Coen Husain Pontoh
Setelah lebih dari dua dekade masa transisi demokrasi, apakah demokrasi semakin terkonsolidasi di negara-negara yang menjalani masa transisi? Lebih banyak jawaban pesimis yang muncul, ketimbang positifnya. Salah satu pesimisme itu dikemukakan Thomas Carothers, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat. Dalam papernya “The End of the Transition Paradigm" (2002), Carothers menulis, dari seratus negara yang betul-betul dipertimbangkan berada dalam periode “transisional” pada periode belakangan ini, hanya sedikit sekali – mungkin tidak lebih dari 20 negara – yang nyata-nyata sedang berada pada rute menuju demokrasi. Sisanya, dikategorikan oleh Carothers, berada di area politik abu-abu.
Saya tidak akan membahas lebih lanjut studi Carothers itu di sini (lebih luas studi ini telah saya bahas dalam buku, “Malapetaka Demokrasi Pasar,” 2005). Saya mau masuk langsung pada sisi dalam pandangan gerakan sosial di Indonesia terhadap proses transisi demokrasi yang tengah berlangsung. Gerakan sosial di Indonesia, umumnya berpendapat, transisi kini dalam bahaya. Demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite, dijadikan sebagai kendaraan baru bagi mereka untuk mempertahankan basis kekuasaan lamanya dan melanggengkannya.
Sampai di sini ada persetujuan bersama. Lalu, bagaimana menyikapi kondisi yang mengkhawatirkan ini? Baru di sinilah, tampak betapa ketidaksepakatan bukan barang murah. Dari beberapa publikasi yang bisa dibaca, terungkap bahwa dasarnya berangkat dari cara pandang yang secara substansial berbeda dalam menyimpulkan betapa masa transisi sedang memburuk. Sebagian kelompok dalam gerakan sosial melihat, defisit demokrasi ini terjadi karena piranti penunjuang transisi (kelembagaan, reformasi hukum, birokrasi, dan militer) tidak berjalan mulus. Sebabnya, karena itu tadi, demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite. Solusinya, bagaimana agar gerakan sosial terus berusaha mendesak para elite (melalui demo atau lobi atau masuk dalam sistem), agar mau bersungguh-sungguh menjalankan amanat reformasi. Dalam kesungguhan ini, sadar tak sadar, mereka telah bersikap sebagai seorang teknokrat dengan posisi yang marjinal.
Gerakan sosial yang lain, memandang defisit demokrasi ini terjadi karena sistem demokrasi yang diadopsi adalah demokrasi borjuis. Kelompok ini melihat, demokrasi elektoral memiliki sisi yang positif yakni, terbukanya sedikit ruang bagi pembangunan dan perluasan gerakan sosial. Tapi, harus disadari sejak awal, demokrasi borjuis ini sangat terbatas yakni, hanya melindungi dan menguntungkan posisi borjuasi. Melanggar batas-batas tersebut, berarti siap berhadapan dengan aparatus kekuasaan. Karena itu, jika gerakan rakyat sudah besar dan kuat, maka demokrasi borjuasi yang terbatas ini harus diganti dengan demokrasi yang sejati yakni, demokrasi yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai dasar dan tujuan kekuasaan. Bukan berarti, mereka menolak berpatisipasi dalam arena demokrasi borjuasi tapi, sikap dasarnya tak pernah berubah: ketidakpercayaan pada demokrasi elektoral. Tanpa sadar, kelompok ini terjatuh pada dogmatisme mengenai dikotomi demokrasi borjuis dan demokrasi sejati tanpa batas.
Baik kelompok pertama yang terjatuh pada jebakan teknokrasi maupun kelompok kedua yang dogmatis, sesungguhnya sama-sama menjadikan rakyat sebagai obyek. Kedua kelompok gerakan sosial ini, sama-sama terasing dari rakyat, yang justru menjadi dasar utama kritik mereka terhadap demokrasi elektoral yang kini tengah mengalami defisit serius. Akibatnya, keduanya seperti berjalan di gang buntu: para elite tetap berpesta pora dengan situasi saat ini, sementara membangun gerakan rakyat yang besar dan kuat untuk menggantikan demokrasi borjuis, sulitnya luar biasa. Lalu, adakah alternatifnya?
Pengalaman Partai Buruh Brazil (Partido do Trabalhadores/PT), tampaknya menarik didiskusikan lebih jauh, guna bersiasat di jalan terjal masa transisi ini. Dalam garis politiknya, PT memandang demokrasi elektoral sebagai realitas sosial yang harus diterima. Ia bukan sekadar alat yang sewaktu-waktu bisa dilikuidasi, karena keterbatasan yang melekat pada dirinya. Dalam konteks ini, PT memutuskan untuk terjun dalam pertarungan elektoral. Implikasinya, pembangunan partai dan basis massa, misalnya, ditujukan untuk memenangkan pertarungan di level elektoral tersebut. Makanya, kader-kader militan dan terbaik dari PT, tidak hanya berasal dari gerakan-gerakan kiri lama yang berjuang dengan taktik gerilya bersenjata melawan kdiktatoran militer tapi, juga datang dari kalangan universitas, LSM, gereja progresif, gerakan sosial perkotaan, pedesaan, dan masyarakat adat (ingat Chico Mendes, khan?), kelompok perempuan, dan massa akar rumpur. Dengan kata lain, PT menjadi semacam organisasi payung yang menaungi beragam kelompok dan kelas sosial yang tersingkir akibat penerapan kebijakan neoliberal. Pada titik ini, PT sukses mengeliminasi perdebatan soal gerakan partisan atau non-partisan yang menghabiskan energi secara sia-sia itu.
Tetapi, walaupun menerima demokrasi elektoral sebagai realitas sosial, PT percaya demokrasi elektoral sangat terbatas. Itu sebabnya, demokrasi elektoral ini harus diperluas atau harus didemokratiskan, yang mereka sebut dengan istilah radikalisasi demokrasi. Para ilmuwan sosial menyebutnya sebagai model semi-direct democracy atau particiatory democracy. Maknanya, adalah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk terlibat sepenuh-penuhnya dalam merencanakan, memutuskan, dan mengontrol kebijakan-kebijakan politik ekonomi yang menyangkut hajat hidupnya dalam bingkai demokrasi elektoral.
Tetapi, seperti yang telah kita maklumi, memikirkan alternatif selalu lebih mudah ketimbang mempraktekkannya. Di sinilah kelebihan PT. Mereka mampu merealisasikan konsep demokrasi partisipatoris itu dalam praktek, melalui apa yang secara luas dikenal dengan istilah Participatory Budget (PB). Model Anggaran Partisipatif ini, untuk kali pertama sukses dilaksanakan di kota Porto Alegre, provinsi Rio Grande do Sul, pada 1998. Dari sukses Porto Alegre inilah, PT memantapkan sosoknya sebagai partai kiri radikal dan demokratis terbesar di dunia.