Mohammed Ikhwan
SETELAH melewati enam hari perundingan eksklusif dan tertutup (13-18 Desember 2005), keputusan mengenai adanya Ministerial Declaration sebenarnya mengejutkan seluruh pihak. Apalagi bila diingat bahwa, terutama mulai medio 2005, agenda di Konferensi Tingkat Menteri (KTM) VI Hongkong akan berujung kegagalan. Hal ini mirip KTM V Cancun, Meksiko, dimana ada jurang yang sangat besar antara negara maju dan negara berkembang. Di Hong Kong, perbedaan antara negara maju (diwakili oleh AS dan Uni Eropa), G-20 (dimotori Brazil dan India), G-33 (Indonesia dan Filipina), G-90 (negara-negara miskin di Asia dan Afrika) serta Negara Karibia, memang tampak jauh. Tetapi, dengan ditandatanganinya Ministerial Declaration Hongkong, cukup menyakitkan banyak pihak.
Hal ini tak luput dari proses yang sepihak, tidak demokratis dan tertutup yang dipraktikkan oleh para pendukung pasar bebas. Agenda keuntungan dan pembukaan pasar tak pelak mewarnai setiap negosiasi. Jangan dilupakan tekanan korporat multinasional yang terus mendorong privatisasi—pembukaan pasar—komodifikasi di berbagai sektor yang menjadi panggung utamanya: pertanian, jasa dan industri. Di samping hegemoni negara maju, juga terlihat kurangnya keberpihakan wakil pemerintah negara miskin dan berkembang dalam KTM VI WTO ini.
Lagi dan lagi, akses pasar
Tidak bisa dipungkiri, pertanian adalah menu utama dari negosiasi WTO. Ada banyak kepentingan yang bermain di sini. Mulai dari perusahaan pengekspor pangan seperti Cargill, hingga perusahaan agrokimia seperti Monsanto, BASF dan Syngenta. Penguasaan pasar pangan dunia berarti memiliki kontrol terhadap ekonomi politik dunia, dan lebih dari 60 persen pasar ekspor pangan dunia kini dibekap oleh Cargill. Pertanian dan perdagangan bebasnya juga digerakkan ke arah ketergantungan pada pestisida, herbisida, pupuk kimia dan bibit GMO (transgenik). Hal ini membuat pasar agrokimia global menangguk untung sebesar US$29,88 juta (284 trilyun rupiah).
Dengan fakta ini, sudah sewajarnya jika petani menolak pembukaan pasar yang lebih besar—terutama yang dipaksakan kepada negara miskin dan berkembang—dalam produk pertanian. Hal ini sama sekali meniadakan proteksi terhadap pasar domestik dan lambat laun akan menghancurkan mekanisme harga lokal. Lihat contoh kasus Indonesia yang membuka pasar komoditi beras, kedelai dan gula misalnya. Atau kasus India yang membuka pasar komoditi kelapa sawit. Arus produksi pasar bebas dalam komoditas pertanian di atas dengan segera menghancurkan pasar komoditas domestik, yang ujungnya adalah hancurnya harga domestik. Akibatnya, petani dalam negeri menjadi miskin atau berpindah ke sektor lain menjadi pekerja, buruh migran, atau menjadi pengangguran.
Praktik dumping yang dilakukan negara-negara dengan industri pertanian, juga merusak sektor ini. Khususnya sejak diatur di dalam Agreement on Agriculture (AoA) WTO pada 1995. Penghapusan subsidi ekspor di tahun 2013, juga sebenarnya mengkhianati kesepakatan antara negara maju dengan negara miskin dan berkembang. AS dan Uni Eropa seharusnya sudah mengeliminasi subsidi yang mendistorsi pasar (yang menjadikan praktik dumping) pada tahun 2010. Perpanjangan hingga 2010 adalah akal-akalan korporat di dalam WTO, karena sesungguhnya merekalah penikmat terbesar subsidi pertanian di negara maju.
Kesepakatan yang buruk
Walaupun dikatakan “tidak ambisius,” namun Deklarasi Menteri yang dihasilkan di KTM VI Hongkong, sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Bagi para promotor perdagangan bebas—pedagang dan pengusaha besar, perusahaan multinasional, dan sebagian negara—langkah ini walaupun tidak signifikan tetapi cukup melegakan. Tak lain karena ancaman kegagalan Putaran Doha ada di depan mata, terutama jika merunut sejarah WTO yang gelap dari masa Seattle hingga Cancun. Ditandatanganinya teks ini pada 18 Desember 2005, menjadi napas baru bagi Putaran Doha, yang harus diselesaikan akhir tahun 2006. Putaran Doha yang katanya "Putaran Pembangunan", malah lebih berfokus kepada pembukaan pasar lebih luas.
Pembukaan pasar juga terjadi di sektor lain selain pertanian yakni, jasa (GATS) dan industri (NAMA). Di sektor jasa, akan ada pembukaan pasar pada tenaga kerja dan perpindahan (Mode 4), serta liberalisasi lebih jauh di sektor publik: air, transportasi, energi, pendidikan, dan kesehatan. Di sektor industri lebih parah lagi, karena komitmen pembukaan pasar diutamakan di negara-negara miskin dan berkembang, dengan pemotongan tarif ambisius dalam Swiss Formula. Hal ini melupakan perlindungan dan kesinambungan bagi perdagangan, yang harus terlebih dahulu dimantapkan oleh negara miskin dan berkembang.
Bagi pihak yang kontra terhadap skenario ini—organisasi massa, serikat buruh, petani, buruh migran, pemuda, NGOs dari berbagai sektor—langkah “tidak ambisius” seperti yang dijelaskan di atas dapat berarti sangat fatal. Bagaimana tidak, skenario besar menuju pembukaan pasar yang lebih besar sudah tercantum di dalamnya. Gambaran yang utuh sudah disepakati, tinggal memasukkan angka dan detail tertentu. Kepentingan negara-negara yang memiliki korporasi jasa dan industri raksasa seperti kekuatan G-6 yang ada di WTO sekarang: AS, Uni Eropa, Jepang, Australia, Brazil dan India juga sudah jelas ada di sana. Negara-negara yang berpihak pada rakyatnya—yang khawatir akan masa depan agenda pembangunan via pasar bebas ini—harusnya bertahan tanpa persetujuan lebih lanjut (no deal is better than a bad deal).
Baik bagi pihak yang pro maupun kontra, tanggal 30 April 2006 ini bisa bermakna banyak. Ya, tanggal inilah yang disepakati sebagai tenggat modalitas (detail perundingan, berupa angka dan formula) perdagangan bebas sektor pertanian dan industri (NAMA). Dan ironisnya, kebanyakan rakyat justru tidak tahu mengenai masalah ini. Tanggal ini bisa menjadi keberhasilan WTO merumuskan modalitas untuk mengakhiri Putaran Doha. Namun di sisi lain, bisa menjadi kemenangan masyarakat sipil seluruh dunia untuk menamatkan "Putaran Pembangunan" ini, agar berakhir tanpa kesepakatan yang jelas dan tidak menyengsarakan rakyat. ***
Penulis adalah staff of Policy Studies and Campaign Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)