John Roosa
PERTAMA saya mendengar berita bahwa terjemahan buku saya, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia), dilarang, saya dikuasai rasa déjà vu. Saya seakan-akan masih hidup di masa Suharto, ketika semua barang cetakan disensor, ketika mahasiswa dituntut ke pengadilan karena membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer, ketika begitu banyak kawan-kawan saya yang berjuang melawan sang diktator bekerja secara anonim dan acap kali bergerak di bawah tanah … Tubuh saya meregang dan adrenalin pun mengalir deras.
Perlu beberapa saat bagi saya untuk menghela nafas dan menyadari bahwa sekarang masa Reformasi. Pelarangan buku di masa ini merupakan anomali di tengah kemajuan luar biasa di bidang reformasi hukum sejak 1998. Pelarangan buku itu kuno, bagian dari kecanduan nostalgik akan kesederhanaan masa lampau, yang diantaranya tampak pada popularitas restoran-restoran tempo doeloe. Pengumuman Kejaksaan Agung pada 23 Desember 2009, seperti barang antik yang dikeluarkan dari gudang berdebu, menghadirkan kembali masa lalu ketika pelarangan buku memang bermakna sesuatu, saat internet, alat pemindai, flash disk dan buku elektronik belum beredar luas.
Warga negara Indonesia sudah memiliki kepercayaan diri yang lebih besar di hadapan penguasa sejak 1998. Rektor, sejarawan, ahli hukum, wartawan, anggota parlemen dan mahasiswa mengecam pelarangan buku kali ini. Komentar yang muncul biasanya adalah pelarangan buku melecehkan kecerdasan warga negara dalam menilai buku-buku yang pantas bagi mereka. Media massa jarang menyiarkan komentar dari orang-orang yang menyetujui pelarangan buku. Meminjam ungkapan ilmuwan Benedict Anderson, yang dicekal masuk ke negeri ini selama berpuluh-puluh tahun karena tulisannya tentang Gerakan 30 September, Indonesia memiliki masyarakat baru dan negara lama.
Sebagai sejarawan, saya terkesan bahwa hukum-hukum Indonesia tentang penyensoran masih terus berlanjut. Di tengah reformasi hukum yang meluas sesudah 1998, reformasi yang melahirkan salah satu pers paling bebas di Asia, undang-undang yang memandatkan penyensoran buku bersifat anakronistik. Kejaksaan Agung melarang buku saya dengan mengacu pada UU No. 4 tahun 1963, yang memberi Kejaksaan Agung ‘kewenangan untuk melarang beredarnya barang-barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.’ UU ini berasal dari periode Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno yang tidak disahkan oleh parlemen. Sukarno mengeluarkan peraturan tersebut sebagai penetapan presiden.
Di bagian pembukaan dikatakan undang-undang ini dirancang untuk melindungi ‘jalannya revolusi’ Indonesia. Itu adalah bahasa Sukarno. Suharto naik kekuasaan dengan menggunakan bahasa yang sama (menyebut Gerakan 30 September ‘kontrarevolusioner’) tetapi segera mengabaikannya begitu ia berhasil menyingkirkan Sukarno. Apakah Kejaksaan Agung dewasa ini melarang barang-barang cetakan demi ‘Revolusi Indonesia’? Apakah bangsa ini masih bersiaga untuk mengganyang Malaysia?
Kejaksaan Agung tidak melaksanakan seluruh pasal dari UU No. 4. Penerbit seharusnya mengirimkan buku-buku mereka ke Kejaksaan Agung dalam waktu 48 jam setelah diterbitkan. Tak seorang pun melakukan hal itu sekarang. Hukuman bagi pengedaran buku terlarang dapat berupa pidana penjara sampai satu tahun atau denda sebesar Rp 15.000,00. Saya pilih membayar denda saja, terimakasih.
Jika Kejaksaan Agung memang masih setia pada gagasan Sukarnoisme, mereka tentunya akan memuji buku saya. Betapa pun saya tidak menyukai aspek-aspek otoritarian dari Demokrasi Terpimpin, saya sangat menghormati kecerdasan, kebersahajaan, dan kebijakan anti-imperialis Sukarno. Saya kira buku saya dapat berperan dengan baik sebagai penjabaran analisis tiga tingkat Sukarno yang kelewat singkat tentang Gerakan 30 September: keblingeran pimpinan PKI, kelihaian subversi nekolim dan adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’ (rupanya berarti Suharto dan rekan-rekannya). Buku saya mendukung perumpamaan yang digunakan Sukarno tentang kekerasan massal yang dilaksanakan atas nama penumpasan Gerakan 30 September: ‘mau membunuh tikus, seluruh rumahnya dibakar.’
Tugas kunci periode Reformasi adalah mengatasi warisan dua kekuasaan otoriter dan menciptakan pemerintahan yang berdasarkan rule of law. Dua capaian terpenting adalah pembatalan UU Anti Subversi 1963 yang sangar itu oleh Presiden Habibie dan pembubaran Bakorstanas, badan intelijen dengan kekuasaan tak terbatas dan tak terdefinisikan yang berasal dari situasi darurat Oktober 1965, oleh almarhum Presiden Abdurrahman Wahid.
Reformasi telah melukai UU No. 4 tahun 1963 tetapi belum membunuhnya. Undang-undang Pers 1999 yang patut dipuji sudah menghapuskan pelaksanaan UU tersebut bagi suratkabar, majalah, dan terbitan berkala, sementara membiarkan pelaksanaannya bagi barang-barang cetakan yang lain. Jadi kita sekarang menghadapi suatu situasi yang aneh karena Kejaksaan Agung tidak berwenang menyensor ataupun membredel pers tetapi mereka dengan leluasa masih dapat melarang buku, pamflet dan poster. Seandainya saya menerbitkan teks buku saya dalam bentuk serial di jurnal akademis, teks tersebut akan kebal pelarangan. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimmly Asshiddiqie, telah menyatakan di pers bahwa UU no. 4 itu ‘ketinggalan zaman.’
Banyak negara memiliki undang-undang yang menjurus pada pelarangan barang-barang cetakan, biasanya dalam rangka memberantas pornografi. Di kebanyakan masyarakat demokratis, pelarangan dilakukan melalui pengadilan. Jaksa harus menjelaskan secara terbuka hal-hal yang dipersoalkan dalam suatu terbitan dan berusaha mempengaruhi hakim atau juri akan kebutuhan melarang suatu terbitan. Jaksa harus membuktikan bahwa terbitan tertentu memang melanggar hukum. Penulis dan penerbit dapat menyampaikan sanggahan mereka. Undang-undang negara Jerman untuk melawan pengingkaran akan adanya Holocaust bekerja dengan cara seperti ini: jaksa membawa kasus mereka ke pengadilan. Mereka tidak melarang buku secara sepihak. Walaupun saya menentang pelarangan buku di mana pun, saya menerima bahwa prosedur yang terbuka dan transparan di wilayah hukum lebih baik daripada prosedur rahasia yang sewenang-wenang di dalam sebuah birokrasi yang misterius.
Penerbit saya dan saya sendiri tidak tahu persis mengapa buku saya dilarang. Kami menerima berita tentang pelarangan tersebut, seperti orang-orang lain, dari pers. Dalam pernyataan pers pada 23 Desember, Kejaksaan Agung hanya memberi satu alasan bagi tindakannya: buku saya ‘mengganggu ketertiban umum.’ Dalam forum tak resmi di sebuah acara bincang-bincang di televisi pada 28 Desember juru bicara Kejaksaan Agung, menurut berita layanan pesan singkat yang saya terima dari seorang kawan, memberi tiga alasan yang sedikit lebih spesifik: buku saya ‘provokatif’, ‘menentang UUD 45 dan Pancasila’, dan ‘mempropagandakan komunisme.’ Bagaimana Kejaksaan Agung sampai pada penafsiran serupa ini tetaplah merupakan suatu misteri. Mungkin petugas-petugas Kejaksaan Agung, mirip dengan tindakan mereka saat melarang buku-buku Pramoedya pada 1980an, bertumpu pada ilmu tafsir sangat canggih yang dapat melacak pesan-pesan tersembunyi dan tersirat. Seseorang dapat menafsirkan pelarangan buku sebagai tindakan melawan konstitusi (Pasal 28C dan 28F).
Juru bicara Kejaksaan Agung menyebutkan, kantornya telah mendaftar 143 bagian dalam buku saya yang bermasalah. Akan sangat mendidik bagi saya, ilmuwan lain di bidang sejarah Indonesia, dan masyarakat pada umumnya jika dapat membaca laporan tersebut selengkapnya. Kalau tidak, kita tidak punya bayangan tentang apa yang sebaiknya tidak dilakukan pada saat menulis di masa yang akan datang. Sejauh ini Kejaksaan Agung bahkan belum menyampaikan Surat Keputusan yang dimaksud. Tim pelarangan, yang diberi nama aneh ‘Clearing House,’ bekerja selama lebih dari setahun. Dengan melaksanakan penelitian sedemikian berkepanjangan dan mendalam terhadap buku saya, Kejaksaan Agung sudah membuat kolega-kolega saya di kalangan akademisi yang meninjau naskah buku saya sebelum diterbitkan tampak malas dan ceroboh. Akan sangat disayangkan jika seluruh kebijaksanaan yang diperoleh tim ‘Clearing House’ tetap tersimpan di laci meja kantor Kejaksaan Agung.
Tetapi ya, menurut Kejaksaan Agung laporan itu memang seharusnya tetap disimpan. Masyarakat Indonesia masih merupakan ‘massa mengambang’ yang tidak dapat dipercaya, seperti dikatakan kaisar intelijen di zaman Suharto, Ali Moertopo. Juru bicara Kejaksaan Agung menyatakan: ‘Kami tidak akan menjabarkan secara rinci alasan-alasannya [pelarangan] karena publik, terutama yang di tingkat bawah, mungkin akan bereaksi dengan cara yang akan menimbulkan konflik.’ Saya menduga-duga siapa sebenarnya yang disebut publik di ‘tingkat bawah’ ini, dan bagaimana mereka akan mengamuk setelah membaca 300 halaman buku-buku akademis dan menilai laporan dengan 143 butir.
Buku saya, aslinya diterbitkan oleh penerbit universitas di Amerika Serikat, mengikuti metode-metode penelitian sejarah yang lazim dilakukan: buku ini didasarkan pada studi terhadap sumber-sumber primer dengan rentang terluas yang mungkin, menyajikan bahan-bahan dari sumber primer yang baru, secara kritis menilai sumber-sumber termaksud, mengulas bagaimana peneliti-peneliti lain telah menafsirkan sumber-sumber tersebut, dan mencapai sejumlah kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Buku ini dimaksudkan untuk menyumbang pada diskusi berkelanjutan di kalangan masyarakat tentang peristiwa-peristiwa di sekitar1965-66. Buku ini seharusnya membantu mereka yang tidak setuju dengan argumen-argumen yang diajukan buku ini untuk mempertajam argumen-argumen mereka sendiri.
Sudah banyak buku diterbitkan sejak kejatuhan Suharto pada 1998 yang mengritik versi rezim Suharto tentang peristiwa-peristiwa di sekitar 1965-66. Kecuali beberapa buku pelajaran pada 2007, tak satu pun secara resmi dilarang. Saya tidak menganggap buku saya demikian istimewa sehingga patut mendapat Anugerah Kejaksaan Agung. Buku saya sebenarnya mendukung sebagian dari versi rezim Suharto (tentang peran Biro Chusus dalam PKI) bahkan pada saat buku ini menolak bagian-bagian yang lain (seperti klaim bahwa setiap anggota PKI bertanggungjawab atas Gerakan 30 September). Banyak buku-buku Marxis, termasuk Kapital karya Marx, tidak dilarang. Bagaimana mungkin buku saya, dengan seluruh kritiknya terhadap PKI, ‘menyebarkan komunisme’ lebih baik daripada tulisan-tulisan Marx sendiri?
Saya justru khawatir Kejaksaan Agung tidak memiliki staf yang memadai untuk membacai semua buku yang dianggap mencurigakan. Bagaimana pun, Kejaksaan Agung menghadapi keterbatasan anggaran dan banyak tugas yang harus dipenuhi, seperti menuntut seorang ibu rumah tangga (Prita Mulyasari) yang menyampaikan keluhan dalam surat elektronik pribadi tentang layanan rumah sakit, perempuan tua dan miskin (Nenek Minah) yang mencuri tiga buah coklat dari perkebunan, dan seorang jurnalis (Bersihar Lubis) yang mengutip Joesoef Isak (pendiri Hasta Mitra yang juga menerbitkan buku saya) yang menyebut pejabat Kejaksaan Agung 25 tahun lalu ‘dungu’.
Sepanjang tahun Kejaksaan Agung meneliti buku saya, kantor ini juga harus menangkal tuduhan korupsi. Presiden menyatakan adanya ‘mafia peradilan.’ Tim Delapan yang dibentuk presiden menyampaikan rekomendasi pada November 2009 agar Kejaksaan Agung direformasi secara drastis. Jaksa Muda bidang Intelijen, Wisnu Subroto, yang bertanggungjawab atas Clearing House ketika buku saya sedang diteliti secara mendadak mengundurkan diri pada pertengahan 2009, setelah ada bukti yang menunjukkan bahwa ia terlibat dalam korupsi. Saya berpikir apakah Kejaksaan Agung merupakan tempat yang tepat untuk menentukan versi yang benar tentang sejarah Indonesia.
Di zaman serba komersil seperti ini beberapa penerbit ingin buku-buku mereka dilarang agar dapat memanfaatkan Kejaksaan Agung untuk iklan gratis. Untuk memastikan bahwa tak seorang pun berpikir bahwa kami akan mengambil untung dari ketertarikan tiba-tiba terhadap buku saya, penerbit saya dan saya sendiri memutuskan untuk melepaskan hak cipta dari terjemahan Indonesianya. Paling tidak, enambelas situs di internet telah menampilkan seluruh teks buku agar dapat diunduh secara gratis. Salah satu penerbit buku saya, Institut Sejarah Sosial Indonesia, menyatakan agar tidak ada lagi batas memperoleh pengetahuan kecuali kepicikan itu sendiri, dan saya kira juga, sambungan internet yang lambat.
Pelarangan buku saya oleh Kejaksaan Agung, telah melecehkan kemajuan-kemajuan hebat di bidang reformasi hukum yang dicapai Indonesia sejak 1998. Tindakan itu memberi kesan yang salah tentang negeri ini kepada masyarakat internasional. Seandainya saya orang Indonesia – mengikuti judul esai terkenal Ki Hadjar Dewantara yang dilarang pemerintah kolonial pada 1913 karena ‘mengganggu ketertiban umum’ – saya akan percaya, sejalan dengan Ki Hadjar, Bapak Pendidikan Indonesia, bahwa kemajuan bangsa ini bertumpu pada membaca lebih banyak buku, bukan melarang lebih banyak buku, dan pada keyakinan diri dan kemerdekaan berpikir rakyatnya, bukan pada kepatuhan intelektual yang dipaksakan negara.***
John Roosa, adalah Associate Professor bidang Sejarah, dan Wakil Ketua Departemen Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Artikel ini adalah versi ringkas ‘Book Banning in Indonesia : A Blast from the Past’ dimuat di Jakarta Post, 13 Januari 2010, dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.