Nunca Mas Indonesia?

Laporan Tim Ad Hoc Penghilangan Paksa

Mugiyanto

Setelah selesai melakukan penyelidikan atas berbagai kasus pelanggaran berat HAM seperti kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, Wamena, Trisakti Semanggi I dan II (TSS), dan Mei 1998, pada akhir Juni ini, Komnas HAM akan menyelesaikan penyelidikan ad hoc kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Penyelidikan ad hoc ini telah dimulai sejak 1 Oktober 2005, ketika Ketua Komnas HAM mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Tim Ad Hoc melalui SK No 23/Komnas/X/2005.

Sebelum terbentuknya Tim Ad Hoc, pada 23 September 2003, Komnas HAM telah membentuk Tim Pengkajian yang diketuai Komisioner M.M. Billah. Tim Pengkajian yang menyimpulkan adanya indikasi pelanggaran berat HAM pada peristiwa tersebut, kemudian merekomendasikan dibentuknya Tim Penyelidikan berdasar UU No 39 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Tim penyelidikan tersebut baru dibentuk oleh Komnas HAM pada 20 Januari 2005, melalui SK No 02/Komnas/I/2005. Tim Penyelidikan ini diketuai Komisioner Ruswiyati Suryasaputra dan menyelesaikan penyelidikannya pada 20 Juli 2005.

Dari penyelidikan non projustisia ini disimpulkan, terdapat indikasi yang kuat akan adanya tindak pelanggaran berat HAM dalam bentuk penghilangan paksa. Sebagai tindak lanjut, Ketua Komnas HAM pada 1 Oktober 2005, mengeluarkan Surat Keputusan No 23/Komnas HAM/X/2005 tentang pembentukan Tim Ad Hoc berdasarkan UU No 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran berat pada peristiwa penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997 – 1998. Tim Ad Hoc ini juga diketuai Komisioner Ruswiyati Suryasaputra. Tim Penyelidikan Ad Hoc inilah yang diharapkan oleh keluarga korban dan masyarakat, mampu mengurai tabir misteri penculikan atas 23 aktivis, terutama mengenai keberadaan atas 14 orang yang sampai kini tidak diketahui nasibnya.

Kinerja Tim yang tidak transparan


Dengan tidak mengurangi penghargaan bahwa penyelidikan ad hoc ini adalah sebuah kemajuan dari perjuangan panjang yang dipelopori keluarga korban selama 8 tahun terakhir, kinerja Tim Ad Hoc ini perlu diberikan catatan kritis. Pertama, Tim Ad Hoc ini bekerja sangat lambat, hingga perlu mengalami perpanjangan masa kerja selama dua kali. Hingga bulan terakhir masa kerja ini pula, Tim Ad Hoc baru bisa memeriksa sekitar 50 orang saksi dari para korban selamat, keluarga dan teman-teman korban, dan segelintir orang dari pihak kepolisian. Sementara itu, agenda untuk memeriksa pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab, pencarian dokumen dari instansi-instansi terkait dan inspeksi ke tempat-tempat penyekapan, penahanan dan penyiksaan sebagaimana diminta keluarga korban, hanya menjadi agenda di atas meja. Janji melakukan pemanggilan paksa hingga detik ini, juga belum dilakukan. Kelambatan ini dipastikan berhubungan dengan ketidakseriusan anggota Tim. Ketidakseriusan ini juga menunjukkan, kurang sensitifnya anggota Tim terhadap penderitaan korban dan keluarga korban yang tiap menit dan hari selalu menunggu kepastian tentang nasib orang-orang yang mereka cintai.

Kedua, Tim Ad Hoc ini bekerja kurang transparan dan tertutup. Publik, bahkan keluarga korban tidak pernah diberi tahu kemajuan proses penyelidikan yang dilakukan. Tidak pernah sekalipun keluarga korban diberitahu secara langsung oleh anggota Tim seputar kemajuan-kemajuan penyelidikan. Memang pernah ada pernyataan Tim, mereka akan berkomunikasi dengan keluarga korban. Pernyataan-pernyataan kepada publik melalui media massa, juga sangat jarang dilakukan, kecuali atas desakan keluarga korban. Ketertutupan ini menyebabkan kontrol dan partisipasi publik atas proses penyelidikan yang tengah berlangsung, tidak bisa dimaksimalkan. Padahal, jika keluarga korban dan publik diberitahu kemajuan proses penyelidikan, terutama hambatan-hambatan baik teknis maupun politis yang dihadapi Tim, mereka tidak hanya akan tahu siapa yang menjadi penghambat proses penyelidikan tapi, juga bisa membantu memberikan desakan pada pihak-pihak yang menjadi penghambat. Pada saat yang sama, ketika hal itu terjadi, hak keluarga korban untuk tahu (the rights to know) juga terpenuhi. Tetapi kalau hal ini tidak dilakukan, tidak hanya Tim saja yang dirugikan, karena dinilai buruk oleh masyarakat tetapi, dan terutama, adalah korban dan keluarganya.

Berhubungan dengan ketertutupan Tim, keluarga korban juga mengeluhkan pimpinan Tim Ad Hoc dan Komnas HAM, yang selalu menghindar ketika keluarga korban melakukan kegiatan audiensi. Sejak Tim terbentuk bulan Oktober tahun lalu, dari sekitar 6 kali melakukan audiensi, keluarga korban hanya pernah bertemu sekali dengan Ketua Komnas HAM dan Tim.

