Arianto Sangaji
Kompas, 8 April 2006
FABIANUS Tibo (61), Marinus Riwu (49), dan Dominggus da Silva (39) kini menghadapi eksekusi mati. Mereka dituduh terlibat serangkaian tindak kekerasan di Poso akhir Mei 2000. Hukuman mati dijatuhkan 5 April 2001.
Semua ikhtiar hukum telah dilakukan, dari kasasi, peninjauan kembali (PK), hingga grasi, tetapi tetap saja gagal. Berbagai pihak juga sudah melakukan inisiatif non-litigasi, seperti seruan moral dan aksi-aksi protes untuk mencegah eksekusi. Tetapi, jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, ketiganya tinggal menunggu sisa hitungan hari.
Di luar argumentasi tentang proses, prosedur hukum, dan pertimbangan yang menonjolkan dimensi moral dan hak asasi manusia dalam hubungan dengan eksekusi mati terhadap Tibo cs, tulisan ini menyoroti eksekusi mati dari sisi penguburan fakta kekerasan Poso dalam peristiwa Mei 2000.
Kekerasan Mei 2000
Ekor peristiwa akhir Desember 1998, medio April 2000, dan kekerasan Mei 2000 terjadi di beberapa tempat di Poso. Namun, kekerasan di Poso Kota dan Desa Sintuwulemba-Kecamatan Lage yang menewaskan 200 warga selalu dilihat sebagai salah satu puncak kekerasan Poso.
Peristiwa inilah yang dikaitkan dengan Tibo cs, yang menyeret mereka ke hukuman mati.
Kekerasan Mei 2000 memicu lahirnya dua hal penting. Pertama, eskalasi kekerasan yang sulit dihentikan. Bagaimanapun, kekerasan Mei 2000 dipandang paling massive, dilihat dari jumlah korban (jiwa dan harta benda), cakupan wilayah kekerasan, aktor yang terlibat, dan modus kekerasan. Inilah titik pangkal yang membuat kekerasan pasca-Mei 2000 kian berkembang, dengan aktor dan isu makin kompleks, baik karena alasan-alasan etno-religi maupun eksploitasi atau manipulasi terhadap sentimen itu.
Kedua, warga Poso menjadi semakin terbelah identitasnya karena kekerasan dipahami sebagai etno-religi sentimen. Kekerasan berkembang menjadi isu lintas batas. Arus pengungsian, pemberitaan media (cetak dan elektronik), komunikasi telepon, selebaran, dan desas-desus telah menyeret perhatian ke Poso. Simpati dan antipati datang dari mana-mana. Akibatnya, sifat-sifat lokalitas kekerasan Poso menjadi runtuh.
Penguburan fakta
Eksekusi terhadap Tibo cs menjadi ajang penguburan fakta terhadap kekerasan Mei 2000. Pasalnya, Tibo cs direduksi sebagai orang yang mesti bertanggung jawab atas peristiwa itu.
Terlampau simplistis. Seorang Tibo dan dua rekannya bertanggung jawab terhadap sebuah serangan yang demikian terorganisir dan sistematis. Tibo sendiri sudah menyebutkan 16 nama yang disebutnya sebagai aktor utama atau paling tidak pelaku penting di balik kekerasan itu. Terlepas benar atau tidaknya tudingan itu, Tibo sebenarnya telah menyingkap sedikit dari misteri kekerasan Mei 2000.
Namun, salah satu faktor yang lepas dari perhatian publik, bahkan Tibo cs sendiri, adalah tanggung jawab pemerintah terhadap peristiwa itu. Bahwa peristiwanya terjadi dan meluas, bukan saja karena serangan antarkomunitas, tetapi lebih karena kesalahan pemerintah sendiri.
Ada tiga hal mengapa kesalahan itu mudah terlihat. Pertama, praktik disinformasi oleh aparat pemerintah (sipil dan keamanan) bahwa tidak ada serangan dari komunitas tertentu. Warga Sintuwulemba yang sebelumnya telah memperoleh informasi tentang serangan lalu membatalkan keputusan untuk mengungsi karena dihalang-halangi aparat pemerintah. Akibatnya, sebagian besar di antara mereka menjadi korban kekerasan.
Kedua, pembiaran oleh aparat keamanan. Peristiwa Sintuwulemba sebenarnya dengan mudah dapat dicegah oleh otoritas keamanan di Poso. Ini dimungkinkan karena jarak antara Kompi Senapan B/711 Raksatama dan lokasi peristiwa hanya sekitar lima kilometer. Bahkan, jarak Kepolisian Sektor Lage dengan lokasi kejadian hanya terpaut ratusan meter. Lebih dari itu, sejumlah saksi mata menyebutkan, ketika terjadi kekerasan, aparat keamanan yang bertugas di sana bukannya mencegah, malah pergi meninggalkan lokasi kejadian.
Ketiga, kebobrokan institusi intelijen. Sungguh aneh institusi intelijen tidak mendeteksi kemungkinan serangan yang memakan korban begitu besar. Padahal, saat itu, peredaran rumor berlangsung cepat dan meluas tentang serangan. Di luar itu, ada penyebaran senjata api dan amunisi di tangan warga sipil serta keterlibatan sejumlah aparat dalam kekerasan. Fakta ini menunjukkan kemungkinan adanya operasi intelijen untuk mendorong eskalasi kekerasan Poso.
Tidak digali
Fakta-fakta di balik kekerasan itu tidak pernah digali. Padahal, pengungkapannya amat membantu untuk mendudukkan perkara yang dihadapi Tibo cs secara lebih obyektif dan adil. Dari situ dapat dilihat siapa saja, baik otoritas sipil apalagi keamanan, yang harus bertanggung jawab atas kekerasan Mei 2000.
Eksekusi terhadap Tibo cs mengandung implikasi serius, yakni menguburkan fakta penting dan obyektif dari peristiwa Mei 2000. Padahal, pengungkapan fakta yang benar amat membantu untuk menyelesaikan masalah Poso secara tuntas.
Arianto Sangaji Direktur Yayasan Tanah Merdeka dan Anggota Presidium Poso Center, Palu.