Mengapa China?

I Wibowo
Kompas, 16 Maret 2006

BERITA banjir produk dari China masih terus masuk. Yang selalu menjadi pertanyaan adalah ”mengapa” China mampu menghasilkan produk sedemikian banyak, bagus, dan murah. Tulisan ”Memahami ’Sayap’ Perdagangan China” (Kompas, 7/3/2006) adalah salah satu contohnya.

Ada hal yang menarik dari tulisan ini. Dikatakan, sebab penting kehebatan China adalah karena ”jaring laba-laba” keluarga. Pedagang-pedagang dari China berhasil menembus pasar karena memanfaatkan jaring-jaring ini ”baik di dalam negeri maupun di luar negeri”. Lalu dikatakan, ”Umumnya orang China begitu erat rasa persaudaraannya. Nama marga mempererat persatuan dan amat membuka peluang kerja sama. Tak heran, orang China hanya memercayakan usahanya kepada bangsanya sendiri”.

Argumen seperti ini sering dikemukakan banyak penulis. Penanam modal terbesar di China bukan orang dari Jepang atau Amerika, tetapi ”orang China perantauan” (overseas Chinese). Siapa mereka? Mereka adalah orang China dari Taiwan dan Hongkong. Belum jelas, apakah orang China Asia Tenggara juga membawa modalnya ke China dalam jumlah besar. Cultural proximity ini sering dipakai untuk menjelaskan mengapa modal dari Taiwan dan Hongkong masuk daratan China.

Selain itu, dilontarkan argumen tambahan, yaitu pengusaha China sedemikian ”percaya” satu sama lain. ”Artinya, konsumen tinggal menghubungi via telepon dan pedagang dengan cepat mengirim barang sesuai pesanan. Kejujuran dipegang teguh meski konsumen belum memberikan uangnya”. Pernyataan ini harus dikoreksi: bukan antara pedagang dan konsumen, tetapi antarpedagang, ada saling percaya, terutama dalam hal kredit. Pengusaha China terkenal karena trust yang tinggi sehingga mereka dapat merebut peluang sekecil apa pun. Pada saat ada kesempatan dan modal yang diperoleh dengan cepat, mereka segera merebut kesempatan itu.

”Trust”

Trust antarpedagang China ini menarik perhatian banyak sosiolog. Mereka sendiri memakai istilah guanxi (hubungan) guna menjelaskan gejala trust antarmereka. Guanxi ini sebenarnya tidak terbatas pada hubungan kekeluargaan saja. Hubungan-hubungan lain yang bisa menimbulkan guanxi misalnya kesamaan asal daerah (desa, kabupaten, provinsi), kesamaan sekolah (alumni), dan persahabatan. Pilih salah satu dari variabel itu, dan Anda akan menemukan dasar bagi guanxi.

Dalam peribahasa China dikatakan: jiali kao fumu, chumen kao pengyou. ”Di rumah orang bersandar pada bapak-ibu, di luar rumah orang menggantungkan diri pada sahabat”. Persahabatan di China dijunjung tinggi. Salah satu dari lima hubungan ajaran Konfusius (wu lun) adalah hubungan antarsahabat. Jika orang China suka pada seseorang, ia akan cepat mengatakan pengyou (sobat). Jika sungguh suka dan percaya, ia akan memakai istilah lao pengyou (sobat lama).

Trust ini lain dibanding trust yang dibangun dalam institusi modern. Kehidupan modern, termasuk ekonomi, tidak bisa bertahan jika tidak ada trust. Dapat dikatakan trust di dunia modern diletakkan berdasar kepastian hukum. Namun trust di kalangan orang China dibangun atas dasar yang berbeda. Trust di kalangan orang China didasarkan kekeluargaan, kedaerahan, alumni sekolah, dan persahabatan.

Orang akan mengatakan, trust yang didasarkan atas hukum lebih ”terbuka” dibanding yang didasarkan faktor-faktor di atas. Tidak mungkin membangun trust dengan orang China jika bukan berasal dari keluarga, daerah, atau alumni sekolah! Masih ada peluang lain, lewat hubungan persahabatan (pengyou). Dalam banyak legenda dari China dilukiskan banyak hubungan persahabatan yang mengharukan. Sampai hari ini pun sering ditemukan banyak persahabatan antarorang China yang erat, bahkan sama atau melebihi hubungan dengan anggota keluarga.

Indonesia juga

Pembicaraan tentang trust dan guanxi sebenarnya menggugat semua teori hubungan transaksi yang didasarkan atas teori hubungan pasar. Dalam situasi pasar, semua individu adalah rival atau kompetitor yang bersaing, bahkan bersaing dengan tidak jujur. Karena itu, semua transaksi harus didasarkan atas secarik kertas yang berisi kontrak, hitam atas putih, yang dijamin negara sebagai pemegang alat pemaksa yang sah.

Akibatnya orang menjadi musuh bagi orang lain. Hubungan keluarga, kedaerahan, sekolah, dan persahabatan, semua dianggap tidak relevan. Saudara dan saudara bisa saling menggugat di pengadilan, sahabat dan sahabat bisa terlibat pengadilan bertele-tele. Yang penting, kepentingan pribadi (self-interest) harus menang lewat kompetisi bengis di tengah pasar.

Kultur China justru mengajarkan kebalikannya. Boleh ada pasar, tetapi hubungan baik antarmanusia tetap jalan. Boleh ada persaingan, tetapi tolong-menolong antarkeluarga, orang sedaerah, satu alumni, dan sahabat tidak boleh dilupakan. Pasar selalu embedded, tidak mengalahkan guanxi. Bisa saja dikatakan hal ini akan menimbulkan nepotisme dan kolusi, tetapi dibuktikan empiris, guanxi mendukung pertumbuhan dahsyat ekonomi China.

Apakah di Indonesia tidak ada fenomena yang sama? Ada, dan mirip. Kekeluargaan penting, kedaerahan, bahkan hubungan alumni juga penting. Lihat pasar-pasar di Jakarta yang didominasi berbagai suku, juga kantor-kantor pemerintah maupun swasta penuh alumni universitas tertentu. Semangat ”tolong-menolong” dan ”gotong royong” masih ada, belum hilang. Ada kekhawatiran, ini dapat menimbulkan korupsi, tetapi mengapa tidak bisa sebaliknya, menimbulkan social capital seperti di kalangan orang China?

Mungkin kini orang Indonesia sedang lupa jati diri, bingung, dan memakai aneka ”teori” aneh, yang justru memperlemah semangat membangun bangsa.

Penulis adalah ketua Centre for Chinese Studies; (http://www.studi.cina.org)