Martin Manurung
Artikel ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam bahasa Inggris yang dimuat pada The Jakarta Post, 8 Juli 2006.
“Gelombang ketiga demokratisasi,” demikianlah Samuel Huttington menamakan kecenderungan demokratisasi dewasa ini. Seperti mekarnya bunga-bunga di musim semi, negara-negara demokratis baru akhirnya bangkit setelah mimpi buruk panjang dibawah rejim-rejim otoritarian.
Indonesia, yang menjungkalkan diktator Soeharto pada 1998 dan Timor Leste, yang mencapai kemerdekaan penuh pada 2002, sering disebut sebagai contoh-contoh kemenangan demokrasi.
Akan tetapi, demokrasi di Timor Leste kini ditantang dengan krisis politik setelah terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok personil militer yang dipecat. Presiden Xanana Gusmao kemudian meminta Perdana Menteri Mari Alkatiri untuk mundur.
Alkatiri dianggap sebagai sumber masalah dan keresahan. Karena itu, dia diharuskan bertanggung jawab atas kerusuhan itu dan meninggalkan jabatannya sebagai konsekuensinya.
Kita jarang menemukan analisis yang mencoba untuk membuka tabir hubungan apa yang terjadi di Timor Leste dan neoliberalisme yang kini mendominasi lansekap politik dan ekonomi kita.
Alkatiri dikenal dengan kebijakannya yang melawan kepentingan-kepentingan kapitalisme global pada ekonomi domestik Timor Leste. Dia juga tidak setuju pada berbagai program liberalisasi yang disodorkan oleh berbagai institusi keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.
Dia juga menjalankan berbagai program proteksi pertanian untuk mengurangi ketergantungan Timor Leste pada import beras. Lebih jauh lagi, ia pun tak sepakat dengan proposal Australia untuk eksploitasi minyak di Celah Timor.
Kebijakan-kebijakan itu tentunya tak disenangi oleh kapitalisme global. Karena itu, berbagai institusi keuangan internasional menyatakan keprihatinannya dan menyarankan agar Alkatiri digantikan oleh figur yang lebih dapat bekerja sama.
Dalam sejarah, insiden ini bukanlah baru. Hugo Chavez di Venezuela harus menghadapi dua kudeta yang didukung oleh Amerika Serikat (walau, tentu saja, negara superpower itu membantah keterlibatannya) pada 2002 dan 2004.
Contoh yang lebih jelas dapat ditemukan pada kudeta terhadap Presiden Salvador Allende di Chile pada 1973 yang didukung oleh operasi intelijen asing dengan kode ‘Operasi Jakarta’ mengikuti operasi yang sama terjadi lebih dulu terhadap Presiden Sukarno pada 1960an.
Dengan mengamati contoh-contoh ini, kita dapat bertanya: Benarkah gelombang ketiga demokratisasi sedang terjadi?
Jawabannya dilematis. Merujuk definisi umum tentang demokrasi sebagai “sebuah masyarakat politik yang membolehkan (atau mendorong) keterlibatan, baik langsung maupun perwakilan, dari warga negaranya dalam proses politik, melalui perwakilan yang langsung maupun tak langsung”, mungkin jawabannya ‘ya’.
Dengan definisi ini, satu syarat yang membuat partisipasi terjadi adalah melalui pemilihan umum yang bebas. Indonesia, misalnya, telah menjalankan dua pemilihan umum yang bebas pada 1999 dan 2004. Bahkan, yang terakhir dijalankan lebih maju dengan mengimplementasikan pemilihan presiden langsung.
Idealnya, setelah pemilihan umum yang bebas diselenggarakan, pemimpin yang terpilih secara demokratis akan memiliki ruang untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya sebagaimana dijanjikan pada masa kampanye. Seluruh keputusan harus melibatkan partisipasi luas dari rakyat dan hanya bertujuan bagi kemakmuran rakyat.
Akan tetapi, globalisasi neoliberal dalam banyak hal telah menciutkan ruang dan kebebasan bagi pemimpin demokratis untuk menjalankan kebijakannya memenuhi aspirasi rakyat. Ha-Joon Chang (2004) dari Universitas Cambridge mencatat bahwa neoliberalisme global mengancam demokrasi dengan menghibahkan kekuasaan bagi investor dan korporasi global untuk mem-veto kebijakan domestik yang tidak mereka sukai.
Lebih lanjut, frekuensi krisis keuangan yang meningkat dibawah neoliberalisme telah secara luas meningkatkan kekuasaan IMF berhadapan dengan pemerintah nasional.
Singkatnya, neoliberalisme mengikis kepelbagaian kebijakan dan kebebasan untuk menjalankan kebijakan di negara-negara berkembang.
Kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah; apakah yang dapat dipelajari dari Alkatiri, Chavez dan Allende? Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang terpilih secara demokratis, akan tetapi demokrasi harus dikorbankan demi kepentingan kapitalisme global.
Demokrasi menurut definisi umum tak lagi relevan untuk menilai ‘gelombang ketiga demokratisasi’, karena dalam praktiknya, pemimpin yang terpilih secara demokratis dapat dijungkalkan jika mereka tak melayani kepentingan kapitalisme global.
Yang membuat Chavez dapat selamat menghadapi kudeta-kudeta selama ini adalah karena ia memiliki kendali yang relatif cukup siginifikan terhadap militer. Sayangnya, Alkatiri, Allende dan Sukarno tak memiliki keunggulan ini.
Ini bukanlah era gelombang ketiga demokratisasi. Mungkin, ini hanyalah era kejayaan neoliberalisme Anglo-American yang membuat musim semi demokrasi layu sebelum waktunya. Neoliberalisme yang mengangkat peran investor dan korporasi global telah membunuh demokrasi.