalam membangun partai dan bagaimana mereka menghadapi tantangan masa transisi. Artikel ini akan dibagi dalam empat bagian: (1) proses pembentukan partai; (2) tahap pembangunan partai; (3) hubungan partai dengan organisasi massa; dan (4) partai dan pemilu.
Proses Pembentukan Partai
Untuk bisa memahami sejarah pembentukan Partai Buruh Brasil (PT), tak bisa dilepaskan dari konteks masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi. Itu sebabnya, ada baiknya secara ringkas kita memeriksa kembali jalan transisi menuju demokrasi. Seperti dikemukakan Margaret E. Keck (1992), masalah teoritis utama dalam studi-studi transisi demokrasi (khususnya di Amerika Latin) adalah: pertama, apa jalan yang paling mungkin untuk mengonsolidasikan sistem politik berdasarkan penerimaan umum mengenai pengaturan kompetisi politik dan kewargaan di disebuah negara yang ditandai oleh kesenjangan sosial yang luar biasa; kedua, bagaimana pemerintahan demokratis tersebut bisa diharapkan untuk menjawab masalah sosial demokrasi dan di saat yang sama mereka berhadapan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi politik demokrasi?”
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Adam Przeworski mengajukan sebuah tesis yang disebutnya strategi Modernization via Internationalization. Menurut strategi ini, demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang sedang mengalami transisi mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik, dan pola budaya di negara-negara kapitalis maju (Pontoh, 2005). Secara ringkas, jalan transisi itu secara politik mengadopsi sistem demokrasi liberal dan secara ekonomi menerapkan sistem ekonomi neoliberal.
Tampaknya, solusi yang digulirkan Przeworski ini menjadi model yang digunakan di hampir seluruh negara yang menjalani transisi. Jalan ini pula yang ditempuh Brazil, khususnya setelah proses transisi yang diinisiatifi rejim kediktatoran militer di bawah Ernesto Geisel, pada 1973. Hasilnya, Brazil keluar sebagai pemenang pertama dalam jajaran negara pengutang terbesar di dunia, presentase peningkatan pendapatan kalangan atas meningkat sebesar 8.1 persen antara 1960 dan 1980, sementara proporsi pendapatan 50 persen kalangan bawah justru jatuh sebesar 3.2 persen. Potret kesenjangan pendapatan ini makin jelas jika melihat besaran upah minimum antara $35 dan $50 per bulan. Berdasarkan sensus terlihat bahwa 31.41 persen penduduk yang aktif secara ekonomi menerima upah kurang dari upah minimum, 27.97 persen menerima upah minimum, 11.68 persen menerima 2-3 kali upah minimum, 10.11 menerima antara 3 dan 5 kali upah minimum, 6.66 menerima 5 dan 10 kali upah minimum, dan 4.32 persen menerima 10 kali upah minimum atau lebih.
Berdasarkan potret buram di atas, jelas bahwa demokrasi tak bakal terkonsolidasi. Secara internal ia dirusak oleh kebijakan ekonominya yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Di sini demokrasi hanya menyediakan panggung (bukan dibajak) bagi konsolidasi oligarki. Dan inilah akar sebab munculnya pesimisme dan sinisme pada demokrasi. Dan inilah tantangan terberat yang dihadapi oleh kelompok-kelompok kiri di Brazil. Tidak saja bagaimana mempercepat proses konsoilidasi demokrasi tapi, juga bagaimana agar dalam proses tersebut rakyat luas turut menikmati berkah demokrasi.
Demikianlah, segera setelah ruang politik sedikit terbuka, kelompok-kelompok oposisi yang selama itu diberangus rejim militer, segera bermunculan ke permukaan. Para oposan ini berasal dari kalangan intelektual, pers, gereja Katolik, gerakan mahasiswa, gerakan perempuan, gerakan sosial perkotaan, petani dan gerakan buruh. Variasi gerakan oposisi ini juga terbelah antara oposisi elite dan organisasi akar rumput. Kalangan oposisi elite lebih menekankan pada bagaimana membangun rejim demokrasi, sedangkan oposisi akar rumput lebih menekankan pada pembangunan kondisi-kondisi kelembagaan bagi demokrasi politik. Yang satu memandang liberalisasi politik yang digulirkan oleh Geisel sebagai point of arrival (titik kedatangan), yang lain melihatnya sebagai point of departure (titik berangkat). Yang pertama lebih menekankan pada proses sementara yang kedua tidak hanya proses tapi juga bentuk dan isi.
