Ari Yurino*
Labor Market Flexibility (manajemen pasar tenaga kerja yang lentur), adalah suatu konsep yang sering kita dengar dalam dunia tenaga kerja. Konsep LMF ini sebenarnya merupakan solusi usulan pemerintah, untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tetapi, apa sebenarnya yang menjadi maksud dan tujuan penerapan LMF oleh pemerintah? Tulisan ini akan coba menjawabnya.
Di mata pemerintah, untuk mengatasi krisis ekonomi saat ini, diperlukan suatu pasar tenaga kerja yang lentur. Hanya pasar tenaga kerja yang lentur yang akan mendorong minat investor untuk menanamkan modalnya. Investasi tersebut diyakini akan membantu menghilangkan krisis.
Hal pertama yang penting diketahui adalah konsep investasi. Investasi adalah suatu kata dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Kata tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva, dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan. Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi, digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Misalnya, pembangunan rel kereta api, pabrik, pembukaan lahan, atau seseorang sekolah di universitas. Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada investasi non-residential (seperti pabrik, mesin, dll) dan investasi residential (rumah baru).
Dengan demikian, investor atau pengusaha adalah orang yang menanamkan modalnya atau berinvestasi dalam suatu bidang, guna mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Dalam pola klasik, pengusaha dianggap sebagai majikan bagi buruh yang menjual tenaga
kerjanya. Di sini, buruh secara langsung berhubungan dengan pengusaha dalam sebuah proses produksi. Namun dalam praktek terkini, pengusaha (investor) tidak lagi harus berhubungan secara langsung dengan buruh tetapi, memungkinkan juga melibatkan jasa pihak ketiga seperti perusahaan penyedia tenaga kerja, dsb. Model ini yang kita
kenal dengan konsep Outsourcing.
Menurut konsep ini, seorang buruh tidak lagi bertanggung jawab pada perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kerjanya, melainkan pada perusahaan yang menyalurkan tenaga kerjanya.
Dalam prakteknya, banyak sekali investor yang tergiur untuk menanamkan modalnya atau berinvestasi di Indonesia. Pasalnya, konsep LMF yang diusung pemerintah memang sangat menguntungkan mereka. Secara kelembagaan politik, LMF ini diterapkan dalam suatu bentuk Undang-undang. Di Indonesia, undang-undang tersebut dibuat oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang disebut UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ada berbagai bentuk praktek LMF ini yang bisa kita lihat dalam UU itu. Misalnya, status pekerja magang dan kontrak. Pekerja magang adalah mereka yang bekerja dalam satu perusahaan dengan status magang dengan masa kerja tertentu. Status magang ini diberlakukan perusahaan ketika pekerja baru masuk bekerja dalam suatu perusahaan.
Dalih yang biasanya digunakan adalah aturan pemberlakukan masa pelatihan atau training untuk tiga bulan pertama masa kerja. Alasannya, untuk menilai etos kerja buruh dalam perusahaan tersebut. Ketika tiga bulan pertama masa pelatihan tersebut selesai dan perusahaan menilai hasil kerjanya baik, pekerja tersebut diangkat menjadi pekerja kontrak.
Masalahnya, selama masa “pelatihan” tiga bulan pertama, status dan kedudukan pekerja magang sangat lemah. Ia sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa pesangon oleh perusahaan yang bersangkutan.
Adapun pekerja kontrak adalah pekerja yang masa kerjanya diatur dalam perjanjian kontrak antara pekerja dan pengusaha. Misalnya, ia dikontrak pengusaha hanya dalam masa enam bulan, dan setelah enam bulan tersebut, ia tidak dapat bekerja lagi di
perusahaan itu. Kecuali ia menandatangani perjanjian kontrak untuk masa kerja yang
baru.
Setidaknya ada dua masalah dalam model kerja kontrak ini. Waktu kerja yg singkat dan padat serta ketakutan akan pemecatan, membuat buruh kontrak enggan untuk berserikat. Karena itulah konsep LMF indentik dengan upaya penghancuran serikat-serikat buruh (busting the unions) di pabrik atau perusahaan.
Persoalan ini berimbas pada lemahnya posisi pekerja kontrak dalam mempertahankan hak-haknya ketika berhadapan dengan pengusaha atau pemberi kerja. Perundingan yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha sifatnya pribadi, bukan kolektif melalui
serikat buruh. Dalam model semacam ini, dapat dibayangkan bagaimana mudahnya pengusaha menghancurkan buruh yang rentan tersebut, baik itu dengan pola PHK massal maupun dengan memecat buruh yang dianggap merugikan perusahaan atau potensial
mengganggu proses produksi karena menuntut hak-hak mereka.
Hal lain yang disasar dalam sistem LMF adalah penghancuran biaya-biaya yang “tidak efektif” seperti: penghapusan upah minimum, menekan upah dan menghapuskan berbagai jaminan sosial yang diterima buruh selama ini. Semua komponen biaya tersebut hanya akan menambah beban biaya produksi. Itulah sebabnya, seringkali kita mendengar keluhan pengusaha yang mengatakan upah buruh terlalu tinggi dan tak sesuai dengan produktifitas kerja dan sebagainya. Pendeknya, LMF memakai logika bagaimana supaya pengusaha menjadi kaya raya dan menjadikan buruh semiskin-miskinnya.
Belum lagi upaya untuk mempermudah cara-cara agar dapat mem-PHK buruh setiap saat. Melalui status pekerja seperti yang telah dibicarakan di depan, PHK buruh akan menjadi lebih mudah. Dengan begitu, LMF sebenarnya tidak bertujuan mengurangi jumlah penggangguran di Indonesia. Sebaliknya, angka pengangguran justru meningkat tajam.
Konsekuensinya, tingkat pencari kerjapun jumlahnya semakin tinggi. Sehingga makin banyak orang yang mau diupah dengan murah asalkan dapat memperoleh upah dan bekerja.
Dari uraian diatas, jelas sekali bahwa LMF hanyalah upaya pengusaha dan pemerintah untuk memaksimalkan keuntungan mereka dengan mengeksploitasi keringat buruh.
*Penulis adalah Biro Propaganda Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP)