Coen Husain Pontoh
MENANGGAPI pro-kontra penggarapan ladang minyak Blok Cepu, Rizal Mallarangeng (“Blok Cepu, Mission Accomplished,” Tempo, 27/3/06), menulis dengan lantangnya bahwa mereka yang anti keterlibatan ExxonMobil Oil di Blok Cepu, mengingatkannya pada kelompok Nasionalis di era 1950an dan 1960an. Berdasar ingatan itu, dengan sarkasnya ia menyatakan “Prof. Clifford Geertz harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Jakarta.”
Saya tidak akan menanggapi artikel Mallarangeng secara khusus. Bagi saya, sebuah pledoi tak membutuhkan kritik, ia lebih menunjukkan garis batas. Yang ingin saya komentari adalah digunakannya frasa nasionalisme dalam tulisan itu. Bagi saya, pengumbaran frasa nasionalisme ini memunculkan dua soal: pertama, apakah benar para penentang kesepakatan pengekplorasian Blok Cepu, benar-benar merefleksikan kepentingan nasionalisme? Yang kedua, terjadi pembusukkan dan manipulasi besar-besaran mengenai kosakata nasionalisme, seolah-olah kata itu bermakna tunggal. Kita mesti membedakan antara nasionalisme pra Orba dan nasionalismec Orba. Di kedua orde itu, makna dan praktek nasionalisme berputar 180 derajat.
Dua Wajah Nasionalisme Indonesia
Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa ini, nasionalisme adalah sesuatu yang harum baunya dan gurih rasanya. Berbeda dengan nasionalisme Eropa, yang di saat-saat kemunculan kapitalisme berwatak ekspansionistik dan barbarik, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti kolonialisme, anti penindasan satu bangsa atas bangsa lain, satu kelompok atas kelompok lain. Nasionalisme Indonesia, tidak merupakan monopoli satu bangsa atau satu kaum tapi, melampaui batasan etnis, ras, suku dan agama.
Dari wataknya yang demikian, nasionalisme lantas menjadi perekat dari beragamnya kepentingan kalangan pergerakan dalam mencapai Indonesia Merdeka. Ia menjadi penanda antara “Kita dan Mereka,” “Sini dan Sana.” Di lapangan politik, nasionalisme mencapai puncaknya pada pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Melalui deklarasi kemerdekaan politik ini, pintu gerbang menuju kemerdekaan bidang ekonomi-sosial-budaya, terkuak sedikit lebar. Untuk sektor-sektor tersebut, struktur sosial yang timpang dan menindas masih lestari. Di bidang ekonomi, misalnya, struktur ekonomi Indonesia saat itu amat didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda. Karena itu, di sektor ini, pada awal tahun 1950an nasionalisme diterapkan dalam wujud kebijakan Program Benteng, di bawah Kabinet Mohamad Natsir, dari Partai Masyumi. Melalui kebijakan ini, pemerintahan Natsir bertujuan memperkuat posisi ekonomi kalangan pribumi agar sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Peristiwa lainnya yang memberi jejak pada isu nasionalisme ekonomi adalah tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda, pada tahun 1958.
Kita lihat, jejak langkah nasionalisme di masa pra-Orba tujuan utamanya adalah memerdekakan untuk kemudian mengangkat harga diri bangsa dan rakyat Indonesia. Dalam bahasa Bung Karno, nasionalisme bermakna pembangunan karakter negara-bangsa, yang anti imperialisme, anti kolonialisme, sekaligus mencintai perdamaian. Nasionalisme Indonesia, kata Bung Karno, bukanlah nasionalisme gontok-gontokkan atau hancur-hancuran. Dengan semangat nasionalisme, ditumbuhkan rasa percaya diri yang kuat sebagai sebuah bangsa yang besar, rasa sanggup untuk menyelesaikan masalah sendiri, dan semangat rela berkorban untuk kepentingan bersama yang lebih baik.
Tetapi, seluruh denyut nafas nasionalisme pra-Orba ini menjadi kering-kerontang, ketika berada di tangan rejim Orba. Seperti rejim sebelumnya, rejim baru ini juga sangat getol mengampanyekan soal pentingnya nasionalisme. Namun, di tangan rejim Orba, nasionalisme yang anti penindasan dan anti imperialisme, dicampakkan ke tong sampah. Jika sebelumnya nasionalisme bertujuan memerdekakan dan mengangkat harga diri bangsa dan rakyat Indonesia, maka di masa Orba, harga diri bangsa dan rakyat dibumihanguskan. Jika sebelumnya, nasionalisme bertujuan mencapai kemandirian dalam bidang ekonomi, di masa Orba ekonomi nasional dibikin tergantung kepada ekonomi Internasional.
Saya mencatat, beberapa ciri dari nasionalisme yang diusung oleh rejim Orba. Pertama, ia berdiri tegak di bawah kawalan orang-orang bersenjata yakni, militer (TNI dan Polisi). Itu sebabnya, kedudukan sosial kelompok bersenjata ini lebih dominan ketimbang kelompok tidak bersenjata (kalangan sipil). Mereka memandang dirinya dan kemudian dipandang, sebagai simbol kedaulatan dan jati diri bangsa. Sementara kelompok sipil menjadi warga negara kelas dua. Warga yang tak pernah siap memimpin, ujar Juwono Sudarsono, orang sipil yang menjadi menteri pertahanan pertama di masa reformasi. Tidak ada yang bisa berlangsung wajar tanpa persetujuan atau tanpa bergandengan tangan dengan militer. Maka bisa kita katakan, nasionalime Orba adalah nasionalisme yang militeristik.
Kedua, di genggamannya Orba, nasionalisme telah direduksi sedemikian rupa menjadi sekadar kedaulatan teritorial; dari Sabang sampai Merauke. Tidak peduli bahwa di dalam teritori itu, kedaulatan ekonomi dan budaya, misalnya, telah hilang. Nasionalisme menjadi terancam jika ada satu titik pijak dalam wilayah republik ini terancam hilang. Dan atas nama kedaulatan teritorial itu, tak peduli jika darah harus berceceran. Demikianlah, ketika rakyat di Aceh, Papua, dan Timor Leste (ketika itu), menuntut keadilan, mereka dihadapi dengan bayonet bukan diberi roti. Mereka dicap pemberontak, separatis. Maka nasionalisme Orba bisa kita sebut sebagai nasionalisme sempit.
Ketiga, nasionalisme Orba berkaitan erat dengan kepentingan dan keistimewaan elite penguasa. Segala sesuatu yang bertentangan dan menggerogoti kepentingan elite berarti mengancam keutuhan nasional. Karena di puncak piramida elite itu bercokol seorang Soeharto, maka kritik terhadap Soeharto adalah kritik terhadap nasionalisme itu sendiri. Mereka yang mengritik disebut tidak nasionalis, anti Pancasila, anti Pembangunan, dan pembangkang. Nasionalisme lantas identik dengan harga diri personal sang penguasa. Atau dengan kata lain, sang penguasa adalah bayangan dari nasionalisme itu sendiri.
Keempat, sebagai akumulasi dari ketiga hal di atas, maka nasionalisme Orba adalah nasionalisme anti bangsa sendiri, nasionalisme yang anti rakyat. Ini bisa kita lihat dari bagaimana cara rejim ini mendefinisikan tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan dari dalam sebagai lebih dominan ketimbang yang datang dari luar. Tidak aneh, jika seluruh aparatus negara: militer, birokrasi, dan organisasi massa didesain untuk memata-matai dan menjadi barisan terdepan dalam melumpuhkan kekuatan rakyat. Di titik ini, saya teringat pada sepenggal bait puisi Wiji Thukul yang mengatakan, “nasionalismenya mirip-mirip Nazi.”
Nasionalisme Kini
Berdasarkan dua wajah nasionalisme ini, maka penyebutan kelompok anti kesepakatan Blok Cepu, sebagai kubu nasionalis haruslah berhati-hati. Sebab menjadi lucu, jika membicarakan nasionalisme versi pra Orba, lantas menggandeng militer untuk menggalang dukungan. Atau sebaliknya, kita harus waspada ketika para jenderal atau mantan jenderal itu berbicara tentang nasionalisme.
Tetapi pertanyaan terpenting, apakah Nasionalisme masih relevan sebagai sebuah paham kebangsaan? Menurut saya, nasionalisme Orba harus dicampakkan ke tong sampah tanpa syarat. Ia adalah masa lalu dalam pengertian yang substantif (dari segi waktu maupun nilai-nilainya). Di pihak lain, dalam kondisi kita yang semakin terpuruk ini, kita justru perlu merekonstruksi ulang nilai-nilai nasionalisme pra-Orba yang (1) anti imperialisme; (2) mempromosikan perdamaian; (3) mempromosikan kemandirian; (4) mempromosikan solidaritas; dan (5) mempromosikan keadilan sosial. Nilai-nilai ini, tak perlu bertentangan dengan proses demokratisasi yang kini tengah kita jalani. Malah sebaliknya, demokrasi yang baru di tahapan prosedural ini, akan semakin kuat jika bersanding dengan nilai-nilai yang diusung oleh nasionalisme pra-Orba.***