Luky Djani
Kandidat Doktor di Murdoch University, Australia
BANGKOK awal Juni 2010, tak menunjukkan wajah muram ataupun mencekam. Padahal, seminggu sebelumnya, bentrokan antara massa kaos merah dan tentara tak dapat dihindari. Kekacauan politik kali ini adalah yang terburuk sejak aksi mahasiswa mengguncang dan melawan rejim militer tahun 1973, dengan puluhan korban jiwa dari pihak demonstran dan tentara.
Media serta pemerhati politik sering melabelkan people power dengan sebutan “color revolutions,” yang merujuk pada identitas warna kaos atau atribut yang dikenakan oleh massa gerakan tersebut. Uniknya, di Thailand, gelombang protes dilakukan silih berganti antara kaos merah dan kaos kuning sejak tahun 2005 lalu. Akibatnya, politik Thailand berada dalam pusaran gejolak politik berkepanjangan. Apa yang menyebabkan berulangnya episode contentious politics di Thailand? Bagaimana kita memahami rangkaian ini dalam bingkai politik elit dan gerakan rakyat? Tulisan ini akan mengulas faktor-faktor penyebab kisruh politik serta relevansinya dengan politik masyarakat sipil di Indonesia.
Akar Gejolak Politik
Aksi dibalas aksi menjadi langgam politik sehingga memicu konflik politik berkelanjutan. Setelah berjalan hampir dua tahun, gelombang protes People's Alliance for Democracy (PAD), koalisi yang sejak awal gencar mendongkel perdana menteri (PM) Thaksin Shinawatra, berujung pada ‘kebiasaan’ politik Thailand: kudeta militer yang terjadi pada September 2006. Jenderal Sonthi Boonyaratglin, mengambil alih pemerintahan Thai Rak Thai (TRT) pimpinan Thaksin. Setelah itu eskalasi politik memanas dan berganti gelombang aksi yang dilancarkan oleh pendukung Thaksin, yang merongrong pemerintahan junta militer. Krisis politik ternyata tidak berhenti setelah pemilu Desember 2007 yang digelar junta, dimana People’s Power Party (PPP) jelmaan TRT, memenangi pemilu secara mayoritas. PPP dibawah Samak Sundaravej, membentuk koalisi pemerintahan bersama beberapa partai lainnya. Gelombang protes kembali melanda Thailand. Aksi PAD bergelora dengan ikon "kaos kuning" menuntut PM Samak mundur. Suhu politik belum mendingin walau Mahkamah Agung Thailand telah menjatuhkan vonis menganulir status Samak sebagai PM dan pemerintahan kemudian berganti dengan koalisi partai demokrat di bawah PM Abhisit Vejjajiva.
Episode selanjutnya dapat ditebak. United Front for Democracy against Dictatorship (UDD) atau lebih dikenal dengan sebutan "red shirt," kembali menduduki daerah sekitar Lumpini square. Mereka menolak pemerintahan koalisi demokrat dan berujung pada "Sabtu kelabu" yang merenggut lebih dari 90 jiwa.
Sepintas, dalam benak publik di luar Thailand, konflik ini sering dipahami bermula dari skandal korupsi gurita bisnis Thaksin Shinawatra. Sebagaian menilai aksi-aksi ini sebagai bentuk kontestasi kaum reformis dan status quo. Gerakan kaos kuning acap diasosiasikan dengan kelas menengah Bangkok, yang menuntut penuntasan skandal korupsi dan clean politics. Sedangkan kaos merah ditengarai merupakan kelas bawah, umumnya petani, dari wilayah timur laut dan utara Thailand, yang merupakan daerah asal Thaksin. Tetapi ada juga yang menganalisanya sebagai pertentangan kelas (Callahan 2005).1 Saya sendiri berpendapat, rangkaian gejolak politik Thailand sangat terkait dengan proses politik pada dekade sebelumnya.
Ada dua argumen sentral yang disodorkan oleh beberapa ahli politik Thailand dan Asia Tenggara, dalam menganalisa rangkaian gejolak politik ini. Yang pertama, analisis bahwa reformasi politik Thailand di pertengahan 90an sampai puncaknya saat krisis ekonomi 1997 ironisnya berujung pada krisis politik (Callahan 2005, Kuhonta 2008, Prasirtsuk 2007). Pandangan kedua adalah pertarungan kekuatan antara “old capital”, segitiga monarki-militer-kapitalis birokrat, dan “new capital”, di antaranya business-politician (seperti Thaksin) dan pengusaha pribumi nasional (Hewison 2005, Prasirtsuk 2007). Konflik juga dipicu oleh ketimpangan pembangunan eonomi di Thailand (Glassman 2010). Tulisan ini merangkum kedua analisis di atas sebagai dimensi yang bertautan dalam memahami akar dari krisis politik Thailand.
Reformasi Politik
Kembalinya rejim pemerintahan sipil pasca demonstrasi berdarah Mei 1992, yang memaksa militer mundur dari panggung politik, justru menghadirkan “species” baru dalam politik Thailand, yakni “species” politico-business yang menggantikan bureaucratic polity, yang selama puluhan tahun bercokol dalam nadi politik Thailand. Munculnya politico-business ini mengubah wajah perpolitikan negeri Gajah Putih itu. Para politikus sipil bertumpu pada basis-basis konstituen dalam jaringan patronase yang dikendalikan oleh local strongmen serta jao pho dengan sokongan pengusaha lokal (Callahan 2005, Prasirtsuk 2007). Dengan sistem pemilihan majoritarian (istilah popular di Indonesia adalah sistem distrik), para politikus ini menancapkan dominasinya. Praktek vote-buying (perdagangan suara) tidak saja menjadi marak tetapi juga menjadi instrumen sentral dalam pemenangan pemilu.
Di parlemen pun, pakem berubah. Sebelumnya politik parlemen diselenggarakan berdasarkan kendali rejim militer dan birokrat, dimana parpol dan politikus sekadar menjadi figuran dalam kancah politik. Pasca rejim militer, politikus adalah pemain utama. Partai politik kehilangan soliditas dan kontrol atas politikus. Dinamika parlemen lebih berdasarkan kaukus kedaerahan maupun sektoral lintas partai. Pemerintahan dan anggota kabinet ditentukan oleh kaukus dan faksi-faksi di parlemen. Persaingan antar kaukus politik mengakibatkan pemerintahan tidak stabil. Kelompok-kelompok politik saling jegal demi menjadi anggota kabinet pemerintahan, sebagai jalur cepat memperoleh rente. Satu-satunya cara menjaga pemerintah dari mosi tak percaya parlemen adalah dengan mengangkat pentolan kaukus sebagai menteri maupun posisi strategis lainnya ataupun melalui transaksi “beli-putus” (Kuhonta 2008, Ockey 1994).
Wajah politik inilah yang memicu kegusaran para pemerhati politik, akademisi serta kelas menengah di Bangkok. Kegundahan melihat korupsi yang melilit penyelengaraan pemerintahan, pembangunan yang dipenuhi perkoncoan, serta perdagangan suara di pedesaan (khususnya daerah utara Thailand), memicu munculnya desakan reformasi politik dari kelas menengah Bangkok (termasuk wilayah Bangkok Metropolitan Region/BMR). Meluasnya kegusaran itu memaksa pemerintahan PM Chuan Leekpai, membentuk Democracy Development Committee (DDC). Tujuannya menyusun grand design reformasi tatanan politik Thailand. Lembaga ini diketuai oleh Dr. Prawase Wasi2 (Kuhonta 2008, Prasirtsuk 2007). Rekomendasi dari DDC kemudian diadopsi oleh Constitution Drafting Assembly (DCA), dengan mereformasi sistem politik Thailand yang bertujuan untuk memastikan mekanisme check and balance berjalan, penguatan parpol, menghilangkan dominasi birokrasi (termasuk militer) serta mengamputasi praktek korupsi yang dituangkan pada “Konstitusi Rakyat” 1997 (Kuhonta 2008).
Satu poin penting adalah mereformasi partai politik dan memperkuat basis politik pemerintahan. Sistem pemilu dalam Konstitusi Rakyat diubah menjadi mixed system yakni majoritarian dan party-list (proportional) serta lima persen electoral threshold. Juga dibuat aturan yang mensyaratkan calon legislatif (caleg) harus menjadi anggota parpol minimal 90 hari sebelum dinominasikan sebagai peserta pemilu. Tujuannya jelas untuk mencegah politikus lompat pagar ke parpol yang dinilai akan memenangi pemilu (Kuhonta 2008). Selain itu, parpol juga memiliki hak menentukan penempatan anggota dewan pada badan-badan kelengkapan parlemen, yang mana “hak prerogatif” ini tadinya dipegang oleh para penguasa kaukus (Prasirtsuk 2007).
Untuk memastikan berjalannya checks and balances, konstitusi menghadirkan dua perangkat. Yang pertama adalah Senat, yang berfungsi untuk “menilai” produk perundangan dari parlemen. Para senator ini adalah calon perseorangan non partai yang dipilih dari tiap provinsi, mirip DPD di Indonesia. Perangkat kedua adalah kehadiran beberapa lembaga state auxiliary seperti KPU, National Counter Corruption Commission (NCCC), Mahkamah Konstitusi serta PTUN. Lebih jauh, publik bisa menggunakan petisi yang ditandatangani oleh sekurangnya 50 ribu orang dan diserahkan pada NCCC untuk mencopot pejabat tinggi maupun politisi yang dinilai bermasalah.
Terobosan lainnya adalah pengangkatan menteri. Jika sebelumnya anggota parlemen yang didukung oleh kaukus maupun faksi tertentu bisa menjadi menteri, maka dalam tatanan baru, pengangkatan menteri sepenuhnya berada di tangan Perdana Menteri. Menteri kabinet dipilih dari anggota parlemen yang kemudian harus meletakkan jabatan di lembaga legislatif.3 Tujuannya untuk memisahkan kaitan antara eksekutif dan legislatif, sehingga menguatkan pemerintah agar tidak dengan mudah bisa digoyang oleh mosi maupun tuntutan dari kaukus dan faksi-faksi di parlemen (Kuhonta 2008, Prasirtsuk 2007). Alasan lain adalah memotong sumber finansial bagi para elit politik di kaukus. Tanpa menduduki jabatan di kabinet, maka politikus kehilangan akses atas dana publik dan privilege lain, sehingga mereka diyakini akan sulit mempertahankan hegemoni di daerah pemilihannya (Glassman 2010, Ockey 2007, Hewison 2004).
Poin berikutnya adalah untuk memotong pengaruh birokrasi sebagai pemain politik. Birokrasi Thailand, semenjak tahun 1930an, merupakan pemain sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan (Riggs 1960). Kerjasama birokrasi dengan militer dan penguasa lokal membuat kekuasaan menjadi nyaris tak terbatas (Ockey 2007). Desentralisasi secara tidak langsung mengurangi peran birokrasi. Di lain pihak pengangkatan dan penempatan birokrasi berada di tangan perdana menteri melalui menteri-menteri kabinet. Politisasi birokrasi oleh politisi lokal serta anggota dewan menjadi berkurang, akan tetapi birokrasi kini sepenuhnya di bawah kendali Perdana Menteri (Prasirtsuk 2007).
Untuk menghilangkan perdagangan suara – yang dianggap sebagai musuh utama bagi demokrasi Thailand – maka serangkaian perubahan ditempuh. Pandangan mainstream dalam memahami fenomena vote-buying melihat pemilih, khususnya di pedesaan, tidak memahami esensi dari demokrasi elektoral serta terbelenggu dalam kendali patron. Dalam artikelnya yang berpengaruh, Anek Laothamatas – akademisi yang kemudian menjadi politikus – menganalisis bahwa pemilih di luar ‘Bangkok’ memiliki pemahaman lain akan demokrasi (Laothamatas 1996).
Pandangan ini menilai bahwa perdagangan suara secara sempit merupakan masalah hukum sehingga dalam penyusunan konstitusi, solusi dirancang melulu dengan pendekatan legal-teknis. Untuk mengatasinya, serangkaian regulasi diberlakukan dengan tujuan mempersempit ruang untuk transaksi suara. Instrumen lain adalah dengan menyelenggarakan pendidikan pemilih sehingga pemilih “paham” akan esensi pemilu. Pendekatan, yang dalam bahasa Callahan, sebagai constitutionalism ini tidak melihat akar masalah relasi politik-ekonomi yang membelenggu pemilih (Callahan 2005). Terpuruk dalam kemiskinan menyebabkan pemilih terhegemoni oleh patron sehingga tidak mengherankan jika suara mereka kerap diperjualbelikan.
Implikasi dari Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi memberi peluang pada kelompok bisnis yang mampu bertahan pasca krisis untuk mendominasi ranah ekonomi. Ditambah dengan reformsi politik, kelompok ini menemukan pintu masuk untuk memperluas dominasi termasuk ke ranah politik. Para taipan industri manufaktur ini berhasil melewati masa krisis, karena mendapatkan proteksi pemerintah serta relatif terbebas dari privatisasi dengan modal dari luar (Prasirtsuk 2007).
Paket kebijakan politik-ekonomi rezim Thaksin yang menentang kebijakan neo-liberal dengan memajukan kebijakan populis nasionalis. Thaksin memadukan proteksi ekonomi bagi kapitalis lokal dengan program-program populis dengan sasaran utama rakyat di pedesaan. Thaksin memberi insentif dan kemudahan bagi entrepreneur domestik untuk bersaing dengan kapitalis asing. Hanya saja, yang menikmati kemudahan tentu saja hanyalah kroni-kroninya (Hewison 2005, Prasirtsuk 2007). Contoh nyata adalah pemberian konsesi dan akses pada bank-bank pemerintah kepada para taipan yang bergerak di bidang telekomunikasi, media, otomotif serta transportasi (Prasirtsuk 2007).
Di lain pihak Thaksin ‘membiarkan’ privatisasi bank-bank swasta yang selama ini menjadi sumber modal bagi “old capital”. Bank seperti Bangkok bank, Thai Farmers bank, Thai Military bank, kini dikuasai oleh investor asing, umumnya dari Singapura. Dengan demikian, bank-bank ini tidak bisa lagi dengan mudah memberikan kredit ringan kepada perusahaan-perusahaan yang tergolong “old capital”. Selanjutnya pemerintah Thaksin pun tidak tergantung pada bank-bank swasta baik dalam pembiayaan pembangunan maupun untuk operasi politik, karena para taipan “new capital” mempunyai cukup modal untuk membiayai aktivitas politik mereka (Prasirtsuk 2007).
Thaksin juga merombak Southern Border Provinces Administration Center (SBPAC)4 selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Wilayah selatan Thailand dalam beberapa dasawarsa belakangan, selalu menjadi daerah rawan pergolakan akan tuntutan merdeka dari minoritas muslim. Perubahan SBPAC berdampak pada basis dukungan politik partai demokrat serta militer (Glassman 2010).5
Beragam program populis diimplementasikan rezim TRT, di antaranya pengobatan murah (30 bath), penghapusan hutang para petani, dana pembangunan pedesaan (1 juta bath per desa). Kebijakan populis ini ditujukan tidak hanya untuk meraih simpati pemilih pedesaan, tetapi juga untuk memotong pengaruh dan dominasi para penguasa lokal. Tanpa akses pada proyek-proyek pemerintah, para local boss ini kehilangan pengaruh dan mesin patronase mereka (Prasirtsuk 2007). Selain itu kampanye “war on drugs” ditujukan untuk melucuti kekuatan finansial para jao pho yang kerap bersinergi dengan local boss (Glassman 2010, Prasirtsuk 2007).
Upaya reformasi melalui perubahan tatanan politik Thailand tanpa disadari justru melahirkan rejim politik “baru” yang berujung pada konflik politik berkepanjangan. Para arsitek reformasi politik Thailand sepertinya terhenyak saat menyadari bahwa upaya mereka menghilangkan korupsi dan “politik uang” tidak saja membuat praktek penyimpangan ini beralih wujud (Callahan 2005, Prasirtsuk 2007), tetapi yang terpenting adalah munculnya rejim politik baru yang sangat kuat dan mengakar pada fondasi sosial-politik-ekonomi Thailand (Hewison 2005, Prasirtsuk 2007). Thaksin adalah satu-satunya Perdana Menteri dalam sejarah Thailand yang berhasil mempertahankan kekuasaan dan terpilih kembali dengan dukungan suara mayoritas. Kekuasaan menjadi terpusat di TRT dan Thaksin.
Pelajaran untuk Indonesia
Demokrasi Thailand, sebagaimana di Indonesia, baru sebatas arena pertarungan antar elit. Kisruh politik Thailand merupakan manifestasi dari perebutan kekuasaan antar kelompok elit – “old capital vs new capital”. Komponen kaos kuning terdiri dari aliansi monarki, militer, birokrasi, pengusaha serta kelas menengah Bangkok. Militer, birokrasi dan monarki merasa peran poliitk mereka terpinggirkan pasca pemberlakuan Konstitusi Rakyat. Kaum elit ini bersama dengan pengusaha6 (baik nasional maupun provinsi) kehilangan sumber dana untuk menunjang operasi politik serta bisnis mereka.
Akan tetapi, konflik antara kaos merah versus kaos kuning ini juga bisa dipandang sebagai pertentangan antara kelas bawah (petani, nelayan dan buruh perkotaan) menghadapi kelas menengah serta kelas elite. Menguatnya identitas dan solidaritas di antara simpatisan kaos merah merupakan kerja panjang dari beberapa elemen organisasi non pemerintah serta social movements. Eksponen yang terpenting adalah ‘Octobrists,’7 Assembly of the Poor (AOP) dan NGO-CORD. Kelompok inilah yang mendesain program-program populis dari rejim TRT serta mengaitkan mesin politik TRT dengan kantong-kantong massa di pedesaan dan perkotaan (Kitirianglap dan Hewison 2009, Tejapira 2006).
Dengan tawaran program-program populis, para pemilih pedesaan dan miskin kota memilih secara rasional platform dan program partai yang mereka anggap mewakili kepentingan masyarakat kelas bawah (Callahan 2005). Warga pedesaan di bagian utara Thailand, sejak awal 70an telah dianaktirikan oleh pembangunan yang melulu bertumpu pada industrialisasi di BMR. Sehingga tidak mengherankan, pada pemilu tahun 2005 (periode kedua Thaksin), TRT bisa meraup di atas 90 persen suara pemilih di wilayah utara dan timur laut. Dan yang mencengangkan, perolehan suara di atas 80 persen di daerah BMR dan bagian tengah Thailand dengan seperangkat kebijakan populisnya (Glassman 2010). Begitu pun saat demonstrasi, kaos merah didukung oleh para petani dari utara serta kaum miskin kota di Bangkok. Fenomena mulai mengkristalnya identitas kelas dalam politik Thailand tidak terlepas dari peran aktivis gerakan sosial.
Sayangnya gerakan dari sebagian civil society ini tidak dibarengi dengan kelas menengah Bangkok. Mereka inilah yang justru mendukung reformasi politik yang berujung pada konflik poliitk yang berkepanjangan serta mendukung “old capital”. Kelas menengah ini, yang tidak sabar ingin menghadirkan clean politics, justru secara tidak sadar mendukung politik usang yang juga sarat dengan penyimpangan. Harapan dari kasus Thailand adalah kelas menengah dan masyarkat sipil di Indonesia, mampu melihat peluang perubahan untuk mentransformasikan relasi politik dan ekonomi secara fundamental.***
Catatan Kaki:
1Salah satu yang menyoroti dari sudut pandang ini adalah Giles Unpakorn, pelarian politik yang menetap di Inggris. Liat http://www.youtube.com/watch?v=Bx9vP12-4o0&feature=related
2Menurut Erik Martinez Kuhonta, Prawase Wasi merupakan intelektual yang dekat dengan kerajaan dan memiliki pandangan politiik konservatif.
3Thaksin mengangkat semua anggota kabinet pada masa pemerintahan pertamanya dari anggota parlemen yang dipilih melalui party-list system. Bahkan pada periode kedua, 27 dari 35 anggota cabinet bukan berasal dari anggota parlemen.
4Semacam otorita khusus yang menaungi wilayah Thailand bagian selatan.
5Jendral Sonthi yang memimpin kudeta merupakan panglima keamanan wilayah Thailand selatan. Militer Thailand ditenggarai menikmati keuntugnan dari konflik bersenjata berkepanjangan. Selain itu, wilayah Thailand selatan selama puluhan tahun merupakan basis partai democrat yang merupakan partai oposisi terbesar dari TRT.
6Sondhi Limthongkul tokoh kontroversial anggota Presidium PAD mulanya adalah kroni dan kawan Thaksin. Kabarnya, bisnis Manager Group Sondhi dililit hutang, tapi Thaksin tidak membantunya. Ujungnya mereka pecah kongsi.
7Octobrists adalah kelompok yang disegani dalam lingkup gerakan social di Thailand. Mereka merupakan ‘veteran’ aktivis mahasiswa yang memberontak melawan rejim militer tahun 1973 dan memilih lari ke hutan dan bergabung dengan gerilyawan komunis. Untuk detilnya liat Tejapira (2006). Keterlibatan kelompok-kelompok masyarkat sipil dan gerakan social secara detil dapat dilihat di Kitirianglap dan Hewison (2009).
Kepustakaan:
Glassman, Jim (2010). The Provinces Elect Governments, Bangkok Overthrows Them: Urbanity, Class, and Post-Democracy in Thailand. Urban Studies 47, Issue 6.
Hewison, Kevin (2005). Neo-liberal and Domestic Capital: the Political Outcomes of the Economic crisis in Thailand. Journal of Development Studies 41, Issue 2.
Kitirianglap, Kengkij and Kevin Hewison (2009). Social Movements and Political Opposition in Contemporary Thailand. The Pacific Review 22, No. 4.
Kuhonta, Erik Martinez (2008). The Paradox of Thailand’s 1997 “People’s Constitution”. Asian Survey 48, Issue 3.
Laothamatas, Anek (1996). A Tale of Two Democracies: Conflicting Perceptions of Elections and Democracy in Taylor, R. (ed) Thailand, The Politics of Elections in Southeast Asia. Cambridge University Press, Cambridge.
Ockey, James (1994). Political parties, Factions and Corruption in Thailand. Modern Asian Studies 28, No. 2.
Ockey, James (2004). State, Bureaucracy and Polity in Modern Thai Politics. Journal of Contemporary Asia 34, Issue 2.
Prasirtsuk, Kitti (2007). From Political Reform and Economic Crisis to Coup D’etat in Thailand: The Twists and Turns of the Political Economy, 1997-2006. Asian Survey 47, Issue 6.
Riggs, Fred (1966). Thailand: The Modernization of a Bureaucratic Polity. Honolulu: East-West Center.
Tejapira, Kasian (2006). Toppling Thaksin. New Left Review 39, Issue May-June.