Dari Kapitalisme Turun ke Krisis

LIPUTAN KHUSUS
Bagaimana kaum progresif Indonesia melihat krisis ekonomi 2008
Coen Husain Pontoh


GEORGE Saputra, seorang pebisnis binatang melata dan binatang yang hidup di dua alam, sedang gundah. Bisnisnya yang menghasilkan keuntungan menggiurkan selama ini, terancam bangkrut. Krisis ekonomi global pada tahun 2008, telah memangkas keuntungannya secara drastis.

Selama ini, aktivitas Saputra adalah mengekspor ular hidup maupun kulit ular, kulit buaya, juga katak serta komodo ke Eropa dan Amerika. Para desainer top mancanegara seperti Yves Saint Laurent, Calvin Klein dan Jimmy Choo, merupakan pelanggan tetap Saputra.

“Hingga bulan Oktober ini, pesanan ular phyton hidup dari AS dan Eropa, tinggal mencapai 10 hingga 20 persen dibanding pesanan pada bulan yang sama tahun 2007,” ujar Saputra kepada kantor berita AFP.

Kondisi krisis menyebabkan pendapatan masyarakat di negara-negara tujuan ekspor menurun. Akibatnya permintaan akan produk dari kulit ular pun terseret jatuh. Padahal, kata Saputra, ada sekitar 180 ribu pekerja yang menggantungkan hidupnya dari bisnis binatang berbisa ini.

"Perusahaan tetap berusaha untuk tidak memecat pegawainya, tapi saya pikir saatnya pasti akan segera tiba. Saya usulkan pada mereka agar mengurangi produksinya,” lanjut Saputra.

Tetapi, bukan hanya ekspor kulit yang terkena pukulan dari krisis ini. Di Karawang, Jawa Barat, tiga pabrik yang berbeda, yakni pabrik pembuatan pensil, remote kontrol televisi, dan dua pabrik perakitan mobil Toyota, memutuskan untuk tutup.

“Selama 11 tahun kami di sini, inilah situasi yang paling sulit, dimana banyak sekali pekerja yang dipecat – bahkan krisis pada 1997-98 tidak seburuk saat ini,” ujar Abraham Sauate, manajer pabrik remote kontrol yang bangkrut tersebut, kepada harian The New York Times. Sauate melanjutkan, “masalahnya, kami tidak tahu kemana harus pergi dan sampai kapan situasi buruk ini berakhir.”

Penutupan pabrik sama artinya dengan kiamat kecil bagi rakyat pekerja. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan pendapatan dan juga berakhirnya mimpi tentang masa depan yang lebih baik. Padahal, untuk memperoleh pekerjaan baru bukan perkara gampang.

"Saya benar-benar sangat terkejut, apalagi suami saya tidak memiliki pekerjaan tetap,” ujar Ida Farida.

Rudi, suami Farida, sudah sejak krisis ekonomi 1997-98 hidup dari pekerjaan serabutan. Ia adalah korban PHK massal dari pabrik tekstil yang bangkrut diterpa badai krisis ketika itu. Dalam masa-masa sulit itu, Farida menjadi tiang raja ekonomi keluarga. Perempuan berusia 33 tahun ini, sebelumnya bekerja sebagai operator mesin di PT Omedata Electronics, yang beroperasi di Jalan Soekarno-Hatta 176, Bandung, Jawa Barat. Krisis finansial telah menyebabkan perusahaan menutup pabrik pembuat komputernya. Akibatnya, Farida bersama 1. 300 rekannya harus dirumahkan.

Wahyu Susilo, kepala divisi advokasi International NGO Forum on Indonesia (INFID), mengatakan, dampak langsung dari krisis ekonomi 2008 adalah menurunnya produksi untuk ekspor, sehingga menyebabkan PHK besar-besaran. Hal senada dikemukakan Rudi Hartono, pimpinan PRD/Papernas dan Anwar Ma’ruf, ketua Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP).

“Krisis ini telah menyebabkan kontraksi permintaan negara maju, sehingga menyebabkan nilai ekspor kita merosot. Akibatnya hal ini berpengaruh pada kapasitas produksi perusahaan ekspor di dalam negeri. Ini akan mempercepat proses de-industrialisasi, berarti gelombang PHK massal, pengangguran, dan kejatuhan daya beli secara massif,” ujar Hartono.

“Ketergantungan Indonesia terhadap negara asing, membuat ekonomi (ekspor dan impor) terpukul akibat krisis keuangan AS. Dampak lanjutannya, lapangan kerja terancam, alat produksi bagi petani (tanah) akan terus digusur, laut dikapling, pendidikan dan kesehatan mahal dan tidak ada penegakan hukum dan HAM.” demikian Ma’ruf.

Laporan organisasi perburuhan internasional (ILO), memperkuat pendapat Susilo, Hartono, dan Ma’ruf. Berdasarkan risetnya, ILO menyebutkan permintaan akan produk ekspor Indonesia seperti tekstil, karet dan barang-barang pabrikan menurun drastis akibat hantaman krisis finansial global. Akibatnya, sejak September 2008, sebanyak 250 ribu orang kehilangan pekerjaannya. ILO juga memprediksi bahwa pada tahun 2009 akan ada tambahan 170 ribu pekerja yang dipecat.

Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, memperkirakan dari sektor persepatuan saja, sebanyak 30 ribu tenaga kerja akan dikenakan PHK pada 2009. Angka ini melampaui perkiraan tertinggi sebanyak 10 ribu pada 2008. Sementara dari sektor tekstil, diperkirakan sebanyak 150 ribu buruh yang akan dirumahkan pada tahun 2009.

Gambaran suram tentang dunia ketenagakerjaan, juga dikemukakan Suwartoyo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Akibat menurunnya tingkat permintaan dari negara-negara seperti AS dan Eropa, maka sebagian besar industri berorientasi ekspor telah memecat tenaga kerja mereka. Suwartoyo memberikan contoh, “75 persen minyak kelapa sawit ditujukan untuk ekspor…. Ketika harga minyak kelapa sawit terjun bebas di seluruh dunia, maka 500 ribu pekerja di provinsi Kalimantan Barat dan 380 ribu pekerja di provinsi Sumatra Selatan, potensial untuk dipecat dalam waktu dekat.”



TAHUN 2008, di tengah-tengah perhelatan pemilihan umum presiden AS, negeri itu dihantam oleh krisis ekonomi yang sangat parah. Krisis ekonomi terburuk sejak Depresi Ekonomi 1930an ini, dipicu oleh krisis di sektor perumahan pada 2007. Akibatnya sungguh luar biasa. Perekonomian AS goyah seketika, perusahaan-perusahaan raksasa keuangan, sektor perbankan, dan asuransi jatuh bangkrut. Pasar tak berkutik menghadapi krisis yang muncul dari dalam dirinya. Satu-satunya jalan adalah menghiba pada pemerintah agar mau mengulurkan bantuannya.

Pada 18 September, menteri keuangan AS Henry Paulson dan gubernur bank sentral Ben Bernanke, mengadakan pertemuan mendadak dengan anggota dewan AS. Keduanya datang dengan proposal pengucuran dana talangan (bailout) darurat sebesar $700 milyar.

“Jika kita tidak segera bertindak saat ini, maka mungkin pada hari Senin kita tidak punya lagi aktivitas ekonomi,” ujar Bernanke saat itu. Bernanke pada penghujung tahun 2009 dinobatkan oleh majalah Time, sebagai Man of the Year.

Hasil pertemuan itu kemudian melahirkan kebijakan yang disebut The Emergency Economic Stabilization Act, atau juga disebut the Troubled Asset Relief Program (TARP). Kebijakan ini ditandatangi menjadi hukum pada 3 Oktober, 2008.

Pada level masyarakat, PHK besar-besaran segera terjadi. Rumah tangga AS yang terkenal dengan tingkat konsumsinya yang sangat tinggi, dipaksa untuk berhemat. Restoran-restoran banyak yang tutup, sementara yang masih buka memasang pengumuman, “harga krisis.” Penduduk miskin yang sebelumnya bisa memperoleh rumah melalui fasilitas kredit murah, kini mendapati kenyataan bahwa rumah mereka disita oleh perusahaan.

Mengapa krisis ini bisa terjadi? Barack Obama, kandidat kuat pemenang pemilu presiden AS kala itu, menuduh bahwa krisis ini disebabkan oleh salah urus kebijakan pemerintahan George W. Bush, Jr. Tentu saja secara politik tuduhan ini benar adanya, tapi keliru secara teoritik dan historis. Para ekonom arus utama berpendapat bahwa krisis ini merupakan krisis likuiditas di sektor keuangan dan perbankan. Yang lain mengatakan, krisis ini disebabkan oleh sifat rakus dan tamak yang melekat pada pelaku bisnis sektor finansial, yang memperjudikan nasib publik melalui permainan pat gulipat di pasar bursa dan saham. Sebagian lainnya lagi menilai, krisis ini merupakan hasil dari mekanisme pasar yang bekerja terlalu liar.

Berbeda dengan analisa ekonom arus utama tersebut, kalangan progresif di Indonesia berpendapat krisis ini merupakan krisis kapitalisme. Akar krisis ini menghunjam jauh dalam sistem perekonomian dunia dan AS pada umumnya. Jejaknya bisa ditelusuri sejak paska Perang Dunia II, hingga terjadinya krisis ekonomi pada 1970an, yang ditandai oleh bangkrutnya sistem Bretton Woods. Anwar Ma’ruf mengatakan, bahkan sejak tahun 1810-1975 sudah terjadi 23 krisis ekonomi.

”Ini belum menyebutkan krisis-krisis yang terjadi pasca 1975 seperti krisis ekonomi Asia pada 1998, krisis dot.com pada 2000, dan tentu saja krisis yang terjadi di tahun 2008-2009. Intinya, tak mungkin sistem kapitalisme tanpa krisis,” ujarnya.

Secara lebih khusus, baik Ma’ruf, Wahyu Susilo, maupun Rudi Hartono mengatakan bahwa akar krisis ini disebabkan oleh kesenjangan antara sektor produksi dan sektor keuangan. Sektor produksi yang bertumbuh dengan sangat lamban, menyebabkan upah buruh menjadi stagnan dan cenderung merosot. Di AS, misalnya, sejak dekade 1970an, angka pertumbuhan nyata GDP AS turun sebesar 3.3 persen, dan terus menurun menjadi 3.1 persen pada dekade 1980an. Angka ini bertahan hingga dekade 1990an, dan menurun lagi menjadi 2.6 persen pada periode 2000-07.

Jatuhnya tingkat pertumbuhan GDP ini menyebabkan tingkat pengangguran mulai meningkat. Upah mereka yang masih bekerja tak lagi meningkat, bahkan terus menurun. Selama periode 1973-2000, misalnya, pendapatan riil rata-rata 90 persen rakyat AS yang berada di lapisan bawah turun sebanyak 9 persen. Sementara itu, untuk menggenjot tingkat produktivitas rakyat pekerja, kelas kapitalis memaksa buruhnya untuk bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang. Dibandingkan dengan panjangnya jam kerja di Jerman, Perancis, dan Italia, dimana jam kerja buruh per tahun turun sebesar 20 persen, di Amerika, sejak dekade 1970an, justru jam kerja buruh per tahun meningkat sebesar 20 persen. Anggota keluarga, terutama perempuan, makin banyak yang harus bekerja di luar rumah.

”Terjadi kontradiksi antara peningkatan produktivitas dengan jatuhnya profitabilitas,” ujar Ma’ruf.

“Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengonsumsi,” tambah Hartono.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, menurut Hartono, kelas kapitalis melakukan dua jurus utama penyelesaian krisis: pertama, dengan melakukan ekspansi pasar ke luar negeri melalui penghapusan seluruh bentuk hambatan perdagangan, penghancuran kekuatan serikat pekerja dan bentuk-bentuk kebijakan negara kesejahteraan. Tujuan akhirnya adalah mengintegrasikan perekonomian negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis, atau pra-kapitalis ke dalam sistem ekonomi global.

Ekspansi pasar ini, menurut Budi Wardoyo dari Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), telah menyebabkan hancurnya industri dalam negeri di negara-negara berkembang. Ia memberikan contoh kasus industri dalam negeri Indonesia dimana sampai dengan hari ini, teknologi yang digunakan oleh Industri Nasional sebagian besar adalah teknologi impor, bahkan persentasenya mencapai 92 persen (37 persen dari Jepang, 27 persen dari negara-negara Eropa, 9 persen dari Amerika Serikat, 9 persen dari Taiwan, 4 persen dari China, 3 persen dari Korea Selatan, 2 persen dari India, dan 1 persen dari Thailand). Pada saat yang sama, hampir semua bahan baku untuk industri nasional juga harus di impor. Misalnya, untuk industri makanan minuman, bahan baku gula rafinasi (gula dengan standar Industri makanan-minuman) masih impor dengan persentase 100 persen. Untuk industri elektronik, 30 persen bahan bakunya masih harus di impor, dan 90 persen bahan baku industri farmasi nasional juga masih import, bahkan untuk tempe dan tahu pun masih import kedelai sebesar 60,5 persen. Mengutip pendapat Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Amirudin Saud, Wardoyo mengatakan bahwa impor bahan baku selama periode 2005-2007 masih lebih dari 70 persen.

Jurus kedua adalah melalui finansialisasi ekonomi dunia. Melalui finansialisasi ini, maka seorang kapitalis dapat melipatgandakan keuntungannya dalam waktu singkat.

“Persoalannya, model ini memang bisa menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, namun tidak pernah menciptakan nilai baru---hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa yang menciptakan nilai baru,” ujar Hartono.

Tetapi karena daya beli masyarakat rendah dan sektor produksi tidak bertumbuh pesat, maka rakyat pekerja terpaksa mencari dana tambahan untuk konsumsi dengan cara berutang pada lembaga-lembaga keuangan. Menurut Ma’ruf, hal ini kemudian disambut oleh para pemodal dengan berinvestasi pada instrumen-instrumen keuangan. Susilo menambahkan, kondisi ini menyebabkan sektor keuangan berkembang menjadi industri skala besar dengan beragam produk derivatif yang diciptakannya, yang sesungguhnya hanyalah permainan judi semata tanpa ada hasil produksi yang diperdagangkan kecuali uang dan kertas. Hal senada dikemukakan Hartono, bahwa sistem kredit telah membiayai pertumbuhan ekonomi AS sepanjang tahun 1980, sementara, pada sisi lain, deregulasi sektor keuangan juga menjadi solusi bagi kapitalisme global untuk mengembalikan tingkat keuntungan mereka.

Ekonom progresif Minqi Li, mengonfirmasi sinyalemen ini. Menurutnya, konsumsi rumah tangga AS yang tinggi tersebut memang dibiayai oleh ledakan pertumbuhan utang rumah tangga, dari 90 persen total pendapatan personal setelah dikurangi pajak (disposable personal income) menjadi 103 persen pada 2000 dan terus melaju hingga 140 persen pada 2006. Pada 2007 layanan utang rumah tangga meningkat menjadi 14 persen dari total pendapatan personal, sebuah rekor tertinggi. Ekonom progresif lainnya, Ramaa Vasudevan, menambahkan, rata-rata utang rumah tangga AS meningkat menjadi 53 persen sejak tahun 1990an. Sekitar 67 persen keluarga berpendapatan rendah dengan pendapatan kurang dari $10 ribu per bulan, kini menghadapi kenyataan bahwa mereka terjerat utang kartu kredit. Dan utang kelompok ini makin bertambah besar yakni, 184 persen.

“Dengan demikian jika kita perhatikan, krisis tahun 2008 di awali dari krisis keuangan, diikuti krisis perbankan lantas berkembang menjadi krisis ekonomi. Monopoli keuangan dan produksi inilah yang seseungguhnya menjadi akar dari krisis ekonomi di tahun 2008 juga di tahun-tahun sebelumnya,” ujar Susilo.

Dari sudut karakter finansialisasi yang sangat tergantung pada aksi spekulatif, menurut Hartono, tidak mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, dari krisis ke krisis. Dalam pandangan yang lebih historis, Ma’ruf menyimpulkan, krisis yang terjadi pada tahun 2008 adalah akibat dari upaya kapitalisme untuk keluar dari krisis sebelumnya. Krisis berusaha ditambal dengan sesuatu yang kemudian meledak lagi dalam bentuk krisis.



BAGAIMANA ceritanya krisis yang terjadi di satu sektor dan satu negara bisa menyebabkan krisis di sektor dan negara lain?

Alkisah, di tengah-tengah krisis ekonomi yang menyebabkan bangkrutnya sistem Bretton Woods pada awal dekade 1970an, secara politik terjadi pergeseran keseimbangan politik ke kanan. Pergeseran itu ditandai oleh tampilnya Margaret Hilda Thatcher, dari partai Konservatif di Inggris sebagai perdana menteri dan Ronald Wilson Reagan, dari partai Republik sebagai presiden AS.

Di bawah tuntutan untuk segera menyelesaikan krisis ekonomi tersebut, Thatcher meluncurkan sebuah kebijakan ekonomi di bawah dogma “there is no alternative (TINA).” Bersama Ronald Reagan di AS, keduanya menandai satu fase baru pembangunan kapitalisme, yang dikenal dengan nama Neoliberalisme.

Slogan TINA begitu populer dan kuat pengaruhnya. Di Rusia, paska kejatuhan rejim Stalinisme, presiden Boris Yeltsin tanpa ragu mengirimkan pasukan bersenjata dan tank-tank tempur untuk melikuidasi parlemen yang menolak atau setengah hati menjalankan slogan TINA itu. Dalam konteks Amerika Latin, slogan TINA mengambil bentuk kebijakan Neoliberal. Menurut ekonom Duncan Green, kata depan Neo di sini, perlu dipasangkan untuk membedakannya dengan liberalisme pada era 1930an, yang ditandai dengan apa yang popular disebut kebijakan industrialisasi substitusi impor (ISI). Melalui kebijakan ISI, pembangunan industri domestik yang dibimbing oleh negara (state-led development), dikritik habis oleh kalangan neoliberal. Bagi mereka, kegagalan pembangunan di Amerika Latin, disebabkan oleh “too much state, too much regulation, too much government spending, and not enough emphasis on private sector and foreign banking.”

Atas dasar kriteria demikian, ekonom Vincent Navarro mengatakan, ada tiga gagasan kunci yang diusung oleh kalangan neoliberal ini: pertama, negara, yang secara keliru disebut dengan ‘pemerintah’ harus dikurangi perannya dalam aktivitas ekonomi dan sosial; kedua, pasar kerja dan pasar finansial harus dideregulasi agar energi-energi yang sangat kreatif dalam pasar bisa muncul terang ke permukaan; ketiga, investasi dan perdagangan harus diberikan rangsangan melalui penghapusan segala tembok pembatas yang menghalangi terjadinya mobilitas penuh bagi kapital, buruh, barang-barang, dan pelayanan. Dari sisi kebijakan, definisi paling lengkap dari neoliberalisme diberikan oleh ekonom John Williamson, yang kemudian disebut “the Washington Consensus:” (1) disiplin kebijakan fiskal; (2) penghapusan subsidi; (3) reformasi perpajakan; (4) tingkat suku bunga ditentukan oleh mekanisme pasar; (5) tingkat pertukaran yang kompetitif; (6) liberalisasi perdagangan; (7) swastanisasi perusahaan-perusahaan milik negara; (8) deregulasi; (9), liberalisasi aliran masuk dan keluar investasi asing langsung; dan (10) jaminan keamanan bagi hak kepemilikan.

Lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan juga WTO, kemudian menjadi aparat strategis bagi penyebaran ide dan kebijakan neoliberal tersebut, melalui apa yang dikenal sebagai kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policy), yakni stabilisasi, liberalisasi perdagangan dan aliran modal, serta deregulasi dan privatisasi ekonomi domestik. Setelah itu, tak ada lagi Marshal Plan yaitu proyek pengucuran dana besar-besaran dari AS ke Eropa Barat paska PD II, untuk merekonstruksi negara-negara tersebut dari kehancuran akibat perang. Tak ada lagi bantuan tanpa persyaratan ketat. Tak ada lagi makan siang gratis.

Demikianlah, sejak berkuasanya rejim neoliberal, sektor finansial menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia. Ditambah dengan perkembangan pesat teknologi komputer dan internet, pergerakan sektor finansial ini makin tak terbendung. Sebagai contoh, pada tahun 1970 perdagangan harian mata uang asing meningkat dari $10 miliar menjadi $20 miliar. Pada tahun 2000, angka transaksi harian mata uang asing ini melonjak drastis menjadi $1.6 trilyun atau 70 kali lipat perdagangan dunia. Mantan managing director IMF, Rodrigo de Rato, pada 2006 mengatakan, antara tahun 1990 hingga 2005 diperkirakan jumlah kapitalisasi pasar ekuitas, terutama saham (sovereign plus corporate) dan asset perbankan dalam ekonomi dunia, meningkat dari 81 persen GDP menjadi 137 persen. Pertumbuhan pasar derivatif bahkan lebih pesat lagi, yakni tiga kali lipat dalam 5 tahun terakhir dengan rekor $285 trilyun. Angka ini enam kali lebih besar dari output global dan 50 kali lebih besar dari pasar utang publik AS.

Fakta ini menunjukkan, betapa finansialisasi bukan hanya menjadi minyak pelumas bagi bekerjanya sektor ekonomi lainnya, seperti sektor riil dan jasa. Lebih dari itu, finansialisasi telah berfungsi sebagai lem perekat bekerjanya perekonomian global. Jika sektor ini goncang, goncang pula sektor lainnya. Itu sebabnya, muncul lelucon yang tidak lucu, “Jika Alan Greenspan, gubernur Bank Sentral AS batuk, maka batuk pula ekonomi dunia.”

Dengan adanya pergerakan masuk-keluar kapital finansial jangka pendek (uang panas) dalam jumlah yang sangat besar ini, menyebabkan ekonomi negara berkembang sangat rawan krisis. Sedikit saja terjadi goncangan di pasar uang internasional, bisa dipastikan ekonomi domestik turut bergejolak. Kembali mengutip Ramaa Vasudevan, selama periode 1987-98, pasar yang sedang bertumbuh (emerging markets) mengalami 44 episode aliran masuk kapital, bandingkan dengan sembilan episode yang dialami oleh ekonomi negara maju. Dari jumlah 44 episode itu, lebih dari tiga episode berakhir dengan krisis mata uang secara tiba-tiba atau aliran masuk kapital yang mendadak berhenti.

Lebih lanjut Vasudevan menambahkan, pada periode 1973-1997, ketika negara kapitalis maju mengalami krisis finansial sebanyak 44 kali, di negara berkembang jumlah krisis yang sama dalam periode tersebut justru lebih banyak yakni, 95 kali. Bandingkan dengan periode 1919-1939, ketika negara kapitalis maju mengalami krisis finansial sebanyak 36 kali, di negara berkembang krisis finansial hanya terjadi sebanyak 13 kali; demikian juga pada periode 1949-71 ketika negara kapitalis maju mengalami krisis finansial sebanyak 21 kali, di negara berkembang krisis finansial hanya berlangsung sebanyak 17 kali.

“Ini pada dasarnya adalah prinsip ekonomi imperialis. Mata-rantai dari sistem keuangan ini adalah unipolarisme mata uang-dollar. Ini adalah cara AS untuk mengontrol ekonomi dan keuangan global, namun menjadi bencana bagi negara-negara yang terikat dengan dollar,” kata Rudi Hartono.

“Hampir tidak ada negara yang tidak memiliki hubungan keuangan dengan AS. Inilah yang menyebabkan krisis tahun 2008 menjadi krisis yang meluas secara global karena krisis bersumber dari AS,” Susilo menambahkan.



DI BAWAH sistem ekonomi yang telah terintegrasi secara mendalam, maka dua kemungkinan timbul: pertama, sangat tidak mungkin buat kita untuk menyelesaikan krisis ini jika terus melakukan kebijakan tambal-sulam atas kerusakan dari sistem ini; kedua, cara kita berpikir bahwa krisis yang terjadi di sektor riil atau yang terjadi di Indonesia saat ini, merupakan dampak dari krisis di sektor finansial dan akibat krisis yang terjadi di AS, harus diubah.

Kita mesti melihat bahwa krisis ini adalah krisis ekonomi kapitalis yang bersifat global. Artinya, benar bahwa krisis ini pemicunya adalah krisis di sektor finansial yang berlangsung di AS, tetapi akarnya adalah pada sistem ekonomi kapitalisme yang bersifat kontradiktif dan tidak stabil, yang tercermin pada kesenjangan antara pertumbuhan sektor produksi yang lamban dan sektor keuangan yang sangat ekspansif; antara daya beli yang stagnan dan tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Dengan demikian, sebuah penyelesaian yang bersifat tambal sulam tidak hanya mubazir tapi juga hanya menunda keburukan yang lebih parah. Apalagi dalam semangat tambal sulam itu, lalu mengklaim diri bahwa kita sedang mencari jalan sendiri untuk keluar dari krisis ini. Perdebatan yang tidak ada juntrungannya di seputar kasus bailout bank Century saat ini, merupakan contoh dari kegagalan melihat bahwa krisis ini merupakan krisis struktural, bukan krisis likuiditas sektor keuangan dan perbankan semata-mata.

Karena krisisnya bersifat struktural, maka baik Ma’ruf maupun Hartono kemudian mengajukan solusi-solusi yang bersifat struktural pula. Bagi Ma’ruf, satu-satunya jalan untuk mengakhiri kerusakan yang disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme adalah menggantinya dengan sistem sosialisme. Tetapi, seperti diingatkan Hartono, yang lebih penting adalah bagaimana agar solusi-solusi struktural itu tidak tersimpan di pinggiran, abstrak, dan sloganistik.

Ma’ruf mengatakan bahwa organisasinya, yakni Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), menyadari betul bahwa solusi struktural itu tidak semudah membalik telapak tangan. “Sebabnya,” demikian Ma’ruf, “meskipun perekonomian Indonesia rapuh, kaki-kaki kekuasaannya masih gagah berdiri dengan warisan hegemoni yang canggih sejak jaman orde baru.”

Dengan kesadaran seperti itu, persoalannya kemudian yang harus dipikirkan adalah: seperti apa wujud konkret program alternatif yang bersifat struktural itu, dan syarat-syarat politik seperti apa yang dibutuhkan untuk terwujudnya solusi-solusi struktural tersebut .

Baik Susilo, Ma’ruf, Hartono, maupun Budi Wardoyo, sepakat bahwa perlu segera dilakukan pembalikan arah pembangunan nasional dari pembangunan berorientasi ekspor menjadi pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Menurut Wahyu Susilo, lembaga tempatnya bernaung, yakni INFID, misalnya, mengajukan program seperti (1) Memproduksi dan menciptakan pasar di dalam negeri; (2) Mengembangkan sumber daya modal dari dalam negeri sehingga pembangunan tidak lagi dibiayai dari sumber utang luar negeri; (3) Membangun sistem perbankan yang mendukung usaha ekonomi di dalam negeri, dimana dua hal harus dipenuhi yakni, pembatasan kepemilikan bank oleh pihak asing, dan mengembalikan fungsi bank sebagai lembaga perantara antara sektor keuangan dan sektor riil.

Sementara solusi struktural yang diajukan PRD-Papernas, menurut Rudi Hartono menyangkut (1) Mendorong untuk segera diterapkannya regulasi terhadap sektor keuangan. Segala aktivitas spekulasi keuangan harus dilarang, dan seperti INFID, mereka menghendaki agar fungsi perbankan sekadar menjadi lembaga perantara; (2) Pemerintah harus memprogramkan pembiayaan (stimulus) untuk ekonomi sektor riil, pembangunan infrastruktur, dan pembiayaan yang lebih besar untuk pedesaan (petani), industri kecil, dan UKM; (3) Mendukung segala bentuk intervensi negara yang progresif, seperti penciptaan sistim jaminan sosial, perbaikan layanan publik, mengontrol harga sembako, melakukan proteksi terhadap sektor ekonomi (industri dan pertanian), dan penciptaan lapangan pekerjaan; (4) Pemerintah harus mengontrol produksi bahan makanan dan energi untuk kepentingan rakyat dan ekonomi dalam negeri. Seluruh kontrak pertambangan yang merugikan kepentingan nasional, harus ditinjau ulang. Kebijakan orientasi ekspor energi mentah (gas, BBM, batubara) harus diubah dan difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan domestik; (5) Mendorong integrasi regional melalui kerjasama ekonomi, perdagangan, sosial, dan kebudayaan yang didasarkan kepada solidaritas, kesetaraan, dan kemakmuran bersama.

Tetapi, sebuah pergeseran orientasi pembangunan dari bersifat ke luar menjadi bersifat ke dalam negeri, tidak otomatis mencerminkan pergeseran ideologi pembangunan dari sistem kapitalisme menjadi non-kapitalisme. Untuk itu prinsip lain mesti ditambahkan, bahwa seluruh aktivitas perencanaan dan pengelolaan aktivitas ekonomi tersebut harus berada di bawah kontrol rakyat. Kita tidak bisa menyerahkan agenda pembangunan berwatak kerakyatan di tangan para elite politik, apalagi pada kekuatan politik anti-demokrasi. Hal inilah yang mendapatkan penekanan utama dari Anwar Maruf dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) dan Budi Wardoyo dari KPRM-PRD.

“Gerakan kontrol rakyat harus dibangun dan diarahkan pada jantung-jantung kekuasaan alat produksi. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan negara (BUMN) yang saat ini sedang atau sudah dalam proyek privatisasi, harus terus dilawan dengan kekuatan bersama,” kata Ma’ruf.

Ma’ruf menambahkan, makna kontrol di sini tidak hanya mengawasi tetapi lebih pro-aktif masuk dalam penyelamatan dan penyehatan untuk kepentingan yang lebih besar. Selain itu perlunya masuk dalam perencanaan pembangunan dengan membangun Dewan-Dewan Rakyat. Di sektor industri perlu adanya Dewan Industrialisasi Nasional, di sektor Agraria perlu adanya Dewan Keadilan Agraria. Disana perwakilan kelas buruh dan tani harus dominan dalam menentukan arah kebijakan yang berpihak pada rakyat pekerja.

Keberadaan kontrol rakyat ini dalam pembangunan industri nasional, menurut Wardoyo merupakan syarat mutlak. Dan kontrol rakyat itu hanya mungkin ada dalam sistem demokrasi sepenuh-sepenuhnya bukan demokrasi borjuis, demokrasi elit, atau demokrasi perwakilan. Bagi Wardoyo, demokrasi sepenuh-sepenuhnya adalah demokrasi yang melibatkan rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan-keputusan publik sehari-harinya (bukan hanya sekedar dilibatkan dalam pemilu-pemilu saja).

“Sebuah sistem ekonomi yang berpihak pada pada mayoritas rakyat (sosialisme) hanya dapat terwujud jika kekuasaan politik berada ditangan rakyat, sebab dengan kekuasaan politik (yang demokratis) di tangan rakyat, seluruh persoalan ekonomi dapat dipecahkan, dicarikan jalan keluarnya dengan partisipasi penuh rakyat, bukan lagi sekedar segelintir elit,” pungkas Wardoyo.***

Coen Husain Pontoh, mantan Kontributor majalah Pantau, kini mahasiswa ilmu politik di Graduate Center for Workers Education, CUNY, AS.