Revolusioner Dari Sardinia

Antonio Gramsci dan Analisa Kelas
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)


PADA 22 Januari lalu, kalangan kiri sedunia merayakan hari lahir salah satu pemikir-cum aktivisnya yang paling terkemuka, Antonio Gramsci. Louis Althusser, filsuf Marxis Prancis yang mengguncang pemikiran kiri Eropa pada dekade 1960an, menulis, Gramsci adalah figur yang paling diingatnya ketika sedang mengeksplorasi pemikiran Marx dan Engels.

Sejarawan kondang Eric Hobsbawn turut memberikan apresiasi tinggi terhadap Gramsci. Menurut Hobsbwan, Gramsci adalah intelektual kiri yang karya-karyanya paling laris dibaca dan ditafsirkan pada abad keduapuluh. Dalam konteks Italia, Hobsbawn mengatakan, Gramsci adalah intelektual Italia yang paling terkenal dan terkemuka sepanjang masa, yang karya-karyanya patut dikategorikan sebagai karya klasik. Menurut Joseph A. Buttigieg, salah satu pemikir Gramsci terkemuka saat ini, Gramsci adalah ilmuwan politik dan kritikus budaya yang sangat sering dikutip dan karyanya paling banyak diterjemahkan.

Tokoh kita ini, lahir pada 1891 di kota Ales, kepulauan Sardinia, Italia, dari keluarga miskin. Ayahnya, Fransesco Gramsci, adalah seorang pegawai negeri di Ghilarza. Adapun ibunya, Giuseppina, putri seorang pegawai pajak yang makmur, dan menjadi miskin ketika kawin dengan Fransesco. Untuk menyuapi mulut ketujuh anaknya, Giuseppina menjalani profesi sebagai tukang jahit di rumahnya. Jika melihat asal-usul keluarganya, benar keluarga intinya sangat miskin, tapi dari garis bapak maupun ibunya, sesungguhnya keluarga Gramsci tidak bisa dibilang miskin. Kakek Gramsci dari pihak ayah, misalnya, adalah seorang kolonel polisi (carabinieri). Menurut sosiolog Mike Donaldson, latar belakang keluarganya yang proletariat dan borjuis kecil ini menjadikan konsep-konsep Gramsci tentang kelas bukanlah sesuatu yang berjarak dan abstrak.

Ketika Gramsci berusia tujuh tahun, ayahnya dipenjara selama lima tahun karena dituduh terlibat dalam skandal politik lokal. Sejak itu, ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Pada 1911, ia memperoleh beasiswa untuk kuliah di universitas Turin, Italia, dan hanya sesekali ia pulang ke Sardinia. Selama di Turin, Gramsci semakin terlibat dalam gerakan politik sosialis dan mulai menulis pada beberapa koran sosialis. Tapi ide-ide sosialis sesungguhnya telah bersemi sejak di Sardinia, melalui bacaan-bacaan yang diberikan oleh kakaknya Gennaro. Ia membaca buku-buku karya filsuf neo-Hegelian, Benedetto Croce, seorang intelektual Italia termasyhur abad ke-20. Croce bagi Gramsci adalah guru sekaligus lawan berpikirnya.

Pada 1916, Gramsci meninggalkan kampus untuk berkonsentrasi pada kerja-kerja politik, dan menulis kolom secara reguler untuk Koran sosialis Avanti!. Pada 1917, di tengah-tengah iklim pemberontakan yang gagal di Turin, disusul dengan penangkapan para pemimpin partai sosialis, Gramsci kemudian menjadi sekretaris Partai Sosialis Italia (PSI) cabang Turin, sekaligus editor koran sosialis Il Grido del Popolo. Dan seperti umumnya kalangan kiri Eropa saat itu, Gramsci sangat terinspirasi dengan sukses revolusi Bolshevik Rusia pada 1917. Pada 1919, ketika Il Grido del Popolo berhenti terbit, Gramsci bersama-sama dengan Angelo Tasca, Umberto Terracini dan Palmiro Togliatti (kelak menjadi tokoh utama Partai Komunis Italia), mendirikan L’Ordine Nuovo (the New Order/Orde Baru), dengan subjudul “A Review of Socialist Culture.”

Dalam periode 1919-1920, terjadi gelombang pemogokan buruh di Turin, yakni perjuangan buruh pabrik Fiat melawan manajemen. Perlawanan buruh ini berakhir dengan kegagalan, sementara manajemen Fiat semakin terkonsolidasi. Sebagai buntut dari kegagalan perlawanan buruh tersebut, pada awal 1921, terjadi perpecahan di dalam Partai Sosialis Italia. Gramsci bergabung dalam kelompok sayap kiri partai yang kemudian membentuk Partai Komunis Italia (PCd’I). Pada 1922, Gramsci kemudian terpilih sebagai perwakilan PCd’I dalam komite eksekutif Komunis Internasional di Moscow. Di sana ia tinggal selama 18 bulan, dan menemukan jodohnya bernama Julca (‘Giulia’) Schucht, perempuan Rusia keturunan Jerman. Keduanya menikah pada 1923 dan memperoleh dua orang anak laki-laki yang lahir pada 1924 dan 1926.

Ketika Gramsci pulang ke Italia pada Mei 1924, ia bertemu dengan istrinya hanya sesekali, tapi tidak dengan putra keduanya. Kini PCd’I berhadapan dengan kekuatan fasis Italia pimpinan Bennito Mussolini. Tak lama berselang, Gramsci terpilih sebagai wakil ketua parlemen Italia. Namun pada November 1926, dengan tidak mengindahkan hak kekebalan yang melekat pada anggota parlemen, Mussolini memerintahkan penangkapan terhadap Gramsci. Setelah melalui persidangan, Gramsci dijatuhi hukuman 20 tahun, empat bulan, dan lima hari.

Yang menarik, selama menjalani kehidupan dipenjara di Turi dekat Bari, Gramsci diijinkan untuk membaca buku apa saja, kecuali buku-buku karya Marx dan Engels. Untuk itu, terima kasih pantas ditujukan kepada ekonom terkemuka Italia, Piero Sraffa, teman baik Gramsci yang bersimpati pada komunisme, yang mengungsi ke Inggris pada 1927. Sraffa meninggalkan rekeningnya kepada Gramsci sehingga memungkinnnya membeli buku di toko buku di Milan. Di dalam penjara fasis yang superketat itulah, Gramsci dengan bantuan adik iparnya Tatiana Schucht, menulis surat-surat dari penjara yang ditujukan kepada istrinya. Surat-surat ini kelak dibukukan dengan judul Prison Notebooks.

Pada 1932, Gramsci punya kesempatan untuk bebas, melalui sebuah program pertukaran tahanan antara Italia dan Uni Sovyet. Tetapi program ini gagal terwujud. Pada 1934, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk, Gramsci beroleh kesempatan menghirup udara luar ketika diijinkan untuk berobat luar di beberapa rumah sakit di Civitavecchia, Formia dan Roma. Tapi pengobatan itu gagal memperpanjang usianya, dan pada 1937 ia menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit "Quisisana" di Roma, pada usia 46 tahun. Mayatnya kemudian dikuburkan di pekuburan Protestan di Roma.

Kontroversi Pemikiran

Sedemikian terkenalnya, Gramsci juga merupakan intelektual Marxis yang pemikirannya menjadi sumber kontroversi. Bagi kalangan Post-Marxis yang dimotori Ernesto Laclau dan Chantall Mouffe, Gramsci diklaim sebagai pemikir Marxis yang paling orisinal, sekaligus menorehkan konsep yang bertentangan dengan konsepsi awal Marx dan Engels. Dalam buku mereka Hegemony and Socialist Straegy, Laclau dan Mouffe menulis, “Gramsci tidak hanya pemikir orisinal dan ahli strategi politik tentang ‘pembangunan yang tidak seimbang/uneven development,’ tapi sekaligus pemikirannya sangat relevan diterapkan di negara-negara kapitalis maju.”