Untuk menjembatani perbedaan sekaligus mengonsolidasikan gerakan oposisi, pada 1978 dilakukan sebuah pertemuan besar di kalangan oposisi untuk mendiskusikan dan memperdebatkan langkah-langkah apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi era transisi ini. Pertemuan ini membahas dua hal utama: pertama, bagaimana merespon peluang-peluang legal yang tersedia sebagai hasil dari perubahan sistem politik yang dilakukan rejim; kedua, mengenai prioritas-prioritas politik dan sosial bagi keberadaan sebuah partai baru.
Dalam pertemuan itu, dibicarakan bagaimana kendaraan terbaik untuk mengarungi era transisi. Seperti dicatat Lucio Kowarick dan Andre Singer, bentuk-bentuk organisasi seperti LSM atau serikat buruh tidak akan sanggup menjawab tuntutan di luar bidang garapannya. Sementara itu, gerakan sosial cenderung bersifat lokal, korporat, dan parsial. Ujung dari diskusi dan perdebatan ini adalah munculnya kebutuhan untuk adanya sebuah partai politik yang baru. Hanya wadah partailah yang sanggup menjawab tuntutan massa yang lebih luas. Dalam bahasa Jose Alvaro Moises, seorang intelektual yang terlibat dalam pertemuan itu, “tanpa sebuah partai baru yang kapabel bagi intermediasi politik, masa transisi ini hanya akan menjadi basis bagi kalangan otoritarian untuk terus menjalankan politik kekerasannya.” Sosiolog Francisco Weffort, menambahkan, ketiadaan partai menjadi penyebab utama sulitnya mengklarifikasi perbedaan penafsiran mengenai hubungan antara tuntutan-tuntutan kelembagaan (untuk demokrasi) dan tuntutan-tuntutan sosial-ekonomi. Selanjutnya, Moises dan Weffort mendukung dan mengusulkan terbentuknya sebuah partai baru yang demokratis, popular, dan sosialis. Keduanya juga kemudian menjadi sekian di antara pendiri PT.
Beberapa sektor di kalangan kiri menghendaki dibentuknya sebuah Partai Sosialis, mula-mula dengan membentuk sebuah tendensi sosialis di dalam Gerakan Demokratik Brasilia (Movimento Democratico Brasileiro/MDB). Sementara itu Julio Tavares dari Convergencia Socialista, berpendapat, sebelum membentuk partai sosialis yang berbasis massa, yang lebih mendesak adalah memenangkan ruang politik bagi kelas buruh yang lebih luas. Adapun Tendencia Socialista dari Rio Grande do Sul, mengharapkan agar MDB menjadi sebuah koalisi bagi buruh, mahasiswa, dan intelektual untuk selanjutnya beranjak menjadi sebuah partai buruh yang independen. Organisasi kiri lainnya seperti, Partai Komunis dan Maoist menganggap, diskusi mengenai pembentukan partai buruh atau partai sosialis terlalu prematur. Mereka lebih menekankan pada kebutuhan untuk membentuk sebuah front anti otoritarian yang luas.
Percepatan Pembentukan Partai
Di tengah-tengah upaya mengonsolidasikan gerakan oposisi yang tersebar itu, antara tahun 1978-1979, terjadi pemogokan besar-besaran di Brasil. Sekitar tiga juta buruh turun ke jalan-jalan. Dimulai dari wilayah industri Sao Paolo, yang merupakan jantung industri otomobil Brasil, pemogokan dengan cepat menyebar luas sektor-sektor industri dan jasa lainnya di seluruh Brasil. Pemogokan yang dipelopori oleh serikat buruh baja Sao Bernardo do Campo, Santo Andre, Sao Caetano, dan Diadema, serta Maua, Ribeiro Pires dan Rio Grande de Serra (yang dikenal dengan sebutan region ABC atau ABCD), tuntutan utamanya adalah menuntut perbaikan upah 34.1 persen.
Pemogokan ini juga, telah menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan oposisi yang paling mampu menggoncang kekuatan rejim militer saat itu. Selain itu pula, pemogokan ini telah melahirkan seorang figur yang sangat kharismatik, Luis Inacio da Silva (Lula), presiden serikat buruh Sao Bernardo dan Diadema. Figur yang besar bukan karena kapasitas intelektual (seperti Fernando Henrique Cardoso) atau karena sejarah perjuangan politik anti kediktatoran yang konsisten di masa lalu (seperti Leonel Brizola). Lula, adalah pemimpin yang lahir dan besar di kalangan akar rumput.
Tetapi, Lula bukanlah seorang pemimpin serikat buruh yang apolitis. Paska pemogokan, ia mengeluarkan pernyataan: “Saya pikir kita tidak bisa memisahkan antara faktor politik dan ekonomi….. Perjuangan ABC memang menyangkut masalah upah tapi, dalam perjuangan untuk perbaikan upah tersebut, kelas pekerja sekaligus meraih kemenangan politiknya.” Pada bagian lain ia mengatakan, “Pada momen tersebut, saya memahami bahwa kebutuhan kelas buruh adalah mengorganisasikan dirinya secara politik.”
Pemogokan massal ini tak pelak, telah menambah ramai dan mengubah konstelasi barisan oposisi. Diskusi mengenai perlunya pembangunan sebuah partai baru, kini mendapatkan basis massa yang sangat jelas. Diskusi tidak lagi mengawang-awang tapi, menukik pada bagaimana agar sebuah partai yang baru nanti bisa mengakomodasi tuntutan massa tersebut.
Demikianlah, sejak pemogokan itu, diskusi-diskusi di kalangan buruh mengenai pentingnya pembentukan sebuah partai buruh semakin intensif dilakukan. Diskusi-diskusi ini berlangsung di serikat buruh-serikat buruh terkuat dan terbesar yang berbasis di Sao Bernardo do Campo, Santo Andre, Osasco, Santos, Rio de Jeneiro, Belo Horizonte, Campinas, dan Porto Alegre. Secara terbuka, Lula kemudian menyampaikan idenya tentang pembentukan sebuah partai buruh dalam sebuah konferensi buruh minyak di Bahia pada akhir 1978. Tapi, secara resmi pernyataan akan perluanya sebuah partai buruh muncul dalam resolusi Sao Paulo State Metalworker’s Congress di Lins, Sao Paolo, pada Januari 1979. Dalam resolusi Lins tentang partai politik disebutkan,
“Brazilian workers to overcome their marginalization by uniting to form an internally democratic party, which would recognize the great importance of workers in Brazilian social life and contitute and independent power base.”
Segera setelah diluncurkannya resolusi, sekelompok orang yang terdiri dari Henos Amorina (Osasco metalworkes), Jaco Bittar (oil workers, Paulinha, Sao Paulo), Paulo Skromov Matos (Leather workers, Sao Paulo), Robson Camargo (pejabat pada Sao Paulo artis’t union), dan Wagner Benevides dari Belo Horizonte oil workers, berpendapat agar pembentukan partai buruh ini harus segera dipercepat. Kelompok ini kemudian menyusun sebuah pernyataan prinsipil (Carta de Principios), dan didistribusikan sebanyak dua ratus ribu eksemplar dalam parade Mayday yang berlangsung di kota-kota besar seperti Sao Paulo, Minas Gerais, Rio de Jeneiro, Bahia, Ri Grande do Sul, dan Ceara. Kelompok ini kemudian merencanakan untuk mendaftarkan partai tersebut dalam pemilu 25 Mei, 1979.
Kontan saja, aksi kelompok ini mendatangkan reaksi balik yang sangat keras. Joao Paulo Pires Vanconcelos mengatakan, dokumen yang didistribusikan itu telah mencederai kesepakatan di antara pemimpin dan anggota serikat buruh untuk menghentikan sementara diskusi mengenai proposal pembentukan partai. Ia menuduh, kelompok Carta de Principios merupakan kelompok pelopor (vanguardism), tidak hanya karena telah mengambilalih tindakan pencegahan tapi, juga karena beberapa dari anggota kelompok itu merupakan anggota atau bersimpati kepada partai Trotskis yang bergerak di bawah tanah. Yang lain menuduh, kelompok Carta de Principios lebih bertindak sebagai individu ketimbang merepresentasikan suara serikat buruh mereka. Argumeron Cavalcanti (doctors’ union) dan Hugo Perez (predisem dari the electrical workers’ federation of Sao Paulo dan presiden DIEESE), berpendapat, keputusan untuk mengumumkan sebuah partai harus dilakukan oleh serikat-serikat buruh sebagai organisasi. Lula sendiri, sebagai orang yang paling bisa diterima oleh semua pihak, berada pada posisi untuk tidak tergesa-gesa mengumumkan pembentukan partai buruh.
Demikianlah, dalam kongres nasional serikat buruh baja pada Juni 1979, di Pocos de Caldas, pembentukan partai Buruh, hanya masuk sebagai salah satu agenda pembahasan. Di samping itu, resolusi yang sama dengan resolusi Lins, dianggap telah usai. Para delegasi menganggap saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengumumkan keberadaan sebuah partai. Tapi, mereka setuju bahwa proposal pembentukan partai harus didiskusikan di seluruh pemimpin dan anggota serikat buruh.
Menariknya, setelah kongres Pocos de Caldas, tempo diskusi mengenai pembentukan partai buruh semakin menggelinding dengan cepat. Tidak itu saja, partisipannya juga kian meluas, tidak hanya sebatas serikat buruh. Pada bulan yang sama, dilakukan pertemuan dengan para intelektual, pemimpin serikat buruh, dan politisi-politisi MDB di Sao Bernardo. Pada 28 Juni, bertempat di Belo Horizonte, Lula meluncurkan sebuah draft program yang harus didistribusikan di kalangan buruh untuk didiskusikan pada akhir minggu. Setelah itu, pembentukan sebuah partai tergantung pada kehendak buruh sendiri. Yang menarik, dalam pernyataan itu, Lula tidak hanya merujuk pada pemimpin dan anggota serikat buruh tapi, juga pada asosiasi-asosiasi sekawan (neighborhood association). Kata Lula, partai buruh bermakna partai bagi seluruh mereka yang menerima upah dan kaum miskin secara umum. Dengan demikian, partai buruh tidak lagi eksklusif sebagai partainya serikat buruh atau partainya anggota serikat buruh saja.
Pergeseran makna partai buruh ini, kian mempercepat proses konsolidasi tersebut. Pada 18 Agustus 1979, sekelompok politisi yang keluar dari MDB, mengorganisir sebuah pertemuan besar di Sao Paulo, untuk mendiskusikan tentang gagasan partai buruh. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh sekitar empat ratus orang itu, termasuk politisi-politisi MDB, pemimpin serikat buruh, mahasiswa, intelektual, dan perwakilan dari ratusan gerakan yang berbeda, Lula secara aktif mengampanyekan pembentukan partai buruh yang independen dan terbuka bagi politisi-politisi progresif dari MDB. Menurut Lula, pemimpin-pemimpin serikat buruh yang hadir dalam pertemuan itu, tiba pada kesimpulan bahwa mereka harus berpartisipasi dalam politik, karena dalam struktur serikat buruh saat ini, mereka selalu mencoba seluruh kemungkinan untuk meningkatkan kondisi-kondisi kerja, dan mereka gagal. Pada saat yang sama, Lula menekankan, agar PT tidak harus dibentuk oleh serikat buruh sebagai lembaga, ini untuk mengkompromikan otonomi serikat buruh; perdebatan soal partai harus dilakukan di luar serikat buruh, tanpa meminta dukungan dari pemimpin-pemipin serikat buruh yang ada di PT.
Serangkain pertemuan-pertemuan untuk mengumumkan pembentukan partai buruh makin mantap. Pada 14 Oktober, terjadi titik balik. Jika sebelumnya, diskusi tentang pembentukan partai buruh masih berfokus pada tingkat gagasan, bagaimana partai buruh yang seharusnya, kini fokus diskusi berpindah pada organisasi formal Partido do Trabalhadores sebagai sebuah partai. Hingga akhirnya, bertempat di restoran Sao Judas Tabeu di Sao Bernardo, sekitar seratus orang, termasuk para intelektual, anggota Kongres, dan pemimpin-pemimpin serikat buruh, memutuskan untuk membentuk struktur PT sebagai sebuah organisasi politik, dengan formasi komisi nasional sementara. Pertemuan itu menyepakati sebuah pernyataan politik dan sebuah dokumen yang disebut “Suggestion for an interim Form of Functioning.”
Sejak saat itu, telah lahir Partai Buruh.
Kepustakaan:
1. Margaret E. Keck, “The Workers Party Anda Democratization in Brazil,” Yale University Press, 1992.
2. Lucio Kowarick (ed)., “Social Struggles and The City The Case of Sao Paulo,” Monthly Review Press, New York, 1994.
3. Coen Husain Pontoh, “Malapetaka Demokrasi Pasar,” Resist Book, Yogyakarta, 2005.