Krisis dan Kelas

ANALISA EKONOMI POLITIK
Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada


JURNAL Socialist Register edisi 2011, memilih judul “The Crisis This Time”, menanggapi krisis kapitalisme yang meledak di Amerika Serikat (AS) tahun 2007 dan efek bola saljunya ke belahan dunia lain hingga sekarang.1 Leo Panitch dan Sam Gindin,2 dalam pengantar untuk jurnal itu membawa pembaca mengingat peristiwa lebih 150 tahun lalu di New York. Saat itu, bangkrutnya “Ohio Life Insurance Company” menjadi pemicu “Krisis Besar 1857-8.”

Ketika itu, seperti diingatkan Panitch dan Gindin, Karl Marx berusaha mengerti krisis tersebut dan tiba pada kesimpulan bahwa pemulihan krisis kemungkinan akan dilakukan melalui konsolidasi kapital. Di antaranya dengan ekspor kapital dari Eropa ke wilayah-wilayah koloni, khususnya dalam kasus ini adalah industri-industri Inggris yang merajai akumulasi kapital secara global saat itu. Langkah ini memungkinkan akumulasi kapital kembali ke jalannya, tetapi dalam waktu yang sama akan kembali menciptakan kontradiksi dalam sistem ini. Krisis akan datang lagi.3 Marx benar, hanya dalam beberapa dekade setelah kematiannya krisis berulang, pada 1890an, 1907, dan akhir 1920an/1930an.

Seperti kita saksikan, setiap momen krisis, segera diikuti dengan usaha kelas kapitalis memulihkan siklus akumulasi berdasarkan kepentingan kelasnya. Perang Dunia II di antara kekuatan-kekuatan imperialis adalah solusi terhadap Depresi Besar pada dekade 1930an. Krisis 1970, segera dijawab dengan pengenalan neoliberalisme,4 sebuah sistem akumulasi global yang progresif, menggusur ideologi dominan sebelumnya, “negara kesejahteraan Keynesian”. Krisis akhir 1990an di Asia Timur diselesaikan dengan neoliberalisasi tuntas terhadap negeri-negeri di kawasan itu, mengganti spesies “kapitalisme kroni” yang sebelumnya merajai.

Kita juga melihat, setiap solusi krisis kelas kapitalis selalu mengorbankan masyarakat dengan latar belakang beragam. Jawaban krisis abad 19 dengan ekspor kapital ke wilayah-wilayah koloni, memakan korban warga di negeri jajahan baik melalui perampasan harta milik (tanah, hutan) untuk dikonversi ke dalam kapital, eksploitasi buruh murah, dan kekerasan militer yang mendahului atau menyertainya. Krisis-krisis dalam 40 tahun terakhir menelan korban yang sama. Pertama adalah kelas pekerja, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga meningkatnya tingkat eksploitasi, terutama karena regulasi-regulasi baru berbasis fleksibilitas pasar. Kedua, inkorporasi dan penghancuran kelompok-kelompok masyarakat yang belum terserap ke dalam hubungan produksi kapitalis. Misalnya, liberalisasi intensif dalam pengerukan sumber daya alam memberi kemudahan inudustri-industri kapital merampas tanah-tanah pertanian milik petani-petani subsisten atau produsen-produsen kecil independen, atau hutan-hutan di mana masyarakat adat menggantungkan penghidupannya. Ketiga, efek-efek domino krisis melabrak segi-segi kemasyarakatan lain, misalnya, soal identitas. Resesi yang melanda Eropa tahun lalu, memicu meningkatnya kekerasan terhadap para migran (termasuk berdalih agama). Padahal tenaga kerja murah para migran menyumbang pertumbuhan ekonomi di kawasan itu.5 Di AS, orang-orang berkulit hitam paling tertimpa musibah dari krisis 2007. Sebuah laporan menyebutkan, jumlah warga kulit hitam yang terancam kehilangan rumah dua kali lipat lebih banyak dibanding warga kulit putih.6 Pendek kata, krisis dan penyelesaiannya menjadi contoh sesungguhnya dari perang kelas yang tidak seimbang: kelas kapitalis menghukum dalam-dalam kelas-kelas yang diopresinya.

Kelas

David McNally,7 dalam buku terbarunya Global Slump: the economics of politics of crisis and resistance, mengulas beragam resistensi besar-besaran terhadap kapitalisme dari seluruh belahan dunia menyusul krisis terbaru. Serangan balik terhadap kelas kapitalis ini berwujud tuntutan-tuntutan dari yang bersifat reform hingga smash terhadap sistem ini. Tentu saja, resistensi-resistensi ini adalah kelanjutan dari tendensi kian menguatnya gerakan-gerakan anti-kapitalisme berskala global dalam dua dekade terakhir.

Kendati kita juga bisa mencatat gerakan-gerakan itu tidak homogen secara ideologis. Alex Callinicos8 memetakan enam tendensi gerakan anti-kapitalisme saat ini. Pertama, anti-kapitalisme reaksioner, utamanya ditandai dengan kemunculan gerakan-gerakan fasis di Eropa dan kelompok kanan paling ekstrim di AS. Tergolong kelompok ini juga adalah apa yang disebut Georgy Lukacs “Romantic anti-capitalism”, di antaranya dengan bernostalgia mengidealisasi masa lalu sebelum kapitalisme; kedua, anti-kapitalisme borjuis, yang memandang bahwa klaim neoliberal tentang pasar dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat, tetapi juga harus diikuti dengan sikap responsif terhadap tuntutan masyarakat sipil; ketiga, anti-kapitalis lokalis yang membela gagasan tentang sebuah model ekonomi pasar yang terdesentralisasi. Mereka mementingkan pengembangan hubungan-hubungan berskala mikro yang adil antara pelaku pasar, dimulai dari para produser komoditi melalui mekanisme distribusi alternatif hingga tiba kepada para konsumen yang secara sosial saling mengenal; keempat, anti-kapitalisme reformis yang menekankan pentingnya kapitalisme yang dikendalikan, baik melalui negara maupun institusi-institusi global, agar supaya sistem ini menjadi lebih manusiawi; kelima, anti-kapitalis otonomis yang mengandalkan aksi-aksi protes yang melibatkan banyak grup independen berbasis pada konsensus temporal di antara mereka. Tony Negri dan Naomi Klein tergolong ke dalam kelompok ini; terakhir, anti-kapitalisme sosialis, yang kendati bervariasi, tetapi pada prinsipnya melihat sosialisme sebagai alternatif terhadap kapitalisme.

Saya menganggap gerakan anti-kapitalisme, pertama dan terutama, harus dikembalikan kepada kepentingan kelas-kelas yang teropresi oleh sistem ini. Karena kapitalisme adalah sistem eksploitasi, maka gerakan anti-kapitalisme yang paling logik dari segi kepentingan kelas-kelas teropresi adalah gerakan yang berorientasi pada penggantian sistem ini.

Pengertian kelas teropresi di sini bukan sekedar kelas pekerja dalam hubungan dengan kelas kapitalis. Sebagai sistem dengan skala spasial berlapis-lapis, maka variasi-variasi kelas dalam sistem ini tidak bisa dihindari. Di lapis pertama dan merupakan intinya, adalah hubungan antara kelas pekerja dan kapitalis. Tetapi reproduksi kapital melalui ekspansi atau reinvestasi membentuk hubungan-hubungan kelas yang rumit. Persentuhan dengan masyarakat non-kapitalis, misalnya, ketika bahan baku harus dikeruk dari perut bumi, membawa kemungkinan konfigurasi relasi kelas yang tidak hitam putih. Oleh karena itu, kritik terhadap kapitalisme bukan sebatas tentang soal kelas pekerja berhadapan dengan kelas kapitalis. Bahwa hubungan antara kedua kelas itu merupakan esensi dari sistem ini, tidak serta-merta meniadakan kelas-kelas lain. Penjelasan dialektiknya, kapitalisme sebagai produksi dan reproduksi hubungan pekerja dengan kapitalis merupakan necessity. Dengan kata lain, tidak ada kapitalisme tanpa kedua kelas itu.

Tetapi, reproduksi kapital memunculkan contingency struktur kelas yang kaya. Ekspansi kapital ke wilayah-wilayah di mana hubungan produksi kapitalis belum berkembang atau lemah, maka kemungkinan muncul hubungan antara kapital dengan petani-petani, masyarakat adat, dan produsen independen yang kehilangan tanah, entah dialihkan menjadi industri manufaktur, pertambangan, perkebunan, perhotelan, mall, dan sebagainya. Dari proses akumulasi primitif semacam ini, sebagian di antara warga itu bisa saja terserap menjadi kelas pekerja. Tetapi sebagian lain mungkin bertahan dengan lahan yang lebih sempit dan meneruskan usaha pertaniannya, dan seringkali dihadapkan dengan konflik-konflik susulan, mungkin soal tanah, lingkungan hidup, atau yang berkarakter sosio-kultural (agama dan suku). Sebagian mungkin bermigrasi ke kota atau tempat lain, dan kalau beruntung menjadi pekerja industri atau sekurang-kurangnya menjadi pekerja di sektor informal. Yang terakhir ini paling rentan, setiap saat bisa ditendang, karena harus tunduk kepada logik spasial kapital yang garang. Sebagian lagi terpaksa menjadi tukang copet, pekerja seks komersial, pengemis, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandalkan otot atau tipu muslihat. Sebuah daftar lebih panjang bisa disodorkan.

Intinya, apapun bentuk kelas yang bersifat contingency, perlu dilihat alur perkembangannya dalam hubungan dengan reproduksi kapital secara luas. Disebut contingency, karena beda tempat, beda negara, beda provinsi, beda kota, beda pulau, tergantung tingkat kemajuan dan perkembangan kapitalismenya, memunculkan variasi-variasi kelas.

Karena kelas-kelas itu dieksploitasi dan diopresi melalui produksi dan reproduksi kapital dengan satu dan lain cara, maka kebutuhan aliansi menjadi mungkin, kalau tidak ingin menyatakan sentral. Dan dalam waktu yang sama aliansi ini otomatis bersifat spasial: antar kota, antar provinsi, antar pulau dan bahkan antar negara. Begitulah konstruksi gerakan anti-kapitalisme berlandaskan aliansi kelas-kelas teropresi.

Pelajaran-pelajaran teoritik dan praksis aliansi kelas sekaligus aliansi spasial bisa ditelusuri melalui literatur-literatur klasik. Misalnya, saat Antonio Gramsci9 menulis tentang the Southearn Qustion, dia menunjukkan perkembangan kapitalisme di Italia yang terbelah secara spasial antara Utara yang maju secara industri dan Selatan yang terkebelakang berbasis pertanian. Di Utara yang dominan adalah kelas pekerja, di Selatan para petani. Ketika Lenin menulis the Development of Capitalism in Russia, dia melihat hal berbeda dengan kapitalisme di Inggris seperti ditulis Marx. Tetapi, perbedaan itu, bukan soal necessity yang secara teoritik baik Gramsci dan Lenin mengikuti Marx. Perbedaan-perbedaannya bersifat contingency, karena keunikan-keunikan sejarah dari masing-masing wilayah. Konsekwensinya ketika mengajukan jalan keluar terhadap kapitalisme, baik Gramsci maupun Lenin tidak berbeda, sama-sama menganggap penting aliansi kelas yang lebih luas. Kaum buruh, kaum tani, dan kaum-kaum lain yang dirugikan secara langsung maupun tidak langsung oleh kapital harus bahu-membahu dalam aliansi.

Pelajaran

Di Indonesia, sejak dari krisis 1997/98, dua pelajaran penting bisa dilihat. Pertama, kemenangan kaum borjuis dalam menohok sistem kapitalisme yang tidak efisien, dan menggantikannya dengan kapitalisme-neoliberal yang efisien. Di bawah sistem semacam ini, politik dilokalisir sebagai arena kompetisi elektoral antara aneka fraksi – dengan memanipulasi ilusi nasionalisme, agama, suku, bahkan feodalisme – tetapi mengabdi kepada kapital. Pemerintahan pro-pasar yang terbentuk berlomba bertarung dengan negara-negara tetangga atau negara di level yang sama untuk menggunting hambatan-hambatan investasi agar supaya integrasi spasial ke dalam rejim akumulasi global berjalan mulus. Tidak saja pemerintahan pusat, tetapi juga buah dari desentralisasi – yang difasilitasi mesin kapital global, Bank Dunia – memunculkan kompetisi antar pemerintah daerah untuk mengeliminasi semua hambatan investasi di daerahnya masing-masing. Jangan heran para bupati/walikota/gubernur, termasuk dari daerah paling terkebelakang rame-rame pesiar ke Singapura dengan membawa sanak keluarga, dengan dalih mencari investor.

Walhasil seperti terlihat, negeri ini menjadi surga bagi kapital. Mingguan ekonomi pro-pasar terkemuka the Economist melaporkan, Indonesia menjadi negara paling punya prospek dalam pertumbuhan investasi. Tetapi, ongkos juga berat. Pemogokan-pemogokan dan aneka ekspresi ketidak-puasan kelas pekerja terjadi di mana-mana. Intensitas konflik-konflik berbasis sumber daya alam antara kapital dan petani atau masyarakat adat melalui perampasan-perampasan tanah secara paksa terus terjadi. Dampak-dampak sosio-ekologis kegiatan-kegiatan keruk sumber daya alam terhadap petani atau produsen independen juga meningkat, mulai dari pencemaran air, udara, hingga banjir yang melumpuhkan mereka. Di daerah perkotaan, serangan terhadap sektor-sektor informal, bisa dilakukan sewaktu-waktu. Bahkan juga sektor-sektor usaha formal dengan permodalan kecil dan menengah terpaksa jatuh bangun menghadapi kapital besar berbendera nasional dan transnasional, karena kalah bersaing.

Kedua, resistensi terhadap daya rusak kapitalisme/neoliberalisme muncul di mana-mana selama belasan tahun terakhir, baik secara terisolasi oleh kelas pekerja, petani, masyarakat adat, produsen-produsen independen lainnya, atau melalui aliansi-aliansi kelas lebih luas dengan aktor beragam. Juga resistensi terhadap kapitalisme/neoliberalisme diartikulasikan melalui isu-isu seperti akses pendidikan dan kesehatan murah, pengrusakan lingkungan, privatisasi, perdagangan bebas, dan lain-lain. Secara dialektik, di hari-hari mendatang resisteni-resistensi akan terus terjadi dan meningkat menyusul arus maju ekspansi kapital.

Tetapi, tampaknya sebuah aliansi kelas yang lebih luas dan maju tidak mudah didesak ke depan. Salah satu penyebabnya karena resistensi-resistensi itu heterogen secara ideologi. Merujuk ke Alex Callinicos, saya mengira tiga kecenderungan ideologi ada di sini: anti-kapitalisme borjuis, anti-kapitalisme reformis, dan anti-kapitalisme sosialis. Bahkan anti-kapitalisme reaksioner juga ada, misalnya, kelompok-kelompok fundamentalisme agama yang mengumbar semangat anti-Barat dan para penganut teori konspirasi yang memandang kapitalisme global sebagai perkara “lobi Yahudi”***

Kepustakaan:

1 Penjelasan krisis terbaru dari teoritisi Marxist bisa juga lihat Callinicos, A. (2010), Bonfire of Illusions: the twin crises of the liberal world, Cambridge: Polity; Harvey, D. (2010), the Enigma of Capital and the Crises of Capitalism, Oxford, New York: Oxford University Press; Harman, C. (2009), Zombie Capitalism: Global crisis and the relevance of Marx, Chicago, Illinois: Haymarket Books .

2Panitch, L. & Gindin, S. (2010) Capitalist Crises and the Crisis This Time, dalam Panitch, L. Albo, G., Chibber, V. (editors) the Crisis This Time, Socialist Register 2011, London, New York, Halifax: the Merlin Press, Monthly Review Press, Fernwood Publishing.

3Teori Marx tentang krisis kapitalisme secara panjang lebar diuraikan di Marx, K. (1993) Capital volume III, London, New York: Penguin Books.

4Tulisan mendalam soal ini ditulis Dumenil, G. & Levy, D. (2004) Capital Resurgent: Roots of the neoliberal revolution, Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press.

5Ghosh, J. (2010) Racism and Recession in Europe. Bisa diakses melalui: http://www.fpif.org/articles/racism_and_recession_in_europe. Diakses pada 9 Januari 2011.

6Taylor, KY, (2010) Black America's economic freefall. Bisa diakses melalui: http://socialistworker.org/2010/01/08/freefall-in-black-america. Diakses pada 9 Januari 2011.

7McNally, D. (2011) Global Slump: the economics and politics of crisis and resistance, Oakland: Merlin Press.

8Callinicos, A. (2003) An Anti-capitalist Manifesto, Cambridge: Polity Press.

9Gramsci, A. (1957), the Modern Prince & other writings, New York: International Publishers.