Keunikan pemikiran Gramsci ini, berbeda dengan pemikir Marxis klasik lainnya. Biasanya, demikian Laclau dan Mouffe, pemikiran kaum Marxis klasik seperti Karl Kautsky atau Lenin, hanya cocok untuk konteks ruang dan waktu tertentu. Misalnya, Leninisme hanya cocok untuk negara-negara kapitalis terbelakang dan otoriterian seperti Rusia, tapi tidak untuk konteks Eropa Barat yang maju dan demokratis. Demikian pula dengan kalangan sosial demokrat, yang pemikirannya hanya tepat untuk konteks Eropa Barat.

Dalam hubungannya dengan tradisi pemikiran Marxis, Laclau dan Mouffe mengatakan, Gramsci memperkenalkan dua konsep baru dan berdasarkan itu secara fundamental menggusur problematika yang selama itu melekat pada kalangan Marxis klasik: pertama, konsepsinya tentang kepentingan ideologis, dimana bagi Gramsci ideologi tidak berkaitan dengan “sistem gagasan” atau “kesadaran palsu” agen-agen sosial. Menurut Gramsci, ideologi adalah sebuah hubungan yang menyeluruh dan organik yang melekat pada institusi dan aparatus; kedua, dengan pengertian seperti itu Gramsci lalu memperkenalkan sebuah cara pembacaan “superstrukturalis” terhadap ideologi. Maksudnya, melalui konsep blok historis dan ideologi sebagai semen organik, maka sebuah kategori totalitas mengambil tempat di luar pembedaan lama basis/superstruktur. Di sinilah ia bicara tentang kepemimpinan moral dan intelektual. Tetapi agar kepemimpinan moral dan intelektual ini tidak dimengerti sebagai sebuah kesadaran palsu di antara dua kelas yang bertentangan, maka Gramsci lalu menyuguhkan argumen ketiga yang paling penting yakni “menggusur problematika reduksionis dari ideologi.” Inilah kata Laclau dan Mouffe:

“Bagi Gramsci, subyek politik bukanlah – ia bicara sangat ketat – kelas-kelas, tapi kompleks “keinginan kolektif/collective will”; hal yang sama, elemen ideologi yang diartikulasikan oleh kelas yang hegemonik tidak dengan sendirinya melekat pada kelas itu. Berkaitan dengan poin pertama, posisi Gramsci sangat jelas: keinginan kolektif adalah hasil dari artikulasi ideologi-politik yang terpancar dan tersebar pada kekuatan-kekuatan sejarah.
……

Basis ekonomi bukan lagi penentu akhir kemenangan kelas pekerja, sejak kelas pekerja itu sendiri tergantung pada kepemimpinan hegemonik.”

Lebih jauh, sebagaimana dikemukakan Chantal Mouffe dalam bukunya Gramsci and Marxist Theory (1979), terdapat “konvergensi” antara pemikiran Foucault dan Derrida dengan Gramsci. Mouffe lantas mengklaim bahwa Gramsci adalah satu-satunya teoritikus Third International yang berani berpisah dengan “ekonomisme,” “reduksionisme” dan “epiphenomenalisme.”

Penafsiran Post-Marxis terhadap pemikiran Gramsci ini selama dua dekade terakhir sangat dominan, terutama bagi kalangan intelektual di kampus-kampus dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Beberapa kesimpulan berikut yang telah lumrah diterima tanpa syarat: pendekatan kelas adalah reduksionis karena mengabaikan masalah identitas seperti ras, gender, atau lingkungan; hubungan basis/superstruktur sudah basi; kelas buruh bukanlah satu-satunya kelas yang paling berlawan di bawah kapitalisme. Gerakan perempuan, gerakan hak sipil, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa adalah juga agen perubahan yang sejajar dengan kelas buruh; negara bukan lagi agen perubahan sosial yang efektif; partai politik bukanlah kendaraan utama untuk perjuangan, tapi juga ada LSM dan asosiasi-asosiasi independen dan sukarela lainnya; demokrasi radikal dan bukan sosialisme yang merupakan alternatif bagi kapitalisme.

Tetapi, benarkah Gramsci menolak pendekatan kelas, seperti yang diklaim kalangan Post-Marxis? Benarkan analisanya tentang kepemimpinan kultural dan intelektual, terpisah dari hubungannya dengan aspek ekonomi? Dari pembacaan ulang terhadap karya-karya Gramsci, ditemukan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulannya Post-Marxis.

Kembali mengutip Donaldson dan Thomas, Laclau dan Mouffe menurutnya, hanya memfokuskan diri pada pembacaan karya Gramsci Prison Notebooks (PN) yang terbit pertama kali pada 1947. Bagi Laclau dan Mouffe, pada periode 1920-1926 tak ada keraguan bahwa Gramsci adalah seorang Marxis revolusioner. Tapi selama masa penahanan dan berkuasanya fasisme di Italia, keyakinan politik dan teoritik Gramsci telah berubah secara drastis. Akibatnya, di tangan Post-Marxis, Gramsci dalam PN seperti tidak memiliki hubungan dengan pra-Prison Notebooks (p-PN).

Pembacaan eksklusif terhadap PN ini sebenarnya juga mengandung masalah, karena berbagai distorsi terhadapnya. Menurut Chris Harman, segera setelah Gramsci wafat, catatan-catatan itu jatuh ke tangan Palmiro Togliatti yang beraliran Stalinis dan tidak pernah dipublikasikan selama sepuluh tahun. Ketika catatan ini terbit pada 1947, berbagai koreksi dan seleksi telah dilakukan terhadapnya. Salvatore Sechi, sebagaimana dikutip Harman mencatat, terdapat empat perubahan yang terjadi: pertama, menghapus referensi kepada beragam figur Marxis seperti Amadeo Bordiga, Leon Trotsky dan bahkan Rosa Luxemburg, yang digambarkan sebagai “fasis” oleh Togliatti; kedua, menyembunyikan fakta bahwa pada 1931, Gramsci telah berpisah dengan garis politik PCd’I pada 1931; ketiga, memberikan gambaran bahwa Gramsci mempunyai kehidupan pribadi yang didasarkan pada idealisasi perkawinan, ‘sebuah mitos yang sangat berguna dalam membentuk keyakinan rakyat, di atas basis contoh yang konkret, bahwa dalam komunisme loyalisme diukur pada penghargaan terhadap kesatuan keluarga inti, sehingga menjadi instrumen dalam membenarkan kolaborasi antara partai komunis dengan gereja Katolik pasca perang Dunia II; dan keempat, menghapus fakta bahwa Gramsci terus berusaha untuk memperoleh buku-buku yang bisa memberinya akses kepada pemikiran Trotsky setelah pengusirannya dari Rusia pada 1929.

Pembacaan yang eksklusif dari sumber yang telah mengalami distorsi inilah yang ditolak oleh generasi baru pemikir Gramsci, seperti Mike Donaldon, Kate Crehan, Peter D. Thomas, dsb. Mereka berpendapat, Gramsci pertama dan terutama adalah seorang Marxis revolusioner baik pada p-PN maupun pada PN, dan karenanya ada kesinambungan antara tulisan-tulisan p-PN dan PN. Bahkan, menurut Donaldson, sebagian besar konsep dari PN telah ditulisnya dalam p-PN. Namun demikian, karena PN di tulis dalam penjara fasis, maka beberapa istilah baru diperkenalkan Gramsci untuk mengelabui pemeriksaan petugas.

Donaldson dan Harman memberikan contoh, ketika Gramsci menulis “the philosophy of practice” maka itu maksudnya adalah Marxisme; kata “Ilyich” ditujukan untuk menyebut nama Lenin; dan ketika ia ingin menulis Partai Komunis, ia menggunakan istilah “Modern Prince,” “modern Jacobin,” atau “the elite”; untuk menyebut surat kabar, ia menggunakan istilah “a group which wants to spread an integral conception of the world,” a “unitary cultural organism,” atau a “homogenous cultural center”; materialisme historis seringkali muncul dalam kata “mat. stor”; ekonomi Marxis sebagai “critical economy”; ia menulis Marx dengan kode “M” atau C.M. (Carlo Marx) dan menyebut Marx dan Engels sebagai the “founders of the philosophy of praxis.”

Kelas-kelas dalam masyarakat

Salah satu penafsiran paling populer terhadap pemikiran Gramsci, bahwa kepemimpinan kultural dan intelektual (hegemoni) dianggap terpisah dari hubungan ekonomi. Konsekuensinya, seperti diproklamirkan oleh kelompok Post-Marxis, kelas bagi Gramsci telah mati. Atau dengan kata lain, pendekatan kelas tidak lagi memadai sebagai metode analisis maupun aktivitas politik untuk mentransformasikan masyarakat saat ini.

Namun, sebagaimana ditunjukkan Crehan, ketika Gramsci berbicara tentang budaya (culture) ia senantiasa menempatkan kultur dalam konteks hubungan kekuasaan (power relation), dan hubungan kekuasaan bagi Gramsci berkaitan dengan posisi ekonomi. Donaldson menambahkan, bagi Gramsci produksi ekonomi adalah “sumber dari kehidupan sosial” dan kerja manusia merupakan konsepnya yang paling mendasar. Kesimpulan Donaldson ini, bisa dilihat dalam Machiavelli Note, dimana Gramsci mengatakan:

"bisakah kultur itu direformasi, dan bisakah posisi strata terendah dalam masyarakat ditingkatkan secara kultural, tanpa sebelumnya dilakukan reformasi ekonomi dan perubahan posisi sosial mereka dalam lapangan sosial ekonomi? Reformasi moral dan intelektual harus memiliki kaitannya dengan program-program reformasi ekonoomi….”

Dalam konteks reformasi ekonomi itulah, Gramsci tetap mengikuti garis pemikiran Marx dan Engels yang melihat bahwa kelas merupakan motor penggerak sejarah, karena “kepentingan kelas” itu adalah permanen. Di sini Gramsci mendefinisikan kelas sebagai group yang besar, yang melampaui subyek individu atau kelompok. Dan dalam konteks Italia, ia membagi kelas atas dua, yakni kelas-kelas yang bermilik (propertied classes) dan kelas-kelas yang tidak bermilik (propertyless classes). Kelas bermilik ini terdiri atas dua kelas, yakni kapitalis dan tuan tanah. Kedua kelas ini, tulis Gramsci, “memiliki alat-alat produksi dan pertukaran”, “pemilik instrumen produksi” dan memiliki “kepedulian tertentu – bahkan jika itu membingungkan dan terfragmentasi” tentang “kekuasaan dan misinya.”

Namun, Gramsci juga mengatakan bahwa baik kelas kapitalis maupun kelas tuan tanah ini bukanlah sebuah sebuah kelas yang monolitik, yang selalu sejajar kepentingannya. Kadang-kadang keduanya berkonflik satu sama lain, misalnya dalam soal penentuan tarif. Tetapi, kedua kelas ini akan segera menyatu ketika berhadapan dengan kebangkitan kelas pemilik ketiga (a third propertied class), yakni kelas kapitalis pedesaan (rural capitalist). Kelas kapitalis pedesaan ini, muncul pada masa perang Dunia pertama, sebagai hasil dari meningkatnya produksi pertanian akibat penerapan kapital yang intensif. Kapitalis pedesaan ini berbeda dengan tuan tanah, karena mereka semata-mata mengoreintasi produksinya untuk kepentingan akumulasi kapital, yang berbeda dengan para tuan tanah yang hidup dari sewa tanah.

Sementara kelas bermilik bertambah dari dua menjadi tiga, Gramsci juga memberi perhatian kepada keberadaan strata dalam kelas-kelas. Misalnya, di samping tuan tanah, the “Latifundist barons” dan kalangan “aristokrat tradisional dari keluarga tuan tanah yang kaya” terdapat pula “kalangan tuan tanah menengah dan kecil, yang bukan petani, yang tidak bekerja di sawah, yang merasa malu menjadi petani, tapi tetap ingin mengekstraksi tanah kecil yang dimilikinya, baik melalui sewa tanah maupun melalui pertanian skala kecil.” Demikian juga di kalangan borjuasi perkotaan, bukan hanya terjadi perbedaan antara kapital industrial dan kapital finansial, khususnya pertentangan yang tajam menyangkut soal penentuan tarif, tapi juga adanya perbedaan di dalam kelas kapitalis industrial yang mungkin merasa diekspolitasi. Namun demikian, pertentangan dalam kelas bermilik ini besifat non-antagonistik, dimana konflik tersebut bukan tak terdamaikan dan saling meniadakan satu dengan lainnya.

Berhadapan secara konfliktual dan antagonistik dengan tiga kelas bermilik ini, menurut Gramsci adalah kelas yang tidak bermilik, yang di Italia tersebar di mana-mana dalam jumlah yang sangat “besar”, “luas” dan “massa popular”, “beragam, sangat kacau”, “masyarakat umum”, yakni mereka yang takluk di bawah hukum kapitalisme, yang tereksklusi dari penggunaan kekuasaan karena posisinya yang tidak memiliki alat-alat produksi. Selanjutnya, Gramsci membagi kelas tidak bermilik ini atas empat kelas: proletariat perkotaan, kelas pekerja pedesaan, petani dan borjuis kecil.

Seperti juga pada kelas bermilik yang memiliki strata, demikian juga kelas tidak bermilik ini. Gramsci memberi contoh, dalam kelas pekerja, terdapat strata yang “sangat maju”, “kurang maju”, “terbelakang dan kelam.” Ada "pekerja manual", "setengah ahli", "sangat ahli", serta "buruh aristokrat", yang menyebabkan kelas pekerja bukanlah sebuah kelas yang monolitik dan selalu sanggup memainkan peran revolusionernya setiap waktu. Tetapi, walau demikian, Gramsci percaya bahwa kelas tidak bermilik ini memiliki kapabilitas untuk “bergerak” dan “menggerakkan pemberontakan.” Keyakinan ini muncul, karena menurutnya, “revolusi adalah produk dari “aksi massa,” dan melalui organisasi mereka di lingkungan industrial dan proletariat pedesaan, massa rakyat ini “sanggup menciptakan transformasi sosial dan politik yang lengkap, dan selanjutnya melahirkan negara proletariat.”

Dalam kaitan dengan tesisnya itu, Gramsci masuk pada isu yang ditolak oleh
Kaum Post-Marxis, yakni soal kepemimpinan perjuangan melawan kelas bermilik. Dalam Selection from Prison Writings (SPW) yang dikutip Donaldson, Gramsci menulis:

“….pada prinsipnya adalah kelas pekerja yang harus memimpin gerakan revolusioner, tapi petani juga harus mengambil bagian dalam gerakan ini, karena hanya dengan bantuan pekerja maka petani bisa membebaskan dirinya dari penindasan tuan tanah besar; sementara pada sisi yang lain, tanpa kesadaran atau paling tidak netralitas petani dalam perjuangan melawan kapitalisme, kaum pekmerja tidak akan sanggup mewujudkan revolusi komunis.”

Dengan demikian, bagi Gramsci, aliansi kelas di antara kelas tak bermilik adalah suatu keharusan, bukan hanya sebuah kebutuhan. Dalam hal ini adalah aliansi antara buruh perkotaan dan buruh pedesaan.

Di samping kelas buruh dan petani ini, Gramsci juga memberikan perhatian besar pada kelas menengah (intermediate classes), yang jumlahnya sangat besar dan tersebar luas di seantero Italia. Menurut Gramsci, kelas buruh Italia, walaupun revolusioner tetapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan kelas menengah yang terdiri dari borjuis kecil dan intelektual. Jika kelas buruh dan petani bisa diidentifikasi kehadirannya secara sektoral, maka kelas menengah ini keberadannya lebih secara teoritorial. Gramci membaginya atas kelas menengah perkotaan dan pinggiran kota. Di perkotaan mereka terdiri atas borjuis kecil seperti para pengrajin yang mempekerjakan tidak lebih dari lima orang, pemilik industri kecil, pemilik toko, pedagang, kalangan professional (seperti pengacara, akuntan, dokter, ulama/pendeta) manajer level menengah, pegawai negeri tingkat menengah, politisi professional, pejabat-pejabat serikat buruh, dan masyarakat kooperatif yang muncul dari kelas pekerja.

Sementara di pinggiran kota, kelas menengahnya terdiri atas pemilik tanah kecil dan petani menengah, pejabat-pejabat kota kecil, notaries, juru catat, pekerja, tukang kredit, pengantar surat, dan guru. Khusus di pinggiran kota, yang juga penting adalah keberadaan para ulama/pendeta yang “senantiasa terlibat dalam menganalisa komposisi kelas penguasa dan kelas bermilik.”

Nah, baik di perkotaan dan di wilayah pinggiran, borjuis kecil ini merupakan pencetak utama dari intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual organik ini terdiri atas manajer, insinyur, ahli teknik, politisi, penulis terkenal dan akademisi, penyiar radio dan televisi, wartawan, pegawai negeri, pejabat-pejabat militer, jaksa, dan hakim. Mereka-mereka ini, bersama dengan pendeta memroduksi gagasan, nilai, dan keyakinan untuk mengonsolidasikan formasi sosial pedesaan.

Hal yang paling penting dari kelas menengah, bagi Gramsci, karena posisi kelasnya, adalah penyangkalannya atas perjuangan kelas. Pernyataannya yang terkenal berkaitan dengan itu, bahwa kelas menengah itu bisanya “membuat berita, bukan membuat sejarah.” Dan karena itu pula, mereka merupakan penyedia utama basis dukungan bagi gerakan fasisme. Di Selatan Italia, misalnya, kelas borjuis kecil ini menjadi “tentara-tentara” fasis dan borjuis kecil perkotaannya bahkan “beraliansi dengan tuan tanah dan mendeklarasikan diri keluar dari organisasi petani.” Watak kelas dari kelas menengah ini, rupanya mendatangkan kegusaran pada Gramsci yang pada 1919 bersama dengan Togliatti, keduanya menyatakan bahwa kelas menengah merupakan kelas yang “paling buruk, paling tidak menyenangkan, paling tidak berguna, dan seksi borjuis yang paling bersifat parasit.”

Namun, karena jumlahnya yang besar, sumber utama kemunculan intelektual organik dan tradisional, serta watak kelasnya yang seperti itu, maka bagi Gramsci, justru sangat penting buat kelas buruh dan petani untuk memenangkan dukungan dari kelas menengah ini. Kegagalan meraih dukungan kelas menengah, akan menyebabkan jalannya perjuangan anti kapitalisme akan tersendat-sendat dan biaya politik yang ditanggung akan semakin besar.

Penutup

Pemaparan singkat di atas menunjukkan, bagaimana Gramsci tidak sekalipun meninggalkan atau bahkan menolak kebereadaan kelas-kelas dalam masyarakat serta peran historis mereka dalam perjuangan anti kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci “tidak membunuh kelas” sebagaimana keyakinan Post-Marxis.

Bagi Gramsci, kelas akan selalu hadir, ketika untuk hidup, mayoritas rakyat disingkirkan secara paksa dan sistematis dari kepemilikan alat-alat produksi dan sumberdaya-sumberdaya produktif. Dan di atas segalanya, kelas adalah sebuah hubungan yang bersifat relasional, dimana aksi satu kelas akan menyebabkan terjadinya reaksi dari kelas lainnya. Dalam hubungannya dengan perjuangan anti kapitalisme, Gramsci percaya bahwa perjuangan itu hanya mungkin terjadi secara konsisten jika dipimpin oleh kelas buruh.***


Kepustakaan:

Antonio A. Santucci, “Antonio Gramsci,” Monthly Review Press, New York, 2010.

Chris Harman, “Gramsci versus Eurocommunism,” 04 October 2006, http://www.isj.org.uk/index.php4?id=239

----- “Gramsci, the Prison Notebooks and philosophy,” 09 April 2007, http://www.isj.org.uk/?id=308

Ernesto Lacalu and Chantal Mouffe, “Hegemony and Socialist Strategy Twards a Radical Democratic Politics” (second edition), Verso, London, 2001.

Kate Crechan, “Gramsci, Culture and Anthropology,” Pluto Press, 2002.

Mike Donaldson, “Gramsci and Class”, http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1146&context=artspapers

Peter D. Thomas, “The Gramscian Moment Philosophy, Hegemony and Marxism,” Brill, 2009.