Anwar Ma'ruf: "FORI Adalah Alat Politik Untuk Perebutan Kekuasaan"

KETIKA rejim Stalinisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur runtuh, Francis Fukuyama bersabda, “sejarah telah berakhir.” Tetapi, setelah lebih dari dua dekade, bukan sejarah yang berakhir, melainkan Neoliberalisme. Kebangkitan pemerintahan kiri di Amerika Latin dan krisis ekonomi 2008 adalah palu godam yang merontokkannya.

Sayangnya, di Indonesia, kebangkrutan rejim kapitalisme-neoliberal tidak diikuti oleh munculnya sistem baru yang bersifat alternatif. Islam politik, sebagai kelompok yang secara politik relatif kuat, terbukti gagap mengusung isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme, keadilan ekonomi, dan demokrasi popular. Kelompok ini malah terjerambab pada isu-isu sektarian yang sempit, dan tidak punya kepedulian sedikit pun pada masalah hak asasi manusia baik di bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Kegagapan Islam politik, terutama karena mereka gagal melakukan kritik mendasar terhadap cara kerja kapitalisme-neoliberal.




Di tengah kekosongan alternatif pemikiran dan praksis gerakan ini, gerakan progresif seharusnya muncul ke depan mengisi kekosongan itu. Kenyataannya, gerakan progresif masih terlalu kecil dan juga berserak-serak. Dalam konteks itu, kebutuhan akan persatuan menjadi tidak terelakkan. Inilah yang kemudian coba dilakukan oleh Front Oposisi Rakyat Indonesia yang disingkat For Indonesia (FORI). Lalu seperti apa bentuk organisasi dan program kerja FORI? Untuk mengetahuinya, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS mewawancarai Erwin Usman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Anwar Ma’ruf dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dan Vivi Widyawati dari Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM). Bagian ketiga ini adalah wawancara dengan Anwar Ma'ruf, berikut petikannya:

IndoPROGRESS (IP): Apa latar belakang yang membuat organisasi anda (PRP) ikut bergabung atau ikut mendirikan FORI?

Anwar Ma’ruf (AM): Upaya pembangunan partai politik progresif di Indonesia baik pada masa Orba sampai paska orba belumlah menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan. Hal ini tentu berdampak pada belum mungkinnya perubahan yang berpihak pada rakyat pekerja, mulai dari kebijakan kesejahteraan apalagi perebutan kekuasaan. Sementara, kondisi rakyat pekerja semakin tertindas dan terhisap dan tidak terjadi perlawanan yang seharusnya lebih radikal.

Memang hampir setiap hari kita melihat perlawanan dari berbagai elemen gerakan. Perlawanan kelas buruh menuntut upah dan kesejahteraan yang lebih baik, perjuangan melawan PHK massal, pemberangusan Serikat, juga melawan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat pekerja, seperti CHAFTA, Privatisasi dll. Juga perlawanan buruh migran terhadap kesewenang-wenangan negara. Begitu pula kaum tani dengan perlawanannya untuk mendapatkan tanah, nelayan melawan pengkaplingan laut dan perwujudan keadilan Agraria lainnya. Perlawanan kaum miskin urban terhadap penggusuran, perlawanan terhadap pengrusakan lingkungan, perlawan mahasiswa terhadap Badan Hukum Pendidikan, serta masih banyak lagi dan mungkin sulit dihitung karena setiap hari selalu saja ada perlawanan dari rakyat pekerja Indonesia. Namun perlawanan tersebut masihlah bersifat sporadis belum satu padan terpimpin oleh satu wadah dan program yg sama serta menjadi keyakinan yang bersegi hari depan.

Akibatnya hanya bisa sedikit mengganggu, belum mampu untukk mengubah seperti yang dicita-citakan rakyat pekerja.

Kemudian dari praktek pembangunan gerakan bersama melalui komite aksi, forum, aliansi, atau bahkan yang diberi nama front baik di tingkat nasional maupun lokal, sudah begitu banyak uji cobanya. Namun belumlah sampai pada pembangunan fornt yang sejatinya front, mayoritas tidaklah mampu bertahan lama sampai pada suatu target atau capaian yang ditentukan bersama. Begitu pula pembangunan organisasi politik yang seharusnya sejalan, inisiatif pembangunan blok politik, front politik selalu berakhir di tengah jalan, baik disebabkan oleh lemahnya koordinasi dan komunikasi antar organ maupun karena ego atau eksistensi dari berbagai elemen. Selain itu upaya pembangunan partai politik dari kalangan gerakan juga tidak mengalami perkembangan yang signifikan.

Hal ini jelas tidak sebanding dengan proses perpolitikan kaum borjuis, meskipun akhir-akhir ini sampai pada analisis bahwa mereka mengalami krisis politik ketika terbongkarnya korupsi yang maha dahsyat. Namun, karena lemahnya gerakan kiri dan demokratik, yang terjadi adalah kita tidak mampu memanfaatkan momentum ini. Tentu kita tahu dan sadar betul bagaimana mungkin kita akan mampu merebut kekuasaan, jika hari ini rakyat pekerja tidak memiliki alat politik atau partai politik, termasuk kosongnya kepemimpinan politik rakyat pekerja di Indonesia? Kalaulah terjadi pemakzulan misalnya, yang terjadi adalah arisan politik dari borjuis yang satu ke borjuis yang lainnya.

Dari berbagai alasan tersebut, kemudian kami berkesimpulan bahwa kekosongan kepemimpinan politik dan kehadiranya dalam berhadapan dengan kekuatan politik borjuasi dari gerakan sosial, menjadi wajib untuk dihadirkan dalam waktu dekat ini. Dimana saat ini juga terjadi kekosongan “oposisi” di dalam kekuasaan politik, meskipun kondisi terakhir seakan-akan banyak yang menyerang SBY dan Partai Demokrat dalam kasus Century, namun dapat dikatakan masih dalam kooptasi rezim SBY. Maka mau tidak mau, gerakan sosial harus membangun gerakan oposisi sekaligus sebagai propaganda dan jawaban antara menuju pembangunan gerakan politik dari rakyat pekerja.

IP: Apa persamaan yang organisai anda temukan dari organisasi lain yang turut bergabung dalam FORI?

AM: Pertama, keresahan yang sama hampir dialami oleh semua kalangan gerakan, baik organisasi massa maupun kalangan NGO dari berbagai perspektif atau kecenderungan. Misalnya, pentingnya menghadirkan gerakan perjuangan kelas dari gerakan buruh, tani dan pendukungnya juga dari gerakan lingkungan, HAM, perempuan dll.

Kedua, di antara gerakan ini sebenarnya sudah lama bongkar pasang untuk melakukan penyatuan dalam berbagai bentuk. Berbagai konsolidasi baik gagasan maupun gerakan sudah sering dilakukan namun selalu gagal, karena belum mampu menempatkannya dalam ruang dan waktu yang pas. Sebagai contoh, konsolidasi yang pernah dilakukan seperti KPGR, MRI, FPN, KNRA untuk dinasional dan untuk di lokal-lokal mungkin lebih banyak lagi. Maka tentu ada kejenuhan yang mendalam kalau tidak ada terobosan atau alternatif pembangungan bersama. Selain itu, sebagian kalangan sudah mencoba melakukan sendiri-sendiri dan juga mengalami kegagalan. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh PRD dengan Papernas-nya, PPR dll.

Ketiga, pada intinya semua berkeinginan untuk kesejahteraan sejati bagi rakyat pekerja, dengan merebut kekuasaan, dan untuk itu adalah wajib hukumnya kita memiliki partai yang revolusioner.

IP: Bagaimana mengatasi perbedaan ideologi, politik, dan organisasi yang terdapat dalam FORI?

AM: Membiasakan perdebatan di antara berbagai pandangan, ide atau gagasan secara ilmiah, demokratis dan secara terus-menerus. Kemudian mengarah pada pendalaman dan akhirnya dituangkan dlm konsepsi bersama, seperti yang sudah tertuang dalam 5 platform atau agenda For Indonesia ke depan. Tentu perlu juga adanya pembagian tugas secara merata dan sesuai dengan kebutuhan obyektifnya.

IP: Apa yang membedakan FORI dengan wadah-wadah aliansi sebelumnya?

AM: Perbedaan FORI dengan wadah-wadah sebelumnya, FORI terbentuk berawal dari proses yang cukup panjang dalam melakukan refleksi terhadap gerakan rakyat, paska pemilu 2009 sampai pada evaluasi gerakan menjelang 5 tahun 100 Hari pemerintahan SBY. Kekalahan demi kekalahan gerakan terus berlanjut sampai hari ini.

FORI dibentuk dengan perencanaan menjadi front yang sesungguhnya. Bukan lagi sekedar komite aksi, koalisi ataupun aliansi. Artinya, FORI dibentuk sebagai wadah yang strategis dimana bersandar pada basis massa real yang akan mendorong pada perjuangan kelas dan dengan didukung oleh perjuangan berperspektif ekologis dan HAM. Berbagai perespektif juga terbuka untuk mendapatkan masukan, misalnya dengan muatan-muatan lokal.

Kemudian secara struktural, pembentukan FORI tidak hanya di Jakarta tetapi sampai pada tingkat wilayah, kota, dan kabupaten. Ada kesepakatan untuk menjahit basis atau cabang dan jaringan-jaringan di lokal untuk juga membentuk FORI. Dan sampai hari ini sudah mulai berjalan. Selain itu, kita tidak buru-buru dalam menentukan struktur, semisal menjadi koordinator nasional, tetapi baru pada kebutuhan-kebutuhan kerja, seperti juru bicara, tim materi, kesekretariatan dan pendanaan. Dengan kata lain, belum menjadi organisasi yang utuh. Kenapa demikian, ini adalah proses bersama yang akan terus dilakukan agar pra-syarat menuju front akan terwujud.

IP: Apa platform IPOLEK yang diusung oleh FORI?

AM: Sementara ini FORI baru mampu menyusun agenda bersama yakni:
1. Mewujudkan keadilan agraria sejati;
2. Membangun industrialisasi nasional yang kuat dan mandiri;
3. Mewujudkan keadilan ekologis;
4. Mewujudkan demokrasi ekonomi; dan
5. Penghormatan HAM dan demokrasi

IP: Apa yang membedakan FORI dengan kelompok lain yang anti pemerintahan SBY-Bud?

AM: Tentu banyak kelompok yang anti terhadap Rejim SBY-Bud. Namun, berdasarkan diskusi panjang kami, jargon “ganti rejim ganti sistem” adalah pembeda dengan kelompok lain. Selain itu, bertemunya berbagai sektor dan perspektif mulai dari buruh, tani, nelayan, miskin kota, lingkungan, HAM, perempuan, organisasi politik dll dalam FORI. Kemudian adanya platform atau agenda perjuangan bersama. Terus kami juga tidak punya cantolan terhadap elit maupun partai-partai borjuis, karena kami ingin menunjukkan kemandirian politik FOR Indonesia. Kemudian dari segi sebaran, kami yakini akan merambah seluruh pelosok negeri.

IP: Bagaimana strategi dan taktik perjuangan yang dilakukan FORI dalam melawan rejim SBY-Bud?

AM: Kami sadar bahwa kekuatan gerakan masih sangat kecil dan terfragmentasi, maka salah satu pilihan strategi dan taktik adalah menggalang persatuan dan kesatuan dalam wadah yang pas dan benar. Dimana, Indonesia yg luas dan besar ini harus kita pandang secara utuh dan tidak sepotong-potong.

Maka perlunya ada program untuk melakukan konsolidasi gagasan dan gerakan, baik yg di tingkat lokal maupun nasional. Menyambungkan berbagai inisiatif perlawanan yang sudah ada termasuk mencoba merebut kekuasaan sampai pada levelan terendah sekalipun dengan menyatukan kekuatan bersma. Jangan lupa untuk terus memblejeti siapa dan bagaimana rejim SBY sebagai musuh rakyat.

IP: Apa tujuan yang ingin organisasi anda harapkan dengan membentuk FORI?

AM: Rakyat pekerja Indonesia ini butuh kemenangan, yakni tercapainya kesejahteraan sejati bagi rakyat pekerja. Tentu untuk mencapai hal tersebut, tidak mungkin kita akan menggantungkan diri pada rejim yg sudah jelas anti rakyat. For Indonesia adalah salah satu proses dalam penyatuan gerakan dari berbagai elemen dan lini, berikutnya akan menjadi atau membentuk wadah atau alat politik yang akan siap berhadap-hadapan dengan rezim sampai pada perebutan kekuasaan, dan terwujudnya kemenangan sejati bagi rakyat pekerja.***