Pasar Dalam Kapitalisme

Coen Husain Pontoh

Artikel Ignatius Wibowo dan Martin Manurung, sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Kedua artikel itu, menggugat satu konsep sakral yang begitu dijunjung tinggi oleh kalangan neoliberal: pasar bebas. Menurut kalangan ini, pasar bebas tidak saja sarana terbaik untuk penciptaan kemakmuran tapi, juga merupakan meja pengadilan tertinggi mengenai baik buruknya hidup sebuah bangsa. Pasar bebas tidak lagi sekadar masalah masalah teknis ekonomi tapi, telah menjadi filosofi dasar kehidupan bernegara secara universal.
Kedua artikel dari Wibowo dan Manurung, dengan kritis membedah ketidakbenaran anggapan kaum neoliberal tersebut. Dalam bahasa saya, keduanya mencoba menguliti sakralitas pasar bebas yang kini lagi berdominasi. Tetapi, kedua artikel ini menyisakan ruang untuk diskusi melalui pernyataan Wibowo berikut, “Yang diperjuangkan adalah bagaimana mengembalikan agar pasar itu embedded lagi di masyarakat. Ketika self-regulating market menempati kedudukan hegemoni, harus diupayakan agar ia menjadi anggota biasa lagi dan embedded dalam masyarakat.” Dalam bagian komentar, Manurung menyatakan pendapat senada, “….. jadikan pasar tetap sebagai institusi sosial yang berada dalam society, bukan diluar atau diatas (sehingga mengatur) society.”

Menurut saya, solusi yang dikemukakan kedua penulis ini masih sangat abstrak, terlampau filosofis. Pertanyaan mendasarnya, dalam masyarakat seperti apa pasar sebagai institusi sosial itu berada? Apakah dalam masyarakat kapitalis lanjut seperti saat ini, masih mungkin adanya pasar yang melayani kepentingan semua?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sekaligus membuat konkret solusi kedua penulis tersebut, saya akan meminjam analisis Karl Marx tentang watak pasar dalam sistem kapitalisme.

Pada Mulanya Adalah Uang

Menurut Marx, ada dua jenis pertukaran (baca: pasar) dalam sejarah ekonomi masyarakat. Pertama, pertukaran yang terjadi dalam masyarakat pra-kapitalis dan kedua pertukaran dalam masyarakat kapitalis. Pertukaran jenis pertama dirumuskannya sebagai C-M-C (Comodity-Money-Comodity). Pada pertukaran jenis ini, seorang pemilik komoditi (barang dagangan) untuk bisa menjual komoditinya, ia harus mencari pembeli yang akan membeli komoditinya, dari sana ia memperoleh uang. Kemudian, si pembeli komoditi ini akan memperoleh uang jika ia menjual kembali komoditinya kepada pembeli yang lain. Begitu seterusnya komoditi itu berputar di kalangan masyarakat. Rumusan ini oleh Marx, disebutnya sebagai sirkuit komoditi. Pada tahap sirkulasi ini, setiap orang memroduksi dan membeli komoditi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dengan kata lain, seseorang atau sekelompok orang memproduksi atau membeli komoditi dibatasi oleh pemenuhan kebutuhannya itu.

Hukum C-M-C ini, oleh ekonom neoklasik Johan Baptiste Say (terkenal dengan hukum Say), dirumuskan, “Setiap produksi pasti dikonsumsi.” Marx mengatakan, memang benar setiap penjualan berarti juga pembelian. Dan jika ada situasi dimana terjadi keseimbangan pembelian dan penjualan, maka tidak akan ada kelebihan produksi, dan karena itu tidak akan ada krisis ekonomi. Tetapi, ia mengatakan tidak setiap penjual akan mendapatkan pembeli dan tidak setiap orang berduit akan menggunakan duitnya buat membeli barang. Karena itu, kata Marx, hukum Say ini tak lebih sebagai “dogma yang kekanak-kanakan,” karena ia tidak bisa menjelaskan secara jernih sistem pertukaran dalam masyarakat kapitalis.

Menurut Marx, dalam masyarakat kapitalis pertukaran yang terjadi mengambil bentuk M-C-M (Money-Comodity-Money). Menurut hukum ini, si kapitalis memulainya dengan uang (M) untuk membeli komoditi (C) dimana selanjutnya komoditi tersebut dijualnya guna memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M-C) sebagai kapital pendahuluan dan tahap kedua (C-M) sebagai kapital kerja.

Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M-C-M), tak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semula ia memiliki Rp. 1000 (M) yang digunakan untuk membeli atau memroduksi sepatu senilai Rp. 900 (C) dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000 (M2), maka menurut Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis. Bagi Marx, cara produksi kapitalis mengambil bentuk M-C-M’, dimana M’ mewakili jumlah yang lebih besar dari M. Uang senilai Rp. 1000 (M) digunakan untuk membeli atau memroduksi sepatu senilai Rp. 900 (C) dimana selanjutnya sepatu itu dijualnya seharga Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- dimana selanjutnya sirkuit itu terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai “nilai lebih.”

Pada tahap M-C-M’, yang disebut Marx dengan istilah sirkuit uang, si kapitalis memroduksi komoditi bukan untuk dikonsumsi tapi, untuk dijual dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Demikian pula, si konsumen membeli barang bukan semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhannya primernya. Proses M-C-M’ ini terjadi dalam situasi yang tak pernah usai dan diam, sehingga terjadi apa yang disebut kelebihan produksi. Cara kerja kapitalisme seperti itu, ditegaskan Marx dalam Manifesto Komunis,


“Kebutuhan untuk senantiasa memperluas pasar bagi barang-barang yang diproduksinya, merupakan dorongan di kalangan kaum borjuasi untuk merengkuh seluruh muka bumi dengan barang-barangnya. Ia harus berada di mana-mana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana.”
Bertolak dari definisi Marx ini, saya berpendapat solusi untuk menjadikan pasar sebagai sesuatu yang embedded dalam masyarakat (Wibowo) atau sebagai institusi sosial yang berada dalam masyarakat (Manurung), hanya mungkin terjadi jika kita mengubah sistem masyarakatnya dari masyarakat kapitalis menjadi masyarakat non-kapitalis. Dengan demikian bisa dipahami mengapa Marx menyerukan revolusi, sesutu yang berbeda dari sekadar double-movement. Tanpa mengubah bentuk masyarakatnya, maka pasar bebas senantiasa berjaya.***