RESENSI BUKU
Jay Akbar
Wartawan majalah Historia
SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius berkata, “Jawa adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”, “Kita tak boleh terlambat…!”
Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa dalam film berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI. Melalui film itu, Syu’bah berhasil menciptakan bayang-bayang di pikiran masyarakat tentang sosok Aidit: lelaki jahat penuh muslihat, haus kekuasaan, dan dengan dingin memerintahkan pembunuhan para jenderal.
Tapi itu dulu saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika tafsir sejarah tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik penguasa. Pasca gerakan reformasi 1998, yang diikuti dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat mempertanyakan kebenaran tafsir itu. Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia bermunculan. Tak terkecuali tentang Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzzaman, yang coba ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Liputan Khusus majalah itu.
Masa kecil dan muda Aidit tidaklah semengerikan yang digambarkan Orde Baru. Dia lahir di Belitung, Sumatra Selatan, pada 30 Juli 1923 dengan nama Achmad Aidit, dari keluarga terpandang dan berada. Achmad dikenang sebagai sosok abang yang pelindung. Di kampung, Achmad muda dikenal pandai bergaul dan jago berenang. Pun, seperti kebanyakan pemuda Belitung seusianya, dia rajin mengaji. Achmad bahkan terkenal sebagai tukang azan.
Garis politik Achmad terbentuk sejak dia rajin bergaul dengan buruh-buruh Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, perusahaan timah milik Belanda, yang letaknya sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya. Tapi karier politiknya baru dimulai saat dia bergabung dengan Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan pemuda yang dimotori oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Kecerdasan dan keluwesan Achmad segera membawanya menjadi ketua umum Pertimu. Di saat aktivitas politiknya menanjak cepat itulah Achmad Aidit mengganti nama depannya menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Menjelang proklamasi, Aidit yang tergabung dalam kelompok pemuda Asrama Mahasiswa Menteng 31, terlibat dalam aksi heroik penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Semangat revolusi Aidit membuncah ketika Musso datang dari Rusia. Baginya, kehadiran Musso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi. Selang waktu sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, pecah Peristiwa Madiun 1948. Aidit buron. Kabar tersiar dia kabur ke Vietnam Utara. Ada pula yang mengatakan dia hanya modar-mandir Jakarta-Medan.
Dua tahun kemudian Aidit muncul lagi. Bersama Njoto dan Lukman, dia mengkonsolidasikan kekuatan partai yang sempat limbung dan terpecah-belah. Dalam waktu cepat, “trisula” ini berhasil mengembalikan kebesaran partai. Tahun 1954 Aidit mengambil-alih kepemimpinan dari kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta membawa PKI menjadi partai terbesar keempat dalam pemilu 1955.
Aidit bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Dia punya teori sendiri tentang Revolusi. Baginya, revolusi bisa berhasil jika disokong setidaknya 30 persen kekuatan tentara. Tapi teorinya meleset. Gerakan 30 September 1965 yang dia rencanakan gagal. Aidit tutup buku dengan cara tragis: di Solo tentara menangkapnya dan menghujaninya dengan satu magazin peluru kalashnikov.
Njoto berbeda dengan kebanyakan orang komunis. Penampilannya necis. Jiwa seninya cenderung melankolis. Meski akrab dengan pemikiran Marxis dan Leninis, Njoto tak menganggap “kapitalis” harus selalu dimusuhi. Dia belajar politik secara sembunyi-sembunyi. Keluarganya nyaris tak mengetahuinya.
Petualangan politik Njoto dimulai ketika terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember. Sampai suatu hari muncul berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, sebagai wakil ketua PKI Banyuwangi.
Njoto berkenalan dengan Aidit dan Lukman di Yoyakarta. Kesamaan ideologi membuat ketiganya cepat akrab. Njoto menjabat wakil Sekjen II lalu wakil ketua II CC PKI. Dalam prahara 30 September 1965, banyak orang tak percaya keterlibatan Njoto. John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal menulis, “Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis.” Aidit menganggap Njoto lebih Sukarnois ketimbang komunis. Sementara wartawan senior Joesoef Isak menganggap ketidaksenangan Aidit terhadap Njoto karena Njoto, yang telah beristri, memiliki kekasih, seorang perempuan asal Rusia. Bagi Aidit, perbuatan Njoto tak etis dan mengganggu citra partai. Joesoef Isak menambahkan, sejak 1964 Njoto sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai.
Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika gerakan itu: “Apakah premis Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d’etat?”
Di mata anak-anaknya, Njoto dikenal sebagai sosok ayah penyayang. Di waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem atau berpakansi ke pantai. Kebahagiaan keluarga ini sirna pascaperistiwa 1965. Njoto jadi pelarian. Kabar tersiar dia ditangkap tentara dan kemudian dieksekusi mati. Sayang, keluarga Njoto tak pernah tahu jasad atau makamnya.
Tokoh PKI lain yang kerap disangkutpautkan dalam peristiwa 1965 adalah Sjam Kamaruzzaman. Sjam lelaki misterius asal Tuban, Jawa Timur. Polisi militer mencatat setidaknya terdapat lima nama alias yang dimiliki Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Moechtar, Ali Sastra, dan Karman. Sjam merupakan mozaik penting dalam prahara itu. Tapi kisah hidup Sjam lebih mirip mitos ketimbang sejarah. Bahkan banyak petinggi PKI tak tahu siapa dirinya.
Aidit mengenal Sjam ketika keduanya aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok tahun 1949. Ketika pada 1964 istri Sjam meninggal akibat tifus, Aidit makin dekat dengan Sjam. Dia meminta Sjam mengetuai sebuah organisasi rahasia PKI, yang disebut Biro Khusus. Tugas Biro Khusus mempengaruhi dan mengurus kelompok tentara yang berhaluan kiri.
Dalam operasi G30S, Aidit kurang korektif dengan laporan Sjam yang kerap tak akurat. Satu batalyon Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara yang direncanakan datang, tak pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun tak pernah ada. Dan Bung Karno, yang digadang-gadang sebagai dalil aksi, juga menolak untuk menyetujuinya. Operasi itu dapat dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam.
Kurang lebih dua tahun Sjam menjadi pelarian dengan melakukan penyamaran dari satu kota ke kota lainnya. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 9 Maret 1967, di tempat persembunyian di Cimahi, Jawa Barat. Di penjara, Sjam dikabarkan menjadi informan tentara untuk membocorkan siapa saja anggota militer yang memiliki kaitan dengan PKI.
Sama seperti Njoto, akhir riwayat Sjam tak pernah jelas. Menurut sebuah versi, Sjam dieksekusi mati pada September 1986 di Kepulauan Seribu. Tapi toh keluarga Sjam tetap tak mengetahui kebenaran versi ini.
Kisah Aidit, Njoto, dan Sjam dalam buku ini menunjukan kepada kita bahwa perjalanan hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah tidaklah bisa ditempatkan secara hitam dan putih. Dan terlepas dari segala misteri serta kontroversi yang menyelimuti ketiganya, agaknya tokoh-tokoh kiri ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”***