Negara dan ‘Perdagangan Bebas’

Martin Manurung


GLOBALISASI adalah ‘akhir dari negara bangsa’. Demikian kredo neoliberalisme dalam melukiskan nasib negara dalam rejim perdagangan bebas. Steger (2002) menamakan ideologi tersebut sebagai ‘globalisme’, sementara sebelumnya Held (1999) menamakannya ‘hyperglobalisme’. Pokok pandangan dari neoliberalisme adalah bahwa globalisasi membuat kekuasaan negara dan kebijakan ekonomi nasional menjadi tidak lagi memiliki signifikansi dan efektivitas sebagaimana dulu ketika globalisasi belum bersimaharaja.
Dalam diskursus pembangunan, terdapat dua ‘kubu’ yang beroposisi dalam memandang peran negara. Kubu pertama adalah sudut pandang neoliberal dengan ‘The Washington Consensus’-nya yang melihat bahwa peran negara haruslah dibuat sekecil-kecilnya. ‘Apapun yang dilakukan negara, sektor swasta dapat melakukannya lebih baik’, demikian slogan pemerintahan Reagan (US) dan Thatcher (UK) pada era 1980-an yang merupakan promotor utama neoliberalisme. Menurut kubu ini, negara haruslah dibatasi perannya hanya sebagai ‘wasit’ dan tidak boleh terlibat dalam aktivitas ekonomi apa pun. Bahkan perkembangan saat ini menunjukkan ‘selangkah lebih maju’ lagi dengan dilepaskannya peran negara dalam memberikan social security melalui jaminan kesehatan, kebutuhan pokok dan pengentasan kemiskinan.

Kubu kedua, adalah sudut pandang ‘Negara Transformatif’ (Stiglitz 2001:15). Dalam perspektif ini pembangunan memerlukan negara yang aktif dalam kebijakan ekonominya untuk mempromosikan industri nasional, pembangunan teknologi, dan jaminan sosial yang tidak bisa dicapai melalui mekanisme pasar.

Sudut pandang yang dianut kubu pertama itulah yang kini mendominasi dan meng-hegemoni dunia. Peran negara dipangkas sedemikian rupa, pasar negara-negara berkembang diliberalisasi dan dibuka seluas-luasnya bagi modal asing, dan subsidi-subsidi sosial dipotong demi efisiensi. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat melalui rejim WTO mengkampanyekan ideologi ini sebagai ‘keharusan yang tak dapat dihindarkan’ (Steger 2002:54-61).

Namun demikian, kendati negara-negara maju itu menghendaki negara-negara berkembang untuk meliberalisasi pasarnya, dalam kebijakan mereka saat ini maupun di masa lalu menunjukkan hal yang berbeda. Tak heran bila Chang (2001) menyebutkan bahwa promosi liberalisasi dari negara-negara maju itu adalah untuk ‘menendang tangga’ (kicking away the ladder) agar negara-negara berkembang tak bisa memakai tangga itu untuk ‘mengejar’ ketertinggalannya. Sejarah negara-negara yang saat ini disebut sebagai negara maju, justru menunjukkan bahwa peran negara sangat penting untuk mencapai kemajuan pembangunan yang dicapainya saat ini (World Bank 1987, Shafaeddin 1998, Chang 2001).

Inggris, pada abad ke-16, menerapkan proteksi terhadap industri wool-nya sehingga ia kemudian bisa menjadi negara produsen wool terbesar di jamannya. Kebijakan proteksionistis itu berlangsung sampai abad ke-19 ketika Inggris mulai meliberalisasi pasarnya. Pada saat itu, Inggris telah menjadi negara industri yang dominan. Amerika Serikat pun menunjukkan sejarah yang sama. Bahkan sebagian alasan terjadinya Civil War adalah perihal perselisihan tentang tariff antara negara-negara bagian di utara dan selatan. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan dunia yang dominan pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim perdagangan bebas.***

Daftar Pustaka Terpilih:

Chang, H-J. Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. Anthem Press, 2001.
Held, D., et. al. Global Transformations: Politics, Economics and Culture. Polity Press, 1999.
Shafaeddin, M. How did Developed Countries Industrialize? The History of Trade and Industrial Policy: The Cases of Great Britain and the USA. UNCTAD Discussion Paper No. 139, 1998.
Steger, M.B. Globalism: The New Market Ideology. Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2002.
Stiglitz, J. Development Thinking at the Millennium, 2001

World Bank. World Development Report 1987. Oxford University Press, 1987.