Fasisme Religius

ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York


KEKERASAN berlatar sektarian, tampaknya merupakan peristiwa politik paling menyita publik di Indonesia, dalam rentang lima tahun terakhir. Walaupun, jika ditilik lebih ke belakang, kekerasan sektarian ini kembali mengemuka setelah runtuhnya rejim Orde Baru.

Sebelumnya, tipe kekerasan yang dominan adalah yang berlatar-belakang ekonomi-politik, serta kriminalitas biasa. Kekerasan sektarian bukan tak ada, tapi lebih bersifat temporal, ketimbang kekerasan belakangan ini yang tampaknya lebih sistematis dengan agenda politik yang terukur. Dari gerakan dan tuntutan yang tampak pada pelaku kekerasan sektarian ini, kita temukan ciri-ciri berikut: gerakannya mengambil bentuk mobilisasi massa di jalanan; anti pluralisme, anti demokrasi, anti liberalisme, anti komunisme, dan percaya pada keagungan sistem dan nilai-nilai sosial masa lalu; massa yang dimobilisasi terutama berasal dari kalangan rakyat miskin.

Bagaimana kita menjelaskan fenomena kekerasan sektarian atau disebut juga Fasisme-religus di era yang diklaim sebagai demokratis ini? Mengapa dalam sistem politik yang relatif terbuka dan kompetitif seperti sekarang, kekerasan sektarian ini terus berlangsung? Untuk menjawab soal ini, saya ingin mengutip studi sejarah dari sejarawan kondang asal Inggris, Eric Hobsbawn, dalam bukunya “The Age of Extremes A History of the World, 1914-19” (1994). Dalam bab 4 “The Fall of Liberalism”, Hobsbawn mengurai cerita yang menarik seputar kebangkitan fasisme di Italia dan Jerman: mengapa fasisme bisa muncul dan menguat, apa agenda politiknya, siapa basis sosial pendukungnya, dan siapa saja kawan aliansinya.

Latar belakang

1914, Eropa memasuki era yang disebut Hobsbawn sebagai “The Age of Catastrophe.” Era ini ditandai oleh (1) Perang Dunia I yang menghancurkan: (2) meletusnya revolusi sosial di Rusia yang dipimpin oleh kaum Bolshevik; dan (3) runtuhnya nilai-nilai dan lembaga-lembaga peradaban liberal yang ditandai oleh munculnya kalangan ekstrim kanan, khususnya fasisme di atas reruntuhan puing-puing hasil PD I. Hobsbawn mencirikan nilai-nilai dan institusi-institusi liberal itu dengan kebebasan berpendapat, penerbitan, dan adanya lembaga perwakilan (demokrasi prosedural)

Sangat menarik, Hobsbwan mengatakan, sebelum 1914 tantangan terhadap liberalisme muncul dari dua arah: pertama, kalangan tradisional gereja Katolik Roma yang anti modernitas, yang dengan sistematis membangun dogma-dogma untuk membendung penyebaran nilai-nilai yang diusung oleh modernitas, dan sejumlah kecil para intelektual pembangkang yang berasal dari kalangan “good families”; dan kedua, perlawanan yang muncul dari kalangan gerakan radikal seperti gerakan sosialis dan komunis yang menentang tata sosial borjuasi yang eksploitatif. Namun Hobsbawn mengatakan, perlawanan dari kelompok gerakan radikal ini tidak terhadap nilai-nilai modernitas yang diusung oleh kalangan liberal, tapi pada sistem ekonomi kapitalis.

Selanjutnya Hobsbawn mendefinisikan ciri-ciri dari kelompok ekstrim kanan, termasuk di dalamnya adalah gerakan fasisme: anti-semit (rasis), mempropagandakan histeria nasionalisme, xenofobik, anti toleransi, anti-liberal, tidak segan-segan menggunakan alat-alat kekerasan untuk mewujudkan ambisi politiknya, anti-sosialis, anti-rasionalisme, dan mengagung-agungkan kejayaan masa lalu sebagai solusi terhadap krisis sosial yang sedang berlangsung. Tetapi, masih menurut Hobsbawn, tidak semua kelompok ekstrim kanan bisa disebut sebagai fasis. Ia mencontohkan para pemimpin kelompok ekstrim kanan di Hungaria, Rumania, Finlandia, atau bahkan jenderal Franco di Spanyol dan Marshal Pétain di Perancis, bukanlah seorang fasis. Tentu saja, karena ciri umum yang melekat padanya, maka mereka bisa saja saling mendukung secara politik. Rasisme juga bukan satu-satunya penanda bahwa gerakan tersebut adalah gerakan fasis. Fasisme Italia, misalnya, pada awalnya tidak mengandung propaganda anti Yahudi. Mussolini baru mengadopsi rasisme dari Hitler, menjelang masa senja kekuasaannya. Kelompok Klux Klux Klan (KKK) di Amerika Serikat yang rasis, juga tidak bisa disebut sebagai fasis.

Bagi Hobsbawan, pembeda paling utama bahwa gerakan kanan radikal itu fasis atau bukan, adalah pada pemujaannya terhadap mobilisasi massa dari bawah dan penguasaannya atas jalan-jalan raya utama.

Munculnya kekuatan ekstrim kanan, khususnya fasisme pasca 1914, menurut Hobsbawn merupakan reaksi terhadap dua keadaan yang saling berinteraksi, yakni krisis ekonomi parah yang melanda Eropa pasca PD I, khususnya di negara-negara seperti Italia dan Jerman; serta sebagai reaksi terhadap kemenangan Bolshevisme di Rusia. Krisis ekonomi menyebabkan munculnya ketidakpuasan dan keresahan sosial, akibat ketidakmampuan pemerintahan liberal pasca PD I dalam menyelesaikan krisis tersebut. Sebagai jalan keluar dari krisis, partai Nazi, menawarkan program-program sosial kepada massa, seperti fasilitas hari libur, aktivitas olah raga, dan perencanaan ‘mobil rakyat’ yang kelak dikenal dengan nama Volkswagen, serta pemberantasan tindak kriminalitas. Dalam hal terakhir ini, partai Fasis Italia pimpinan Benito Mussolini, merupakan rejim di Italia yang paling sukses memberantas kelompok mafia Sisilia.

Sementara reaksi terhadap Bolshevisme, merupakan upaya untuk mencegah terjadinya revolusi sosial di Eropa Barat, yang saat itu sangat terinspirasi oleh kemenangan Bolshevisme di Rusia. Di sini kelompok kanan ini berperan aktif dalam memberangus dan menghancurkan kekuatan partai sosialis, komunis, dan juga kekuatan serikat buruh yang sangat kuat ketika itu. Inilah yang terjadi di Jerman, Italia, atau Spanyol di bawah jenderal Franco, misalnya.

Basis sosial

Sebagian besar kalangan berpendapat bahwa basis utama pendukung kelompok ekstrim kanan datang dari kalangan rakyat miskin. Hobsbawn, melalui studinya ini menunjukkan bahwa pandangan ini separuh benar. Dalam kasus Amerika Serikat ketika terjadi Depresi Ekonomi 1930an, tidak muncul kelompok ekstrim kanan yang kuat dan mendominasi politik nasional. Untuk itu, Hobsbawn justru melihat bahwa basis utama pendukung gerakan ekstrim kanan ini datang dari kelas menengan dan kelas menengah bawah, khususnya pemuda-pemuda yang menjadi tentara nasional yang bertempur di garis depan pada masa PD I. Bagi Hobsbawan, lapisan sosial ini merupakan tulang punggung dari kebangkitan gerakan fasis. Setelah November 1918, mereka kembali ke negaranya dengan semangat kepahlawanan (heroisme) yang tinggi, mereka inilah kemudian direkrut sebagai pasukan khusus yang memainkan peran penting dalam mitologi gerakan kanan radikal. Di Italia mereka dikenal dengan nama squadristi dan di Jerman dengan nama freikorps. 57 persen dari pendukung partai fasis Italia pada awalnya adalah para bekas tentara ini. Di Vienna, Austria, pada pemilu 1932, pemilih partai nasionalis-sosialis (Nazi) 18 persen pemilihnya adalah wiraswasta, 56 persen adalah pekerja kerah putih, pekerja kantoran dan pekerja publik, dan 14 persen adalah pekerja kerah biru. Di luar kota Vienna, pada tahun yang sama, pemilih Nazi untuk dewan kota, 16 persen adalah wiraswasta dan petani, 51 persen adalah pekerja kantoran, dan 10 persen adalah pekerja kerah biru.

Selain mantan anak-anak muda tentara, lapisan menengah yang menjadi basis utama pendukung gerakan kanan radikal adalah mahasiwa. 13 persen dari pendukung partai fasis Italia pada 1921 (sebelum periode parade ke Roma) adalah mahasiswa. Di Jerman pada awal tahun 1930, lima sampai 10 persen anggotanya adalah mahasiswa. Kelompok ekstrim kanan lain di era modern ini, seperti rejim Taliban di Afghanistan, basis masa utamanya adalah mahasiwa.

Basis sosial ketiga yang mendukung kelompok ekstrim kanan adalah para kapitalis yang terancam oleh kuatnya gerakan-gerakan sosial berideologi sosialis, komunis, dan anarkhis, serta kelompok-kelompok serikat buruh. Bagi para kapitalis ini, mendukung fasisme berarti menghindarkan diri mereka dari ketakutan akan Bolshevisme jilid dua. Itu sebabnya ketika fasisme berkuasa, maka program utamanya ada tiga: (1) mengeliminasi atau mengalahkan revolusi sosial yang dipimpin oleh gerakan sayap kiri: (2) menghancurkan serikat buruh dan membatasi hak-hak manajemen untuk mengelola tempat kerja; (3) menghancurkan gerakan buruh untuk mengamankan solusi-solusi yang tidak menguntungkan kaum buruh yang diterapkan oleh kapitalis di masa krisis; dan (4) walaupun tidak stabil dalam jangka panjang, fasisme bisa mendinamisir dan memodernisir ekonomi industrial.

Penutup

Hobsbawn mengatakan adalah tidak masuk akal jika gerakan ekstrim kanan ini berkomitmen pada nilai-nilai liberalisme dan modernitas. “Tidak ada gerakan yang mengusung slogan ‘Setiap orang adalah Raja’ bisa menjadi bagian dari gerakan fasis.”

Di sini, ketika berkuasa, mereka menolak untuk menjalankan aturan main politik lama, dan mengambilalih seluruh kekuasaan politik ke dalam tangannya. Agar hal ini terpenuhi, maka mereka harus mengeliminasi seluruh saingan-saingan politiknya dengan jalan kekerasan.

Dengan karakter politik, basis sosial pendukung, serta tujuan politik yang hendak diperjuangkannya, maka kita sebenarnya tidak bisa memandang remeh aksi-aksi kekerasan sektarian yang sistematis dan terorganisir itu. Kunci memenangkan pertarungan dengan kelompok kanan radikal ini tergantung pada dua hal berikut: seberapa mampu gerakan progresif membangun basis massa yang terorganisir dan berkesadaran revolusioner; kedua, seberapa mampu kaum progresif memenangkan pertarungan di jalan-jalan.

Menganggap tindakan yang dilakukan oleh organisasi macam Front Pembela Islam (FPI), merupakan dampak buruk dari keberadaan negara kapitalis, adalah potong kompas yang baik tapi miskin detil yang justru sangat krusial. Mengabaikan aksi-aksi kekerasan itu terus terjadi, dan terus fokus pada kekuasaan negara berarti menganggap politik tak lebih sebagai persoalan matematika.***