Retraumatisasi korban


Usaha Tim Ad Hoc untuk memeriksa semakin banyak saksi korban patut dihargai, selama usaha tersebut memang dilakukan untuk mengetahui dan merunut peristiwa sampai para korban dihilangkan. Tetapi, usaha tersebut harusnya tidak digunakan untuk menghabiskan waktu dan tenaga, sehingga pekerjaan penyelidikan yang jauh lebih penting - pemeriksaan saksi yang diduga bertanggung jawab, inspeksi ke lokasi penyekapan dan pencarian dokumen-dokumen seputar peristiwa - tidak bisa dilakukan karena kehabisan waktu.

Tim seharusnya juga menggunakan bahan-bahan pemeriksaan saksi korban dan keterangan dari pihak keluarga korban, yang sudah terkumpul secara rapi dan akumulatif dalam proses pengkajian dan penyelidikan Tim-Tim di Komnas HAM sebelumnya. Hal ini perlu dipertimbangkan, tidak hanya untuk efisiensi tenaga dan dana dari anggaran negara tapi, juga meminimalisir dampak psikologis berupa retraumatisasi bagi korban dan keluarga korban ketika mereka diperiksa dan diminta memberi kesaksian yang berulang-ulang.

Hasil penyelidikan yang berkualitas

Dalam berbagai kesempatan, baik di kalangan keluarga korban sendiri maupun audiensi dengan lembaga-lembaga terkait termasuk Komnas HAM, keluarga korban selalu mengharapkan dan menekankan agar penyelidikan ad hoc Komnas HAM ini bisa menyediakan informasi seputar nasib dan keberadaan para korban yang masih hilang. “Sing tak karepke, yen pancen wis mati, kuburane ning endi. Nek isih urip, manggone ning endi. Ben atiku ora sumumpel maneh” (Yang saya inginkan, kalau memang sudah meninggal, dimana kuburannya. Kalau masih hidup, dimana sekarang berada. Supaya tidak lagi mengganjal di hati). Itulah ucapan Paimin (62), ayahanda Suyat dalam film dokumenter “Batas Panggung; Kepada Para Pelaku” yang diproduksi Offstream dan Kontras tahun 2004. Kalimat seperti itu, kemudian menjadi kalimat yang berulang-ulang diucapkan oleh para anggota keluarga korban untuk menungkapkan harapan tertinggi mereka.

Dari situ sangat jelas, keluarga korban menempatkan kejelasan nasib korban sebagai hal yang utama. Sementara, proses hukum bagi pelaku dan pemenuhan hak korban atas pemulihan adalah sesuatu yang harus dilakukan secara otomatis kemudian, mengingat setiap kejahatan, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan harus diproses secara hukum. Demikian pula hak-hak pemulihan bagi korban berupa rehabilitasi, kompensasi dan restitusi, juga tidak bisa ditunda-tunda pemenuhannya.

Keinginan keluarga korban penghilangan paksa yang demikian, memang berbeda dengan harapan pada proses penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM lain seperti penyiksaan, pembunuhan diluar hukum dll, yang lebih menekankan pada hal-hal yang bisa membuktikan adanya tindakan kejahatan untuk dapat menyeret pelaku ke pengadilan dan pemenuhan hak-hak pemulihan bagi korban, mengingat keberadaan korban sudah diketahui secara jelas.

Keadilan substantif di atas keadilan formal


Untuk memenuhi rasa keadilan korban dan masyarakat, hasil akhir penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM nanti harus diarahkan tidak semata-mata untuk mencari unsur-unsur kejahatan dan bukti-bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut sesuai dengan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Lebih dari itu, dan terutama adalah untuk mengungkap dan mengurai fakta-fakta seputar peristiwa yang diselidiki, yang mengarah pada informasi seputar keberadaan mereka yang dihilangkan.

Disinilah tantangan dari sebuah penyelidikan untuk kasus penghilangan paksa. Tidak ringan memang. Tapi dari keseriusan, keberanian, keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, serta semangat demi tidak terulangnya kejahatan serupa di waktu yang akan datang, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh Komnas HAM.

Ernesto Sabato, seorang sastrawan ternama Argentina yang ditunjuk Presiden Raul Alfonsin pada 1984, memimpin Komisi Nasional untuk Penghilangan Paksa (CONADEP) untuk menyelidiki peristiwa penghilangan paksa di Argentina pada masa junta militer 1976 – 1983, berhasil menyusun laporan penyelidikan yang diberi judul “Nunca Mas” atau “Jangan Terulang Lagi.” Laporan CONADEP yang dijadikan buku yang dalam pengantar bahasa Inggrisnya ditulis sebagai “Laporan Dari Neraka,” berhasil mengungkap pola, lokasi penyekapan, penyiksaan dan pembunuhan, menyebutkan 9000 nama korban, mereka yang dianggap bertanggung jawab dan hal-hal rinci seputar peristiwa dan kebijakan rejim junta militer di Argentina. Dari hasil penyelidikan pimpinan Ernesto Sabato inilah penemuan lokasi penyekapan, kuburan massal dan kegiatan penggalian (eksumasi) dilakukan. Dari sana, kemudian pengadilan digelar untuk meminta pertanggungjawaban hukum pada para pimpinan junta.

Hasil penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM ini mungkin tidak selengkap “Laporan Dari Neraka” yang dibuat CONADEP. Tapi, menjadikannya sebagai acuan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Walaupun waktu semakin mendekat, tidak ada sesuatu yang terlambat selama kita menjadikan nafas dan harapan korban dan keluarga korban sebagai pegangan dalam bertindak. Semoga.

Mugiyanto, ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang).