Menendang Tangga Pembangunan

Martin Manurung

"SELAMA berabad-abad Inggris telah bergantung pada proteksi, melakukannya secara ekstrim dan telah memperoleh manfaat yang besar darinya. Tak ada keraguan bahwa karena sistem itulah, ia memperoleh kekuatannya kini. Setelah dua abad, Inggris telah menemukan saat yang nyaman untuk mengadopsi perdagangan bebas, karena mereka menganggap proteksi tak lagi menguntungkan mereka. Karena itu, saudara-saudara sekalian, apa yang saya ketahui tentang negeri kita ini, telah membawa saya pada suatu kepercayaan, bahwa dalam tempo 200 tahun lagi, setelah Amerika telah tidak memerlukan manfaat proteksi lagi, negeri ini akan mengadopsi perdagangan bebas." (Frank 1987: 164, dikutip dalam Chang 2005: 108-09, huruf miring dari penulis)
Pidato berapi-api di atas diucapkan oleh pahlawan perang sipil Amerika Serikat, Ulysess Grant, yang menjadi Presiden negara itu pada periode 1868-76. Amerika Serikat ketika itu resah dengan jargon dan kampanye pasar bebas yang dicanangkan oleh Inggris, negara adi daya pada waktu itu. Amerika Serikat memang pantas resah. Ia baru saja merdeka, melampaui saat-saat sulit perang sipil (1861-1865), dan kini saatnya negeri itu melakukan pembangunan ekonomi secara besar-besaran. Negeri itu tak mau, kebijakan pembangunannya dilucuti oleh kampanye pasar bebas dari negara adi daya yang telah membangun industrinya dengan proteksi.

Dalam artikel terdahulu, saya menyitir ungkapan yang dipakai oleh Ha-Joon Chang, ekonom pembangunan dari University of Cambridge (Inggris) bahwa kampanye perdagangan bebas saat ini bagaikan upaya untuk menendang tangga pembangunan (kicking away the ladder) agar negara-negara berkembang tidak bisa memakai tangga itu untuk mengejar ketertinggalannya.

Tulisan ini akan menguraikan secara singkat empat perjanjian perdagangan yang kini berlaku dalam rejim World Trade Organization (WTO) yang telah menendang ‘tangga pembangunan’, sehingga negara-negara berkembang dilucuti ruang dan kebebasan kebijakan pembangunannya.

Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement

Perjanjian ini melindungi merk dagang (trademarks), hak cipta (copyrights), design industri (industrial design), kerahasiaan data (data secrets) dan patent. Perjanjian ini memiliki akibat bagi negara-negara berkembang sebagai berikut: pertama, dari sisi ‘market of knowledge’, negara-negara maju adalah net-producers dari teknologi dan negara-negara berkembang adalah net-consumers. Ketimpangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat melakukan imitasi teknologi dan rekayasa pembalikan teknologi (reverse engineering), sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju dulu. Sementara itu, sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang sangat terbatas untuk dapat membeli teknologi negara-negara maju. Para pendukung TRIPS beralasan bahwa perjanjian ini akan mendorong negara-negara berkembang untuk melakukan inovasi dan mendapat manfaat transfer teknologi dari negara-negara maju. Sayangnya, sampai saat ini, tidak ada bukti yang cukup meyakinkan bahwa transfer teknologi tersebut telah terjadi. (Bora et. al. 2000: 21)

Kedua, terjadi kesenjangan yang semakin melebar dalam akses sumber-sumber ilmiah. Saat ini, perpustakaan-perpustakaan ilmiah membayar 66 persen lebih mahal daripada tahun 1986 untuk memperoleh referensi ilmiah. Hal ini, tentu mempersulit negara-negara berkembang untuk mengembangkan perpustakaan-perpustakaan ilmiah mengikuti negara-negara maju (Wade 2005: 82-88).

Ketiga, semakin banyaknya privatisasi terhadap riset-riset ilmiah. Bila dulu para penemu terkenal melakukan penelitian tanpa terlalu memikirkan dampak ekonomis temuannya, maka kini semakin banyak peneliti-peneliti yang enggan untuk melaksanakan penelitiannya bila tanpa diimbangi hasil ekonomis yang signifikan. Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat, pernah berujar, “Gagasan adalah seperti udara, dan tidak boleh diprivatisasi”.

Trade-Related Investment Measures (TRIMs) Agreement

Perjanjian ini lebih membatasi pilihan kebijakan daripada TRIPS. Ia membatasi kebijakan-kebijakan yang sebelumnya justru dipraktikkan oleh negara-negara maju dalam tahap-tahap awal pembangunannya (Chang 2005: 75), antara lain; local content requirements, technology transfer dan local employment requirement. Pengecualian hanya diberikan pada jangka waktu untuk menyesuaikan diri (8 tahun) untuk selanjutnya menghilangkan kebijakan-kebijakan dimaksud diatas (bandingkan dengan pidato di atas dimana Amerika Serikat ingin melakukan proteksi selama 200 tahun dan sejarah proteksi industri wool Inggris yang berlangsung sejak abad ke-16 sampai ke-19).

The General Agreement on Trade in Services (GATS) Agreement

Perjanjian ini melarang pemerintah untuk mengintervensi pasar, memberikan pembatasan atas arus perdagangan antar-negara, dan untuk mengatur perilaku perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayahnya. Dalam perjanjian ini terdapat tiga treatment yang berlaku, yaitu; ‘most favoured nations treatment’ (semua anggota WTO harus diperlakukan sama, sehingga tidak boleh ada negara yang diberikan keistimewaan), ‘national treatment’ (penyedia/perusahaan jasa asing harus diperlakukan sama dengan perusahaan nasional), dan ‘market access treatment’ (pemerintah dilarang untuk membatasi jumlah perusahaan asing yang boleh beroperasi dan dimana mereka boleh beroperasi). Perjanjian ini menyebabkan dilarangnya kebijakan-kebijakan antara lain persyaratan untuk perusahaan-perusahaan asing memakai supplier lokal, karyawan, staf dan manajer lokal. (Wade 2005: 82-88)

Subsidies and Countervailing Measures (SCM) Agreement

Subsidi sektor pertanian dikecualikan dari perjanjian ini, sebab negara-negara maju pun masih memberlakukan subsidi pertanian. Perjanjian ini melarang pemerintah untuk memberikan subsidi pada perusahaan tertentu (enterprise specificity), industri tertentu (industri specificity), dan daerah tertentu (regional specificity). Jika pemerintah memberikan subsidi yang dapat dikategorikan dalam ketiga hal diatas, maka kebijakan itu dapat dibawa ke dalam sidang WTO dan dapat dibatalkan serta negara tersebut dapat dikenai sanksi perdagangan. Sementara bagi negara-negara berkembang, biaya mengajukan kasus kepada sidang WTO akan terasa berat karena membutuhkan biaya yang sangat besar.

Referensi

Amsden, AH. "Promoting Industry under WTO Law." Dalam
KP. Gallagher (ed.), Putting Development First, 216-32. London: Zed Books, Ltd., 2005.
Bora, B., P.J. Lloyd, M. Pangestu. "Industrial Policy and the WTO." Policies Issues in International Trade and Commodities 6 (2000).
Chang, HJ., dan I. Grabel. Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy Manual. London: Zed Books Ltd., 2005.
Chang, HJ. “Kicking Away the Ladder: “Good Policies and “Good Institution” in Historical Perspective”
Dalam KP. Gallagher (ed.), Putting Development First, 216-32. London: Zed Books, Ltd., 2005.
Stiglitz, J. "Development Policies in a World of Globalization." Dalam "New International Trends for Economic Development” on the occasion of the fiftieth anniversary of the Brazilian Economic and Social Development Bank (BNDES). Rio Janeiro, 2002.
Wade, RH. "What Strategies Are Viable for Developing Countries Today? The World Trade Organization and the Shrinking Of "Development Space"."
Dalam KP. Gallagher (ed.), Putting Development First, 80-101. London: Zed Books Ltd., 2005.