Sulitnya Memotret Anak Busung Lapar

Sri Palupi

Simaklah potret anak busung lapar di bawah ini. Sebut saja namanya Silvana. Umurnya belum mencapai tiga tahun. Kesan sekilas, wajah anak itu menghindari sorot kamera. Beberapa kali saya memotret anak busung lapar, hasilnya tidak jauh beda. Tak satupun dari anak-anak itu yang wajahnya menghadap kamera. Mengapa bisa demikian? Apakah anak-anak itu takut pada sorot kamera? Ataukah mereka malu? Atau barangkali anda menduga mereka terganggu dengan kilatan blitz yang menyilaukan itu? Sama sekali tidak!! Masalahnya bukan pada diri anak-anak itu, tetapi pada pemegang kamera. Bukan anak-anak itu yang takut pada kamera, tapi pemegang kameralah yang tak punya keberanian menatap wajah anak-anak itu.




Bayangkan seandainya andalah pemegang kamera itu. Dengan kamera di tangan anda, rasanya siapapun siap anda bidik. Tidak demikian yang terjadi kalau saja anda menatap wajah anak-anak busung lapar. Barangkali apa yang anda alami tidak berbeda jauh dengan pengalaman saya memotret anak-anak itu. Ketika mata kamera saya mengarah ke wajah anak-anak itu, sebilah pisau tajam serasa melesat dari sorot mata mereka: “Mengapa saya?” “Mengapa kau biarkan saya seperti ini?” Sebagai orang dewasa, saya tak siap menghadapi gugatan setajam itu. Karenanya saya tak pernah bisa bertatap mata dengan anak-anak itu lewat kamera saya. Saya memotret anak-anak itu tanpa menatap wajahnya. Dengan cara seperti itu, setidaknya saya masih bisa memotret tubuh mereka tanpa harus menghadapi sorot mata mereka.

Jangankan menatap sorot mata. Melihat sosok tubuh belia yang renta itu saja rasanya butuh keberanian ganda. Anak-anak busung lapar itu hadir dengan wajah gelisah dan rewel. Mereka lapar, tapi tubuhnya tak kuasa menyerap makanan biasa. Setiap suap yang disodorkan secara paksa pada mulutnya, ia muntahkan kembali. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan menangis. Tak seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Namun dari wajahnya kita bisa membaca siratan rasa sakit luar biasa. Lapar dan sakit membuat anak-anak itu menangis dan terus menangis. Lapar telah merampas, bukan saja bobot tubuh anak-anak itu, tetapi juga umur mereka. Simaklah sekali lagi tubuh Silvana. Siapa menyangka ia belum tiga tahun. Meski belum tiga tahun umurnya, tubuh itu telah menyusut dan mengemban kerentaan seorang nenek tua yang kenyang makan asam garam dunia. Tragis.

Sebenarnya baru enam hari aku mengenal Silvana. Ia kutemui dalam perjalanan ke Sumba Barat pada September 2005 untuk menjajagi masalah busung lapar di daerah itu. Saat kutemui ia terbaring lemah di satu bangsal rumah sakit di daerah Weteebula, Sumba Barat, NTT. Aku tinggal di salah satu kamar di rumah sakit itu, persis di belakang bangsal anak, tempat Silvana dirawat akibat marasmus. Dalam enam hari aku tinggal di rumah sakit itu, setidaknya dua kali sehari aku memandang wajah anak itu dan menyaksikan tubuhnya lunglai kelelahan. Dua kali sehari pula setidaknya aku melihatnya menangis luar biasa. Kusebut luar biasa, karena yang terjadi sebenarnya bukanlah tangisan, tetapi jeritan kencang.

Tataplah sekali lagi wajah anak itu. Bukankah otot muka dan lehernya menegang dan membesar layaknya orang berteriak atau menjerit? Meski menangis dan terus menangis, tak sebutir air mata pun meluncur dari pelupuk matanya. Meski menjerit lagi dan lagi, ruangan tempat ia dibaringkan tetaplah sunyi. Padahal dari ruang lain orang bisa dengar suara tangis anak-anak susul menyusul beradu keras. Sementara tak seorangpun mendengar tangis lirih Silvana, betapapun ia sudah sudah menjerit. Ada yang salah dengan pita suaranya. Tampaknya busung lapar tak hanya menggerogoti tubuh dan otak Silvana, tetapi juga memakan air mata dan rintih tangisnya. Anehnya para pengunjung di rumah sakit itu terusik, bukan oleh suara keras anak-anak di bangsal sebelah tapi oleh teriakan sunyi gadis cilik yang tengah didera kesakitan akibat busung lapar. Para pengunjung turut bersimpati atas derita Silvana, namun tak satupun dari mereka yang kuasa mendekat. Apalagi menyentuhnya. “Tak tahan melihatnya”, komentar mereka. Kalau melihat dari dekat saja sudah tidak tahan, bisa anda bayangkan keberanian macam apa yang dibutuhkan untuk membidik anak busung lapar dengan wajah menghadap kamera? Terlebih bagi orang-orang macam aku ini, yang tak biasa dengan kamera. Meskipun setiap hari aku menengok Silvana, namun keberanian untuk memotretnya baru muncul di menit terakhir menjelang kepulanganku ke Jakarta. Potret itu pun terasa sekenanya.

Sembilan bulan berlalu setelah aku memotret Silvana. Kini satu angan-angan mengalir dari ruang batinku. Andai busung lapar tidak menelan habis air mata, rintihan dan jeritan anak-anak itu, tentulah jerit tangis seorang anak marasmus macam Silvana sudah cukup menggerakkan siapa pun untuk melakukan apa pun demi menghindarkan setiap anak dari ancaman busung lapar. Sayang, yang terjadi tidaklah demikian. Derita jutaan anak busung lapar di berbagai pelosok negeri ini masih dianggap sepi. Sebab tangis mereka tanpa air mata dan jeritan mereka tanpa suara.

Seandainya saja saya punya keberanian lebih, akan saya hadirkan setidaknya dua sorot mata Silvana lewat bidikan kamera saya. Siapa tahu sorot mata itu masih bisa menggerakkan siapa saja untuk melakukan apa saja demi anak-anak itu. Siapa tahu pula ada kamera-kamera lain yang juga tergerak untuk menghadirkan sejuta sorot mata anak busung lapar di sejuta tempat yang lain. Barangkali dengan hadirnya jutaan sorot mata anak-anak busung lapar yang dari tahun ke tahun terus bertambah itu, membuat bangsa ini dapat menyikapi masalah busung lapar sebagai tragedi yang sepantasnya ditangani secara serius. Penanganan serius hanya bisa dibuktikan dengan dijalankannya pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan. Selama ini penanganan masalah busung lapar cenderung dijalankan dengan pendekatan proyek, bersifat emergency dan tidak mengatasi masalah. Terbukti, angka penderita busung lapar di NTT, misalnya, sampai sekarang terus bertambah meski milyaran rupiah sudah dikucurkan. Sayangnya, saya hanyalah seorang pengecut. Menghadirkan dua sorot mata saja saya tak mampu. ***

Penulis adalah Ketua Institute for Ecosoc Rights, peserta program pasca sarjana STF Driyarkara.

Foto: Sri Palupi, September 2005