Mohammed Ikhwan
Tenggat 30 April 2006 telah tamat. Teks kesepakatan yang disetujui di dalam Ministerial Declaration Hong Kong Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kini terancam tak maju-maju. Modalitas yang dijanjikan sebagai detail angka dan teknis liberalisasi perdagangan terbukti tak tercapai, atas bukti gap yang lebar antara negara maju dan berkembang. Lantas, WTO stagnan. Gerakan sosial anti-perdagangan bebas pun bersorak.
Awas! Mini-ministerial
Tapi tak lama setelah sorakan pertama, kegembiraan karena mandegnya perdagangan bebas dalam agenda yang disebut “Agenda Pembangunan” Doha pupus segera. Ternyata masih banyak celah di dalam gelaran Agenda Pembangunan Doha, yang bisa dicapai dengan cara-cara—yang kembali—tidak demokratis.
Setelah pengalaman terbuang dan termarjinalisasi dalam Green Room—dengan keputusan diambil selalu oleh korporat transnasional yang mewakili sebagian besar sikap negara maju—kini keputusan kembali diambil dengan cara-cara sepihak yang dianggap sebagai fast track. Agenda fast track ini diambil karena kekhawatiran buntunya proses di dalam WTO karena tenggat Agenda Pembangunan Doha adalah hanya hingga akhir tahun 2006. Perlu diingat bahwa WTO sudah dua kali gagal secara tragis di Seattle dan Cancun! Sehingga jika sampai threepeat, agenda liberalisasi perdagangan bisa terancam dan tak dipercaya lagi oleh dunia. Ditambah lagi, untuk memuluskan implementasi agenda ini harus menunggu keputusan Kongres AS pada awal tahun 2007 nanti. Jika agenda liberalisasi perdagangan WTO telah disepakati sebelumnya (akhir 2006) maka akan lebih mudah bagi negara-negara maju—terutama AS—untuk mendapatkan approval Kongres, dan tentu sesuai dengan kepentingan banyak korporat transnasional di AS sendiri: Yes! Untuk kepentingan ekspansi pasarnya.
Diambillah keputusan, seperti dalam pertanian: teks modalitas akan disusun sendiri oleh Crawford Falconer (Ketua Perunding Pertanian di WTO). Teks modalitas ini adalah yang disusun segera setelah kalapnya WTO atas tak terpenuhinya tenggat modalitas 30 April 2006. Kemudian muncul pula teks modalitas pertanian yang dipenuhi dengan tanda kurung itu—mengingat ketergesaan dan terlalu banyaknya usulan yang belum disetujui—juga mewakili gap kepentingan antara negara miskin, berkembang dan negara maju.
Lebih parahnya lagi, di akhir Juni nanti akan dipaksakan sebuah agenda pertemuan kecil menteri-menteri (mini-ministerial) untuk finalisasi teks-teks tersebut. Ditambah dengan ruwetnya pertarungan di bidang pertanian—ditambah jasa dan industri (akses pasar non-pertanian), maka bisa dibayangkan betapa sepihaknya keputusan yang diambil WTO ini. Mini-ministerial yang akan diadakan di Geneva ini hanya akan dihadiri oleh “pemain kunci” WTO yakni hanya sekitar 40 negara (dari total 149 negara anggota WTO) saja, sehingga keputusan bisa lebih cepat ditandatangani.
Posisi G-33
Yang melegakan adalah dimulainya kembali pertarungan kepentingan antara negara miskin dan berkembang dengan negara maju di WTO. Jika hingga Konferensi Tingkat Menteri VI WTO di Hong Kong wakil-wakil negara miskin dan berkembang hanya adem ayem saja, kini mereka cukup vokal, walaupun masih dipinggirkan oleh pemain besar WTO: AS, Uni Eropa, Jepang, Australia, dan sekarang plus Brazil dan India.
G-33 yang dimotori Indonesia dan Filipina kini mengambil posisi penting dalam perundingan, terutama pertanian. Usulan Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP dan SSM) dengan fleksibilitas penuh dimunculkan untuk melindungi pertanian di negara miskin dan berkembang, terutama produk-produk tertentu. Muncul perdebatan dalam usulan ini, dan usulan AS untuk memotong usulan ini membuat G-33 berang. Indonesia diwakili oleh Gusmardi Bustami, ambasador untuk WTO, mengatakan lebih baik tidak ada kesepakatan baru jika SP dan SSM tidak diakomodasi. Filipina lebih moderat, dengan melenturkan usulan minimum 20% hingga 100% tarif dikecualikan dan dilindungi dalam SP dan SSM, tergantung dengan apa yang dicapai dalam perundingan akses pasar pertanian.
Sikap ini setidaknya bagi rakyat di negara miskin dan berkembang adalah keterwakilan kepentingan untuk dilindungi dalam sistem perdagangan bebas saat ini yang sangat tidak adil. Bagi gerakan sosial, beberapa mendukung manuver negara-negara G-33 ini. Antara lain karena agenda yang cukup berpihak kepada rakyat dengan mekanisme perlindungan SP dan SSM, dan ada juga yang menganut politik pecah-belah di dalam WTO.
Semakin lokal
Semakin berlarut-larut dan stagnan perundingan, makin baik. Tidak ada kesepakatan baru juga lebih baik, seperti slogan “No Deal is Better Than A Bad Deal”. Beberapa gerakan tetap dalam posisinya menentang WTO sejak awal, karena secara fundamental berdirinya WTO memang telah dianggap hanya mengakomodasi kepentingan korporat di negara-negara maju—dan 11 tahun WTO malah tak berarti apa-apa bagi pembangunan, terutama di negara miskin dan berkembang. Mereka inilah yang diwakili dengan semangat “WTO Out of Agriculture”, “Services Out of WTO”, “Stop GATS Attack”, dan “WTO Out of Fisheries”.
Perjuangan juga diharapkan semakin lokal, dengan lebih mendidik rakyat banyak akan bahaya dampak liberalisasi perdagangan. Di bidang pertanian misalnya, harus jelas dampak negatif dari sistem perdagangan bebas yang sekarang. Di bidang jasa, bagaimana nasib buruh, buruh migran dan pekerja rendahan pada umumnya dengan liberalisasi? Bagaimana pula liberalisasi jasa mempengaruhi jasa pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan lainnya? Bagaimana akses pasar non-pertanian ternyata akan merusak industri dalam negeri dan meningkatkan jumlah pengangguran?
Dan yang terpenting adalah perjuangan untuk menekan negara kita sendiri untuk terus mengakomodasi kepentingan kaum tani, buruh, buruh migran, nelayan, pemuda dan pelajar, yang terkena imbas aturan WTO yang paling parah. Jika benar mengakomodasi kepentingan rakyat, maka ambasador-ambasador dan menteri yang bertarung di WTO sana tak harus diam saja. Untuk melibas rejim perdagangan yang tidak adil ini, anggota-anggotanya sendirilah harus mengubahnya. Bisa kita lihat dominasi keputusan selama 11 tahun yang berpihak kepada negara maju, padahal hingga kini jumlah mereka hanya 6 kelompok negara saja (AS, Uni Eropa, Jepang, Australia dan sekarang plus Brazil dan India). Dengan semakin mendorong gerakan sosial untuk menekan negara, selain bersatunya gerakan sosial di tiap negara menyuarakan perdagangan yang adil—juga menyatukan negara-negara miskin dan berkembang dalam satu wadah untuk melindungi rakyatnya dari tata ekonomi yang meminggirkan saat ini.
Penulis adalah Staff of Policy Studies and Campaign, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI).