Tentang Konsensus Politik Serikat Buruh “Kuning”

Tanggapan untuk Surya Tjandra
Anwar Ma’ruf

AKHIR tahun kemarin, “jagad persilatan” gerakan buruh diwarnai peristiwa menarik. Saat itu, 23 November 2009, berlangsung “Trade Unions Meeting for Political Consensus” atau TUMPOC yang digagas oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). KSBSI menyelenggarakan pertemuan ini bersama dua konfederasi lain, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).

Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menyusun konsensus gerakan politik buruh yang didukung pendanaannya oleh The American Center for International Labor Solidarity (ACILS) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES). Menurut kabar, pertemuan itu dihadiri sekitar 50 aktivis dari sejumlah organisasi. Menurut Surya Tjandra (Kompas, 26/12), pertemuan kaum buruh Indonesia itu adalah pertemuan bersejarah karena baru pertama kali dilaksanakan sejak reformasi 1998, dimana berbagai serikat buruh arus utama berkumpul dan membicarakan isu yang selama ini praktis disingkirkan dari wacana para aktivis serikat buruh sendiri: politik.


Namun sebenarnya pertemuan atau lebih tepatnya, persatuan serikat-serikat buruh itu sendiri bukanlah yang pertama kalinya. UU Ketenagakerjaan no 13/2003, yang isinya merugikan buruh merupakan buah dari persatuan serikat-serikat buruh dimaksud (KSBSI, KSPI dan KSPSI) yang tergabung dalam Pokja RUU Ketenagakerjaan. Pokja ini diketahui mendukung APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan DPR di jaman itu untuk melahirkan UU tersebut.

Dalam artikelnya, Surya Tjandra menyebutkan bahwa Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), menilai ketiga konfederasi yang hadir (KSBSI, KSPI dan KSPSI) tidak menyuarakan kepentingan buruh. Justru sebaliknya, malah sering mendukung kebijakan pemerintah yang merugikan buruh. Pendapat ini wajar saja, sebab selain diakui pemerintah, sejumlah kebijakan buruh (seperti penetapan upah) yang selalu melibatkan mereka hampir pasti ditolak dan diprotes kaum buruh yang diwakilinya.

Secara sinis, bahkan muncul sebutan “serikat buruh kuning” bagi ketiga konfederasi ini, merujuk warna kekuasaan orde baru di masa silam.

Perhimpunan Rakyat Pekerja tidak menolak persatuan antara gerakan buruh di Indonesia harus dibangun, bahkan persatuan gerakan buruh yang progresif menjadi salah satu kampanye PRP selama beberapa tahun ini. PRP selama ini mendorong adanya suatu konfederasi serikat buruh yang kuat. Permasalahannya jelas, PRP tidak dapat mempercayai persatuan gerakan buruh yang dimunculkan oleh serikat buruh yang notabene bagian dari sistem kekuasaan sekaligus pro-pengusaha.

Peran ACILS yang mendorong pertemuan “bersejarah” kaum buruh Indonesia tersebut tentunya juga patut “dicurigai”. ACILS, yang pada awalnya bernama Free Trade Union Institute (FTUI), merupakan sebuah lembaga yang didirikan oleh The National Endowment for Democracy (NED). Sebagaimana yang tertuang dalam dokumen publik NED pada tahun 1998 dengan judul “Strengthening Democracy Abroad: The Role of the National Endowment for Democrary,” NED merupakan sebuah lembaga yang diinisiasi oleh pemerintah AS untuk memperkuat kelembagaan demokrasi di seluruh dunia melalui lembaga-lembaga swasta, dan lembaga non-pemerintah. Kepentingan dari NED adalah mengintervensi kebijakan sebuah Negara yang dinilai tidak sesuai dengan sistem Polyarchy atau demokrasi berorientasi pasar (Pontoh, 2007).

Untuk menjalankan mesin organisasinya, NED bersama-sama dengan partai Republik dan partai Demokrat, Dewan Bisnis (Chamber of Commerce) dan American Federation of Labor and Congress of Industrial Organization (AFL-CIO) mendirikan Center for International Private Enterprise (CIPE), the National Democratic Institute for International Affairs (NDI), the National Republican Institute for International Affairs yang kemudian berubah nama menjadi International Republican Institute (IRI) and Free Trade Union Institute (FTUI) yang kemudian lebih dikenal dengan nama the American Center for International Labor Solidarity (ACILS) atau Solidarity Center. NED sendiri untuk jangka waktu yang lama dipimpin oleh pebisnis kakap Carl Greshman. (Pontoh, 2007)

Lembaga-lembaga yang didirikan oleh NED ini bertugas melakukan intervensi politik sesuai dengan demokrasi yang berorientasi pasar. Prinsip-prinsip demokrasi yang dimaksud tentunya bukan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, namun yang dimaksud adalah “pemerintahan dari pasar, oleh pasar dan untuk pasar.” Tidak heran jika kehadiran demokrasi dalam struktur masyarakat yang timpang, diskriminatif, rasis, bias gender dan dipenuhi tindakan kekerasan menjadi tidak bermakna.

Di lapangan, jaringan intervensi politik ini bekerja pada bidang garapan yang telah ditentukan. Sebagai contoh, NDI dan IRI, khusus menggarap partai politik, dimana dalam tugasnya ini mereka memberikan “grant” kepada partai politik di negara yang diintervensi. Sementara FTUI dan ACILS menggarap sektor buruh dan memberikan “grant” kepada serikat buruh.

Bahkan diketahui ACILS berperan dalam agenda kudeta tahun 2002 terhadap presiden Venezuela, Hugo Chavez. Niat penggulingan terhadap Hugo Chavez ini lebih dikarenakan presiden Venezuela tersebut memiliki sikap keras terhadap kepentingan ekonomi Neoliberal. Untuk menjalankan aksinya, ACILS mengadakan konsolidasi pimpinan serikat buruh di Venezuela, mirip seperti pertemuan konfederasi serikat buruh kuning yang terjadi di Indonesia. Kenyataannya pertemuan tersebut memiliki agenda terselubung untuk memenangkan aransemen pasar bebas yang dipaksakan untuk diterima oleh kalangan rakyat pekerja, bahkan dengan cara kudeta jika di Venezuela.

Melanggengkan neoliberalisme

Dari fenomena di atas dapat terungkap bahwa pertemuan antar konfederasi serikat buruh kuning tersebut hanya akan melanggengkan agenda-agenda Neoliberali. Peleburan ketiga konfederasi tersebut disinyalir diorientasikan sebagai “alat” kalangan neoliberalis memanfaatkan “tangan-tangan” elit serikat buruh agar kepentingan pemilik modal dapat lebih diutamakan dan diuntungkan.

Yang menjadi pertanyaan, apakah TUMPOC merupakan aspirasi anggota ketiga konfederasi serikat buruh tersebut? Jika bukan, jangan-jangan sekedar “mainan” dari para elit konfederasi dimaksud. Tentu demi tujuan yang sifatnya pragmatis belaka.

Kesadaran politik dari serikat buruh juga penting dan dibutuhkan. Selama ini, perjuangan politik dkanalkan melalui partai politik. Namun partai politik yang ada tidak ada yang peduli pada kepentingan buruh, termasuk beberapa partai yang memakai nama buruh atau pekerja. Tanpa berdaya di lapangan politik, kaum buruh selamanya tidak dapat mengontrol aspirasi dan kepentingannya. Selama itu pula buruh tetap miskin dan menderita.

Sampai saat ini tidak ada kekuatan politik lain yang dapat menjadi penyeimbang atau bahkan menjadi oposisi dari pemerintahan yang mengadopsi kebijakan neoliberal. PRP menganggap, pembangunan kesadaran politik dari buruh sangat penting dan tak terhindarkan. Namun, jelas bukan kesadaran politik yang saat ini didengung-dengungkan oleh tiga konfederasi serikat buruh tersebut, yang tak bersikap kritis terhadap neoliberalisme, kalau tidak malah bersisian.***

Anwar Ma'ruf, Ketua Nasional Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP)