Bonnie Setiawan
MODUS operandi yang saat ini gencar digunakan untuk mempercepat ekspansi kapitalisme neoliberal, adalah melalui perdagangan bebas. Perjanjian Perdagangan Bebas di tingkat multilateral (diikat oleh banyak negara), dikenal sebagai WTO (World Trade Organization), yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Trade and Tariff). Sementara, di tingkat bilateral dan kawasan (regional), disebut sebagai FTA (Free Trade Agreement).
Melalui FTA, setiap negara yang terikat padanya harus meliberalisasi pasar mereka agar terbuka sepenuhnya untuk dimasuki barang dan jasa (terutama sektor keuangan) dari luar. Dengan WTO dan FTA, dilestarikanlah penjajahan tidak langsung. Kalau kita ingat diktum perdagangan masa lalu, “if goods can not enter the boundaries, soldier do,” kini invasi tentara asing tidak lagi diperlukan. Metode yang lebih canggih dan lebih eksploitatif, dilakukan lewat perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Melalui perjanjian tersebut, Indonesia sudah diikat leher, tangan, dan kakinya untuk memajukan kepentingan nasionalnya. Arah pembangunan ekonomi sepenuhnya menurut pada kepentingan ekspansi pasar global.
Akibat ikutan dari perjanjian perdagangan bebas itu, seluruh strategi pembangunan ekonomi di sebuah negara kini telah dihapus. Lagi-lagi, Indonesia adalah contoh klasik tentang sebuah negara yang kedaulatan ekonominya dipreteli atau dilucuti lewat IMF. Sejak 1998, Indonesia, misalnya, tidak punya lagi Repelita (rencana pembangunan lima tahun) dan GBHN (garis-garis besar haluan negara), yang berarti kita tidak punya lagi strategi dasar pembangunan ekonomi. Sejak itu, perencanaan diserahkan sepenuhnya pada ketentuan dan kemauan pasar bebas. Ditambah lagi amandemen ke-4 UUD 45 tahun 2002, yang memasukkan kata ‘efisiensi’ dalam pasal 33 dan menghapus penjelasan UUD 45. Seluruh UU sektoral sejak itu juga diubah menjadi UU yang pro kebijakan neoliberal dan ramah pasar. Lalu dengan terikat kepada WTO sejak 1994 dan FTA (pertamakali lewat AFTA tahun 2002, China-ASEAN FTA tahun 2004 dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007), perlahan tapi pasti, ekonomi Indonesia terbuka lebar bagi invasi ekonomi asing.
Kini makin jelas, tidak perlu lagi invasi tentara asing. Cukup memasukkan segala ketentuan perdagangan bebas dan pasal-pasal neoliberal ke dalam semua hukum positif kita, maka habislah sudah kedaulatan ekonomi kita.
Sejak krisis 1997-1998 hingga krisis 2008-2009 sekarang, Indonesia terus-menerus memelihara krisis, karena penyebab krisis tetap dipertahankan. Rejim devisa bebas dan sistem keuangan yang sangat liberal, menyebabkan Indonesia terus berada dalam cengkeraman krisis. Liberalisasi oleh IMF, yang sifatnya sebagai pembuka pintu, kini dikunci ke dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Aturan-aturan perdagangan barang (dan pertanian), jasa, investasi, HAKI (hak atas kekayaan intelektual), belanja pemerintah, kebijakan kompetisi, fasilitasi perdagangan, terus masuk dalam berbagai FTA. Bahkan dalam FTA, sifatnya adalah WTO-plus, dimana cakupan dan kualitasnya lebih luas ketimbang di WTO. Banyak orang tidak menyadari hal ini, bahwa rejim perdagangan bebas sekarang adalah konstitusi dunia abad 21, menentukan segala sesuatunya di dunia ini.
Di tingkat ASEAN, sudah dibuat payungnya bernama AEC (ASEAN Economic Community), yang menaungi semua perjanjian perdagangan bebas. Di dalamnya ada AFTA yang sekarang menjadi ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) dan ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement). Di tingkat FTA, sudah ada ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Jepang FTA, Indonesia-Jepang EPA, dan ASEAN-Australia/NZ FTA, dan ASEAN-India FTA; dan masih akan diadakan FTA dengan Uni-Eropa, FTA dengan AS, FTA dengan EFTA (European Free Trade Area) yang non-Uni-Eropa, dan lainnya. Semua ini mengarah kepada “single market and production base” serta “free flow of goods, capital, services, and skilled labor”. Indonesia adalah pasar terbesar di ASEAN, tetapi tunduk patuh pada kepentingan negara liberal yang kecil seperti Singapura. Dengan rezim perdagangan bebas ini, pasar kita yang besar dan usaha-usaha perekonomian kita telah dan akan terus dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing (TNCs). Tidak ada yang tersisa untuk rakyat.
KTM WTO VII Di Jenewa dan COP15 UNCCC DI Kopenhagen
Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-7, pada Desember 2009 lalu di Jenewa, diadakan setelah WTO “buntu” selama 4 tahun sejak KTM terakhir di Hong Kong tahun 2005. Ini juga menandai dibukanya kembali perundingan Putaran Doha yang telah “buntu” selama 8 tahun, sejak pertama kali dikumandangkan di Doha, Qatar, tahun 2001. Perlu diingat, Putaran Uruguay yang melahirkan WTO, juga memakan waktu 8 tahun (1986-1994). Putaran Doha saat ini, sudah berlangsung 8 tahun, tetapi belum juga menyelesaikan hal-hal mendasar. Ambisi Pascal Lamy, Dirjen WTO saat ini adalah untuk menyelesaikan modalitas pertanian dan modalitas NAMA (Non Agriculture Market Access), secara minimum pada KTM ke-7 ini. Setelah itu menyelesaikan semua agenda program Putaran Doha sampai dengan 2010, atau setidaknya sampai KTM berikutnya pada 2011.
Kepentingan utama sebenarnya tidak untuk menyelesaikan Putaran Doha, tetapi untuk mengadopsi dua modalitas paling penting tersebut: Pertanian dan pasar Industrial. Sebabnya, masa vakum yang telah lama berlangsung semenjak Hong Kong, menyebabkan anggota-anggota WTO tertekan untuk segera menyelesaikan PR tersebut. Ditambah dengan krisis global paling parah saat ini, yang justru dipakai sebagai dalih agar aturan multilateral WTO dapat ikut serta mengatasi krisis melalui relaksasi ekonomi dan pembukaan pasar-pasar baru dan momentum arus perdagangan yang lebih terbuka. Hal ini tampak dalam paduan suara Negara-negara yang tergabung dalam G-20 di Pittsburgh, ASEAN Summit di Hua Hin, Thailand; dan sekali lagi dikumandangkan dalam Konperensi APEC di Singapura, pada November 2009. Intinya, Perdagangan Bebas akan menjadi dewa penyelamat Krisis global. Dalih lainnya adalah peyelamatan atas forum multilateral WTO, yang tetap dianggap sebagai ‘panutan’ dari semua aturan dan ketentuan perekonomian dan perdagangan global.
Langkah-langkah ini sangat aneh, karena krisis parah yang disebabkan oleh pasar yang terlalu bebas dan minim aturan, justru hendak disembuhkan pasar yang lebih bebas lagi. Dengan kata lain, krisis kapitalisme dunia sekarang, hendak disembuhkan dengan kapitalisme yang semakin diperluas jangkauannya. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah mengekang kapitalisme itu sendiri. Inilah yang terjadi saat ini. Dan kita tahu, krisis ini bukanlah akhir dari kapitalisme. Ini adalah kontradiksi dasar dari kapitalisme, dimana krisis menjadi momen penyembuhan kapitalisme dan bangkitnya kapitalisme yang lebih kuat lagi. Hal ini sudah dicatat dalam riwayat panjang sejarah kapitalisme dunia. Tapi pertanyaan mendasarnya: sampai kapan kapitalisme bisa bertahan?
Setelah Konperensi WTO, dilanjutkan dengan Konperensi Perubahan Iklim di Kopenhagen (lengkapnya bernama COP-15 UNCCC atau Conference of the Parties ke-15 dari United Nations Conference on Climate Change). Satu hal penting yang harus dicatat dari konperensi Iklim ini, muncul kesadaran bahwa dunia ternyata mempunyai batas, pertumbuhan ekonomi ada batasnya, demikian pula dengan akumulasi modal. Jika batas ini dilanggar, akibatnya adalah punahnya bumi sebagai satu-satunya tempat tinggal manusia. Bila kita ingat peringatan Klub Roma di tahun 1970an: the limit to growth (batas-batas pertumbuhan), kini hal itu semakin nyata lewat global warming (pemanasan global). Bumi tidak mungkin dieksploitasi terus menerus dengan kecepatan dan derap laju produksi seperti sekarang. Isu iklim kini menjadi sangat strategis. Kerakusan manusia tidak ada batasnya, tapi bumi punya batasan-batasan eksak.
Tetapi korporasi besar dunia dan para globalis elit menutup mata soal ini. Peringatan akan bahaya pemanasan global, dianggap sebagai isapan jempol belaka. Bahkan, konperensi perubahan iklim kini menjadi ajang jual beli karbon dan emisi, serta mengaitkan rejim perdagangan bebas dalam mekanisme pemecahan masalah ‘adaptasi’ dan ‘mitigasi’ demi keuntungan yang lebih besar dan penciptaan pasar ‘hijau’ (green market) yang baru, yang dapat menciptakan kesempatan-kesempatan bisnis dan perdagangan baru.
Bagi kalangan elite globalis itu, KTM 7 WTO dan UNCCC COP-15, ditafsirkan menjadi rejim perdagangan baru yang hijau (ramah lingkungan). Ini juga nama lain dari kapitalisme hijau (green capitalism) dengan esensi yang sama, yaitu tetap melestarikan kerakusan dan eksploitasi. Akan tetapi, kapitalisme hijau hanyalah stempel. Kapitalisme hasil dari krisis global sekarang akan dapat dilihat dalam 2-3 tahun ke depan, yaitu restrukturisasi dan overhaul atas kapitalisme global yang sekarang ke arah kapitalisme tahap lebih tinggi.
Akhir Dari Kapitalisme dan Lahirnya Sosialisme Baru?
Sebagaimana kata Karl Marx, “kapitalisme akan menggali kuburnya sendiri untuk digantikan oleh sosialisme” dan bahwa “sosialisme lahir dari kandungan kapitalisme.” Hal ini merupakan kata pengingat, untuk melihat fenomena munculnya era kapitalisme yang lebih baru (mutakhir) dan tanda-tanda lahirnya kembali sosialisme yang merupakan hasil dari melenyapnya kapitalisme.
Isu perubahan iklim dan pemanasan global penting untuk menunjukkan, bahwa untuk bisa mempertahankan pola produksi, distribusi dan konsumsi saat ini, maka manusia memerlukan 5 planet bumi, sesuatu yang musykil. Untuk tetap bisa hidup di bumi saat ini, seluruh pola produksi, distribusi, dan konsumsi manusia haruslah dipotong empat-perlimanya atau 80 persen % menjadi sekitar 20 persen. Hanya pada tingkat seperti itulah, kehidupan di atas bumi ini bisa langgeng dan lestari.
Apa arti semua ini? Tidak lain, seluruh output industri dan seluruh pertumbuhan ekonomi haruslah dikurangi hingga ke arah ambang batas dan daya tahan planet bumi. Konsekuensinya, seluruh asset produksi dan sumber-sumber alam haruslah disosialisasi untuk kebutuhan seluruh umat manusia. Premis ekonomi privat dan individualisme, tidak dapat lagi dipertahankan. Seluruh premis ekonomi harus bersifat sosial, yaitu sosialisme. Ini adalah keniscayaan, ini adalah hal yang tak bisa dihindari. Kerakusan individual manusia; rezim individualisme atau rezim privat, tidak punya masa depan dan tidak bisa lagi dipertahankan. Masa depan umat manusia ada pada sosialisasi atas segala alat produksi dan sumber-sumber alam. Barulah bisa tercipta bumi yang damai, sehat, dan berkelanjutan.
Karena itu, perjuangan sekarang adalah perjuangan mewujudkan sistem sosialisme. Kapitalisme adalah masa lalu yang, sayangnya, terus menerus dipertahankan demi kerakusan segelintir manusia. Kapitalisme tidak dapat dipertahankan lagi karena hanya akan menambah banyak deretan jumlah korban. Jutaan dan puluhan juta rakyat akan terus miskin dan dimiskinkan dan ditindas. Kita tidak bisa biarkan hal tersebut terus terjadi, atas nama pertumbuhan ekonomi, yang sebenarnya adalah bahasa lain dari akumulasi modal dan akumulasi keuntungan para kapitalis.
Indonesia sebagai negeri yang rakyatnya serba miskin dan ekonominya terbelakang, karena terus menerus dijajah secara langsung maupun tak langsung, harus mendobrak kemacetan sistem ini. Satu-satunya cara adalah menganut sistem sosialisme Indonesia, yaitu sosialisme yang sesuai dengan karakter dan ciri-ciri masyarakat Indonesia beserta geografinya, iklimnya, alamnya, demografinya, dan sebagainya.
Sosialisme adalah masa depan Indonesia. ***
Bonnie Setiawan, penggiat di Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta.
Artikel ini sebelumnya adalah makalah yang disampaikan dalam diskusi di Galeri Publik, Institute For Global Justice (IGJ), tanggal 7 Januari 2010, dengan topik "Perdagangan Bebas dan Kapitalisme Domestik"