Dr. Sylvia Tiwon: Rakyat Baru Memperoleh Jari Hitam

SETELAH lebih dari tujuh tahun reformasi, tampak bahwa konsolidasi demokrasi belum menampakkan ujungnya. Dalam beberapa hal, malah terjadi gerak mundur ke masa rejim Orde Baru. Misalnya, praktek korupsi yang makin mengganas, konflik horisontal yang makin mengental, liberalisasi ekonomi yang makin telanjang, dan politik bagi-bagi kekuasaan yang sangat pragmatis.

Salah satu sektor yang harus direformasi adalah militer. Namun demikian, reformasi lembaga ini pun mirip-mirip dengan bidang yang lain. Misalnya, di satu sisi kita mencatat beberapa langkah maju seperti pemisahan Polri dari TNI, dihapuskannya lembaga superbodi seperti Bakorstanas, dihapuskannya fraksi TNI di parlemen, dan penggiliran kepemimpinan TNI antar angkatan. Tetapi, reformasi militer ini masih jauh dari yang diharapkan. TNI masih tetap menjadi pelaku politik utama, terutama karena struktur organisasinya yang menjulur hingga ke pedesaan, penguasaan bisnis yang luar biasa besar, dan juga iklim politik internasional yang menguntungkannya.

Di tengah-tengah kondisi reformasi yang turun-naik itu, Coen Husain Pontoh dari IndoProgress, mewawancarai Dr. Sylvia Tiwon, Associate Professor di University of California at Berkeley, seputar konsolidasi demokrasi dan hubungannya dengan TNI. Berikut petikannya:
IndoProgress (IP): Salah satu masalah paling krusial dalam konteks konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menempatkan militer di bawah kontrol sipil. Dalam konteks Indonesia, bagaimana Anda melihat relasi sipil dan militer di masa reformasi ini?

Sylvia Tiwon (ST): Sebenarnya sudah ada perubahan yang cukup berarti dalam relasi sipil dan militer: sejak awal Orde Baru relasi ini sangat tidak seimbang; boleh dikatakan hampir segala aspek kehidupan publik--bahkan pribadi--ditentukan oleh militer atau mengikuti pola militer. Dalam model penyelenggaraan negara yang berdasarkan pendekatan “keamanan”, seakan-akan suasana "tenteram" yang diharapkan hanya bisa dihadirkan oleh "tentera." Perhatikan bahwa kata "damai" (sebagai hak manusia) tak pernah dipakai. Dalam pemikiran begini, segala dimensi "ketenteraman" dipersatukan, dan tidak dipisahkan antara fungsi militer dengan fungsi polisi. Implikasinya ialah bahwa kekerasan negara tidak pernah jauh dari kehidupan rakyat dan demokrasi lumpuh total, dan hak asasi warganegara Indonesia sebagai manusia tak pernah mendapat perlindungan.

Sekarang sudah ada beberapa langkah konkrit, termasuk pemisahan polisi dari militer dan berkurangnya campur-tangan militer dalam politik.

(IP): Dalam konteks sejarah politik modern Indonesia, apakah konsep supremasi sipil atas militer ini relevan?

(ST): Sangat relevan sekali, kalau "supremasi" diartikan sebagai kendali dan pengawasan sipil. Masalahnya sekarang barangkali ialah bahwa demokrasi yang berjalan sekarang lebih menekankan proses elektoral baku saja, dan tidak merupakan proses di mana rakyat pada semua lapisan benar-benar ikut serta.

Yang ditekankan selama ini dalam berbagai program "voter's education" ialah proses pencoblosan. Sampai sekarang, dari proses ini, rakyat baru memperoleh jari hitam (dari tinta pemilu), belum memperoleh suara yang kuat. Dengan demokrasi bonsai seperti ini, mana mungkin rakyat betul-betul ikutserta dalam membentuk mekanisme pengawas yang ampuh?



Sampai sekarang, dari proses ini, rakyat baru memperoleh jari hitam (dari tinta pemilu), belum memperoleh suara yang kuat. Dengan demokrasi bonsai seperti ini, mana mungkin rakyat betul-betul ikutserta dalam membentuk mekanisme pengawas yang ampuh?

(IP): Kita tahu Dwifungsi TNI merupakan jatidiri TNI, padahal jatidiri ini juga merupakan sumber masalah sepanjang sejarah politik Orba. Sejauh mana Anda melihat jatidiri TNI ini sebagai penghalang konsolidasi demokrasi?

(ST): Dwifungsi inilah yang justru membuat masalah bagi konsolidasi demokrasi. Konsep "civic mission" militer ini juga mewarnai teori sosiologi (lama) yang menganggap bahwa di negara-negara dunia ketiga (alias negara "terbelakang") militerlah satu-satunya organisasi moderen yang mampu mengantarkan negara ke jaman modern, ke pembangunan dan industrialisasi.

Pemikiran seperti ini masih sering muncul juga dan jadi bahan perdebatan. Contohnya di Aceh, di mana tentara akan dimobilisasi untuk membangun jembatan. Memang, dengan organisasi berstruktur komando, bisa cepat sekali. Tetapi, kalau akan dipakai seperti ini maka jangan bawa senjata, dong. Tapi apakah tentara berani masuk tanpa senjata? Ini kan salah satu pertanyaan kunci. Dan kalau tentara, di negaranya sendiri, tidak berani meletakkan senjata di tengah-tengah rakyat, kesimpulan apa yang bisa ditarik dari kondisi seperti ini?

(IP): Sebagian kalangan berpendapat bahwa usaha menempatkan militer di bawah kontrol sipil perlu bekerjasama dengan elemen-elemen moderat dan reformis di tubuh TNI. Menurut Anda, seberapa relevan argumen ini?

(ST): Tergantung dari arti "kerjasama". Tentu elemen moderat dan reformis perlu diajak karena akan lebih elegan kalau perubahan dalam militer juga merupakan hasil kesadaran di dalam tubuh militer. Tetapi kerjasama seperti ini tidak meniadakan perubahan sistematik, terutama untuk memantapkan mekanisme kontrol publik atas institusi militer.

(IP): Dalam kasus Aceh, terlihat TNI melakukan tindakan-tindakan yang mengamankan kebijakan yang diprakarsai oleh politisi sipil (dalam hal ini Wapres Jusuf Kalla). Tapi, di tempat yang lain, seperti di Papua dan di Poso, TNI justru menambah jumlah personelnya. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?

(ST): Gejala ini sebenarnya gejala lama, dan bisa diartikan menurut cara lama juga: yaitu militer yang belum menjadi militernya negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan hak asasi manusia. Selama negara masih dilihat sebagai medan perang maka selama itu akan sulit membangun proses demokratis yang sebenarnya: yaitu perdebatan, pertimbangan, negosiasi, dsb. Selama yang dituju adalah "keamanan dan ketertiban", bukan "damai," maka gejala seperti ini akan berjalan terus. Sulitnya, cukup banyak pihak sipil yang masih ketakutan pada rakyatnya sendiri dan merasa perlu punya "backing" militer.

(IP): Sejauh ini kita tidak melihat komitmen yang kuat dari politisi parlementer untuk menegakkan supremasi sipil. Tetapi, sebaliknya para aktivis ekstra-parlementer tetap berharap banyak pada para politisi parlementer tersebut. Contohnya dalam hal pembentukan KKR. Bagaimana Anda menilai fenomena ini?

(ST): Ini barangkali bagian dari proses konsolidasi demokratik. Tak ada salahnya terus berupaya menggunakan parlemen walau kita tahu bahwa proses pembentukan parlemen masih jauh dari proses demokrasi yang sungguh-sungguh mengakar-rumput. Kenapa terjadi "ekstra parlementer" karena kebanyakan orang memang tidak memahami bagaimana orang yang tidak dikenal bisa menjadi "wakilnya." Seluruh sistem perwakilan belum jalan. Termasuk Pilkada (pemilihan kepada daerah-red) di berbagai tempat. Jadi keterasingan masih kental.

(IP): Menurut mbak, sejauh mana usaha-usaha yang dilakukan oleh para aktivis gerakan sosial dalam menegakkan supremasi sipil?

(ST): Wah, ini pertanyaan yang sulit dijawab. Ada berbagai upaya yang bisa dilihat sebagai faktor positif. Antara lain, saya kira gerakan perempuan yang telah menampilkan beberapa keberhasilan: contohnya beberapa hasil legislatif yang berpihak pada perempuan. Saya tahu banyak yang mengritik, tapi ada perlunya juga kita mengambil pelajaran dari proses ini: di mana kekuatan dan kelemahan, apa keuntungan dan apa kerugian.



...bagi konsolidasi proses demokratik ada pelajaran yang bisa
dipetik: bahwa perlu kerja keras di
komunitas-komunitas akar-rumput.

Juga ada beberapa upaya lain, mungkin bisa disebut "keberhasilan" beberapa orang yang berpihak kepada rakyat terpilih menjadi anggota DPD. Bahwa posisi itu sendiri tidak punya kekuatan apa-apa, itu soal kedua. Setidak-tidaknya, bagi konsolidasi proses demokratik ada pelajaran yang bisa dipetik: bahwa perlu kerja keras di komunitas-komunitas akar-rumput. Bahwa setelah terpilih ada akuntabilitas ke mereka. Apa mekanisme akuntabilitas ke akar rumput? Bagaimana kalau sang wakil ternyata tidak berbuat apa-apa? Semua harus menjadi konkrit, dan bukan sekedar abstraksi yang diberi judul "pemilihan". Dan, dalam proses konsolidasi demokrasi, saya kira suara perempuan di akar-rumput akan sangat penting untuk membumikan konsep-konsep yang sering mengawang ini.