Adili Soeharto, Evaluasi Perkembangan Historis Indonesia

Roysepta Abimanyu
http://abimanyu.free.fr, 5 Juni 2006

Menyimak berbagai kolom opini dan pernyataan para tokoh di beberapa media massa saat ini, terkesan perbincangan yang paling mendominasi berpusar pada dua persoalan: penegakkan hukum dan etika-moralitas. Di hadapan para pembaca, pihak yang mengamini penghentian proses hukum atas Soeharto dan yang menolaknya, sama-sama mengajak ke arah pertimbangan baik-buruk, adil-tidak adil, hingga ke persoalan jasa dan dosa Soeharto sebagai Presiden.

Tak kalah mengesankan, pernyataan seorang tokoh agama yang tercuat di media massa: “Marilah ampuni beliau untuk keselamatan bersama.” Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga mengatakan, akan mengambil sikap “seperti yang ada dalam pepatah Jawa, mikul dhuwur mendhem jero (memikul tinggi-menanam dalam-red) dalam menyelesaikan kasus mantan Presiden Soeharto.” (Kompas, Senin, 22 Mei 2006).

Pengadilan Soeharto kemudian dikaitkan dengan upaya rekonsiliasi nasional, maaf-memaafkan yang kesan substansialnya tercermin dalam frasa “menutup buku lama, membuka lembaran baru.” Tak cukup, bahkan berkembang ide agar presiden mengeluarkan surat keputusan presiden (Keppres) tentang abolisi terhadap proses hukum terhadap Soeharto. Dengan Keppres itu, presiden Yudhoyono ditekan agar tidak menyalahkan atau menganggap salah para penduhulunya.

Gambaran Yang Lebih Besar

Mungkin karena bobotnya sebagai mantan Kepala Negara dari Indonesia, personifikasi sejarah masa lalu dalam diri Soeharto begitu kuatnya. Itu sebabnya, pengadilan atas Soeharto menjadi pusat perhatian yang besar, terlepas dari peran media massa yang mengemasnya. Namun, ada sebuah alasan yang malah kurang diangkat: keberanian mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan Negara dan aparaturnya, yang dipimpin Soeharto, sedari awal Orde Baru berdiri.

Dalam bukunya Vive la Nation! Yves Lacoste, profesor emeritus Universitas Paris 8 dan pembaharu utama aliran geopolitik Perancis, mendeskripsikan, sebuah bangsa yang ingin menghindari kemunduran haruslah tetap memperjuangkan nilai-nilai universal dan fundamental yang telah menggerakkan banyak orang ke dalam sebuah ide-kekuatan geopolitik yang bernama nation atau bangsa.

Situasi penjajahan dan Perang Dunia II jelas telah membuat nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan menggerakkan jutaan orang untuk sukarela mengorbankan segalanya demi sebuah ide geopolitik bernama Indonesia. Namun, selama Orde Baru kedalaman nilai-nilai tersebut dikebiri sedemikian rupa, sehingga menjadi Pancasila yang setiap senin pagi diucapkan beramai-ramai para pelajar SD hingga SMA. Universalitasnya dicerabut dengan segala indoktrinasi pem-beo-an.

Wajarlah jika tertanam di kepala kita bahwa nilai-nilai yang telah diperdangkal tersebut hanyalah unik yang melekat di identitas ke-Indonesia-an kita. Wajarlah, jika kemudian simpati atas kemerdekaan, empati terhadap keadilan, dan kemanusiaan kita juga, hilang ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang berbeda ukuran moralitas. Atau dengan mereka yang tidak ingin lagi berbagi rumah bernama Indonesia.

Dibenamkannya ketiga nilai dasar dan universal itu setidak-tidaknya, telah merusak perilaku Indonesia sebagai bangsa yang akan bergerak maju dengan belajar mengakui kesalahan masa lalunya.

Hingga kini, tak ada pengakuan resmi dan permintaan maaf dari Negara atas tindakan-tindakan yang dilakukannya sepanjang 1965-1998, khususnya terhadap mereka yang dituduh melakukan pemberontakkan pada Oktober 1965. Padahal, yang dilakukan Negara jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia, dengan menjebloskan ratusan ribu orang ke dalam penjara dan kamp konsentrasi tanpa proses pengadilan yang jelas. Jangankan meminta maaf, beberapa elemen aparatur negara malah tetap mencurigai mereka yang telah lanjut usia tersebut.

Negara Indonesia juga, tidak pernah mengakui kesalahan atas penyerbuan dan pendudukkan yang dilakukannya terhadap bangsa Timor Leste. Padahal, tindakan tersebut telah nyata melanggar kalimat yang membuka UUD 1945 dan asas non-intervensi yang menjadi komitmennya sejak Konferensi Asia-Afrika 1955.

Itu juga harus ditambah sederetan operasi-operasi militer, terbuka ataupun tertutup, terhadap mereka yang tidak sepakat dengan Soeharto dan para pejabatnya. Begitu banyak daftar pelanggaran yang dilakukan Negara, atas nilai-nilai yang dahulu mendirikannya. Apakah ini semua bukan kesalahan yang harus diakui secara resmi?

Sisi Praktis

Hal-hal tersebut di atas membuat proses hukum atas Soeharto, meskipun masih terbatas pada kasus-kasus yang berhubungan dengan Korupsi-Kolusi-Nepotisme, tidak lagi sebatas persoalan antara tega-kasihan, adil-tidak adil, pengabdian ke politik atau ke hukum, yang semuanya masih pada tataran elementer. Pengadilan terhadap Soeharto bermakna pembukaan pintu terhadap pengakuan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Negara di masa pemerintahannya.

Dalam tataran praktis, makna proses hukum Soeharto yang baru sebatas kasus KKN yang dilakukannya, setidak-tidaknya bisa dibongkar lebih jauh. Bagaimana ia beserta sekutu-sekutu ekonomi dan politiknya, melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara. Bagaimanapun Soeharto tidaklah sendirian dalam memanfaatkan kekuasaannya. Kolaborator-kolaborator terdekat dalam kekuasaannya, juga harus diperiksa sehubungan dengan kasus tersebut. Bukan mustahil mereka juga harus diseret ke pengadilan. Dengan demikian, pembersihan negara dari unsur-unsur yang menegakkan rejim korup terlama ini dapat dilakukan.

Masih di tataran praktis, proses hukum tersebut juga harus diikuti dengan pembukaan di depan publik, semua dokumentasi negara yang dapat diperoleh (jika ada dan tidak dimusnahkan) , termasuk paling rahasia sekalipun atas segala keputusan-keputusan politik yang menyertai tindakan-tindakan KKN tersebut. Dengan begitu, masyarakat luas mengerti sejarah pemerintahan Soeharto dari sisi dalam, bukan sebatas sisi luar yang selalu berhubungan dengan kekerasan.

Meski baru menyoroti tindak KKN yang dilakukan Soeharto, telah begitu banyak yang dapat dicatat dalam memori kolektif kita, dipelajari dan dipahami. Tujuannya, pemerintahan seperti Soeharto harus dihindari, bahkan Negara yang dikuasainya harus dilawan dengan nilai-nilai universal dan fundamental yang dulu mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Dengan demikian, Generasi Indonesia masa depan bisa dengan bangga berkata, “Kami tidak ingin ada pemerintahan semacam Soeharto lagi. Hanya keledai yang terperosok pada lubang yang sama.”