Serikat Buruh dan Gerakan Sosial Politik

Dari ‘Anti Revisi’ ke Anti Neoliberalisme

Dominggus Oktavianus

Sulit dipungkiri, puluhan tahun penghancuran sistematis terhadap kekuatan politik kelas buruh telah menyisakan serpihan berserakan yang tak mudah dirajut kembali. Namun, ada juga kenyataan yang sulit dipungkiri. Kerja merajut sudah dilakukan dan mulai menunjukkan perkembangan-perkembangan penting, dengan melibatkan banyak aktor dan beragam peran. Salah satunya, wacana dan praktek perjuangan politik Serikat Buruh. Memang, wacana ini masih beragam versi. T ulisan ini merupakan sedikit upaya memperkaya wacana praktis tentang serikat buruh sebagai kekuatan sosial politik dalam konteks situasi sekarang: mengapa ia dibutuhkan dan bagaimana membangunnya?

Babak Kekalahan
Setelah Soeharto, dengan tangan besinya menghancurkan seluruh kekuatan politik anti neo-kolonialisme, ekonomi-politik Orde Baru dibangun melalui jalan kapitalisme. “Anti neo-kolonialisme” pada masa itu bermakna, pewujudan kemandirian ekonomi yang lepas dari ketergantungan modal asing—dengan partisipasi seluruh rakyat, termasuk partisipasi Serikat Buruh (SB). Karenanya, di masa itu kiprah SB tidak sekedar dalam ranah sosial-ekonomi juga, sosial-politik. Mayoriasnya berposisi mendukung politik anti neo-kolonialisme.

Pembasmian kekuatan anti neo-kolonialisme (PKI dan Soekarnois) yang dimulai tahun 1965, juga berarti penghancuran terhadap SB sebagai kekuatan sosial-politik pendukungnya. Singkatnya, setelah itu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diijinkan berdiri, mendapat doktrin harmonisasi hubungan industri (dikenal dengan Hubungan Industrial Pancasila/HIP). Secara politik, SPSI diperalat menjadi agen “pembangunanisme” Orde Baru yang bergantung, sekaligus mengabdi, pada kepentingan modal asing. Sebuah posisi yang bertentangan seratus delapan puluh derajat dari posisi SB sebelum Orde Baru. Pada level praktis, sehari-harinya SPSI bertindak sebagai pembela pengusaha, manakala muncul konflik antara buruh dan pengusaha—karena membela buruh dianggap melawan ideologi pembangunan yang dicanangkan Orde Baru.

Alih-alih secara politik bisa sebagai perwakilan kelas buruh, pengurus serikat secar berangsur tercerabut dari kepentingan kelas massa anggotanya. Mereka dibentuk sebagai (atau bermetamerfosa menjadi) lapisan birokrat yang, atas mandat rejim diktator, bertugas memastikan agar tuntutan pengusaha dapat ‘didamaikan’ dengan kepentingan buruh dan sebaliknya. Dari sini, meminjam istilah Vedi R. Hadiz, “tradisi keserikatburuhan politik” yang sudah berlangsung sejak permulaan abad 20, dilenyapkan. Berganti menjadi ketundukan dan oportunisme birokrat SB di hadapan kekuasaan modal dan militer.

Periode Orde Baru dapat disebut sebagai babak kekalahan politik kelas buruh (dan rakyat), menghadapi aliansi kekuatan modal asing, tentara, dan unsur-unsur konservatif dalam kekuasaan negara.

Babak Kebangkitan

Runtuhnya kediktatoran politik pada 1998, memberi harapan baru bagi pembangunan kembali gerakan buruh dengan SB sebagai kekuatan sosial politik. Berbarengan dengannya, dampak kebijakan ekonomi neoliberal semakin terasa menyerang kesejahteraan buruh. Realitas tingginya angka PHK, sistem kerja kontrak, outsourcing, masalah jaminan sosial, nilai upah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, dan persoalan-persoalan konkret lain, makin sering dihadapi SB.

Perkembangan krusial yang lahir secara spontan dari perubahan situasi di atas adalah: pertama, perubahan politik yang sarat sentimen populisme berimbas juga dalam perjuangan buruh. Daya kritis massa buruh terus terasah sehingga, mendorong setiap SB mengambil peran yang lebih reformis. Atau, pada situasi tertentu radikal ketika menghadapi kasus-kasus perburuhan. Bahkan, sebagian pengurus SPSI, khususnya di level struktur yang bersentuhan langsung dengan massa, terlarut dalam sentimen ini.

Kedua, sebagai dampak lanjutannya, SB yang masih meneruskan tradisi lama segera kehilangan kepercayaan dari massa anggotanya. Tradisi lama yang diteruskan dengan cara-cara terselubung (makin cerdik) juga, perlahan-lahan tercium kebusukannya. Perpecahan dan rangsangan mendirikan organisasi buruh independen menelurkan ratusan organisasi buruh baru di seluruh level - dari nasional sampai perusahaan. Pada fase awal, karena berbagai motif, perpecahan dan fragmentasi ini memunculkan persaingan tidak sehat dan saling curiga antara SB. Namun karena tantangan situasi obyektif, kehendak untuk membangun persatuan dan solidaritas, kian mengerucut. Unsur-unsur yang menolak persatuan dan solidaritas berpotensi terkucil dari gerakan.

Selain dua kondisi di atas, lahir pula perkembangan ketiga yakni, tradisi aksi massa dan pemogokan yang semakin menyebar luas sebagai metode perjuangan. Semakin banyak buruh yang mengenal metode aksi kolektif—yang efektif—untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

Mengapa Neoliberalisme?

Perkembangan positif di atas, tentu saja membutuhkan rangsangan lebih lanjut. Jalan keluar masalah perburuhan menuntut penyelesaian simultan terhadap kontradiksi dalam situasi makro ekonomi-politik. Kontradiksi tersebut merupakan bangunan ekonomi peninggalan Orde Baru yang masih digunakan sekarang, dengan ciri khas ketidakmampuan industri dalam negeri menghadapi liberalisasi ekonomi dunia (neoliberlisme). Dengan struktur industri dalam negeri yang sangat bergantung pada asing (tidak mandiri), dampak-dampak liberalisasi ekonomi lebih banyak merugikan, dan lebih lanjut, menempatkan buruh pada posisi yang semakin rentan.

Konsekuensinya, solusi masalah perburuhan sarat kepentingan ideologi-politik: antara pro atau kontra neoliberalisme. Lebih jelasnya, SB tidak dapat mengelak untuk berposisi terhadap setiap kekuatan politik (partai politik, legislatif, dan eksekutif) sesuai karakter programatiknya; mana unsur yang pro dan mana yang kontra neoliberalisme. Hal ini yang belum tampak jelas dalam gerakan buruh sekarang.

Banyak faktor yang menyebabkan posisi SB terhadap kekuatan-kekuatan politik menjadi tidak tegas, atau sengaja tidak ditegaskan. Perbedaan pemahaman politik sebagai akibat depolitisasi memang merupakan masalah. Namun, terlampau umum untuk menunjuk hal tersebut sebagai faktor penyebab. Penulis cenderung merujuk beberapa faktor berikut yang membutuhkan penanganan khusus. Pertama, kepentingan sejumlah pimpinan serikat yang dekat atau menginduk pada kekuatan politik pro neoliberal. Misalnya, beberapa pengurus KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang secara resmi tercatat sebagai pendukung Partai Golkar. Dalam konteks ini, sulit membedakan karakter elit SB tersebut dengan elit SB pada masa Orde Baru, di mana organisasi buruh sekedar menjadi alat (tangga) karir pimpinannya. Karakter ini sebangun dengan praktek oportunisme pimpinan serikat yang memanfaatkan posisi strategisnya dalam hirarki struktur untuk kepentingan yang sempit.

Kedua, faktor tradisi serikat buruh ekonomis yang menekankan fungsi SB sebatas pada aspek domestik perburuhan. Respon pada aspek ‘non domestik’ yang paling maksimal, sekalipun masih dalam lingkup perburuhan - terutama yang menjadi trend saat ini - adalah masalah legislasi perburuhan. Kerap ditemui, kesimpulan tentang neoliberalisme sebagai sumber persoalan sudah diamini, namun untuk melangkah maju ke arah perjuangan melawan neoliberalisme secara keseluruhan, masih dianggap bukan porsi SB. Kecenderungan ini dapat disebut sebagai “politik keserikatburuhan,” bukan “keserikatburuhan politik.”

Ketiga, situasi gerakan rakyat secara keseluruhan yang belum mampu bersatu, sehingga polarisasi politik di level mainstream berdasarkan platform pro-kontra neoliberalisme belum muncul. Kehadiran kekuatan politik alternatif kontra neoliberal dalam bentuk front persatuan multi sektor - dengan agenda-agenda strategis - akan membantu proses kemajuan gerakan buruh karena pilihan wadah politik yang akan disokong menjadi jelas. Hal ini penting, karena sulit mengharapkan kelahiran alternatif politik hanya dari gerakan buruh semata.

Catatan tentang momentum revisi UUK 13

Disengaja atau tidak, ketidaktegasan posisi SB terhadap politik neoliberal berujung pada pembiaran berjalannya kebijakan makro yang merugikan buruh. Peran SB juga tereduksi yang menyebabkan kekuatan tawarnya melemah. Dampak lebih lanjut, gerakan buruh dipandang sebagai kekuatan besar yang terorganisir, namun sebatas kemampuan defensive pada persoalan-persoalan perburuhan semata.

Pihak lawan yang mengetahui keterbatasan ini, kian mengeksploitirnya dengan mendikotomikan porsi perjuangan SB dengan perjuangan rakyat lain (non buruh), yang notabene sama mengalami dampak buruk neoliberalisme. Secara terang-terangan atau terselubung, mereka mencegah SB berbicara masalah-masalah sosial yang lebih luas, seperti pengangguran, subsidi sosial, kontrol atas kekayaan alam, dsb. Ironisnya, berbarengan dengan pencegahan itu, tuntutan-tuntutan yang mengedepankan kebutuhan sosial-ekonomi buruh secara langsung (seperti kenaikan upah, tolak PHK, dll), dituding egois, tidak peduli pada kepentingan yang lebih luas (perekonomian nasional), dan tuduhan sejenis lainnya.

Dalam kasus revisi UUK 13/2003, tudingan semacam itu muncul dengan logika: bila revisi ditolak, maka investor akan pergi dan pengangguran akan semakin banyak. Jawaban SB sendiri umumnya bersifat defensive, seperti; rendahnya investasi bukan kesalahan buruh, melainkan masalah-masalah lain, dari infrastruktur sampai pungli dan birokrasi; bukan jawaban offensive seperti; dalam kondisi ini investasi negara yang dibutuhkan untuk menguatkan basis industri dalam negeri dengan sumber dari pemutihan utang luar negeri, kontrol negara atas sumber daya alam, dana obligasi rekapitalisasi perbankan, penguatan human capital (pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat), dll. Jawaban seperti ini dibutuhkan, karena tidak memberi celah untuk diplintir; seolah-olah SB setuju terhadap konsep penyelesaian krisis a la neoliberal yang mengandalkan investasi asing sebagai mesin reparasi ekonomi, hanya saja dalam bidang perburuhan perlu ditemukan kompromi-kompromi penerapannya. Padahal revisi UUK 13/2003 maupun UUK 13/2003 itu sendiri satu paket dalam keseluruhan agenda neoliberal.

Kegamangan - untuk berposisi terhadap neoliberalisme sebagai sebuah keputusan politik penguasa - ini yang perlu dijawab sebagai langkah awal menentukan peran politik gerakan buruh ke depan. Gerakan buruh perlu mengambil langkah offensive terhadap kekuatan-kekuatan politik yang mendukung praktek neoliberalisme tersebut. Sikap ini yang berusaha ditunjukkan oleh Aliansi Buruh Menggugat (ABM ) pada May Day lalu, meski belum tandas sebagai suatu kesepakatan kolektif.

Konsepsi Praktis

Perdebatan tentang perlu tidaknya perjuangan politik SB sudah harus dimajukan, karena SB tidak dapat mengambil posisi netral terhadap neoliberalisme sebagai masalah politik-ekonomi.

Kebutuhan selanjutnya adalah menemukan konsepsi praktis dari tradisi keserikatburuhan politik, dengan titik berangkat kondisi obyektif sekarang. Wacana yang berkembang di kalangan pegiat perburuhan, tentu saja membutuhkan pengujian di lapangan praktis, dengan pemahaman bersama terhadap desain gerakan yang hendak dibangun. Karena itu, sangat penting agar wacana tersebut didiskusikan di kalangan SB-SB.

Salah satu yang mulai berkembang adalah gagasan untuk menggalang seluas-luasnya kekuatan gerakan buruh dengan platform, kontra neoliberalisme di segala lapisan sebagai alat persatuan berbasis sektoral. Kejelasan dan ketegasan programatik dibutuhkan sebagai antisipasi pecah-belah yang akan dilakukan pihak lawan. Berkaca pada sejarah dan pengalaman di negeri-negeri lain, sebagian pimpinan SB dapat diperalat untuk mendukung kebijakan pro-neoliberal dengan bermacam pembenaran. Misalnya, CTV (Confederaciόn de Trabajadores de Venezuela) Konfederasi Buruh Venezuela, yang mendukung kudeta terhadap presiden Hugo Chavez; atau SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia) bentukan tentara sebagai alat kontra revolusi yang bermain di wilayah keserikatburuhan.

Sejalan dengan penggalangan kekuatan anti neoliberalisme berbasis sektoral, tuntutan keterlibatan SB dalam kerja pembangunan kekuatan politik alternatif multi sektoral juga tampak mendesak. Bahkan, SB perlu mengambil posisi inisiator persatuan tersebut, mengingat sumber kekuatan politik alternatif, tidak lain berasal dari gerakan-gerakan perlawanan massa terhadap neoliberalisme sekarang.

Dominggus Oktanianus, Ketua Pengurus Pusat Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (PP FNPBI).