Roby Muhamad
DALAM rezim demokrasi, setiap kebijakan publik harus memenuhi dua syarat mutlak: kebijakan yang berkualitas dan baik untuk demokrasi itu sendiri. Kedua tuntutan ini sering dianggap saling bertentangan. Tuntutan untuk menghasilkan kebijakan publik dengan kualitas tinggi sering dijadikan alasan untuk memberikan kewenangan penuh pada pakar atau teknokrat. Logikanya sederhana: jika ingin kebijakan sebagai solusi masalah maka serahkan pada ahlinya.
Di sisi lain, menyerahkan sepenuhnya pembuatan kebijakan pada sekelompok ahli dibalik pintu tertutup yang tidak diketahui publik mengurangi kualitas demokrasi. Esensi demokrasi adalah memberikan kesempatan yang sama ke semua orang untuk ikut menentukan jalannya pemerintahan. Sehingga dominasi ahli mencederai prinsip kesamaan kesempatan ini.
Sepintas demokrasi memang bukan sistem yang natural. Misalnya, ketika berhadapan dengan situasi medis yang gawat, lebih natural kita menyerahkan keputusan pada dokter ahli daripada melakukan pemungutan suara diantara teman dan kerabat kita mengenai tindakan apa yang harus diambil.
Retorika keahlian – seperti dokter menolong pasien yang sakit keras atau pemadam kebakaran yang memadamkan api sehingga mencegah korban lebih besar – sering dipakai sebagai metafora dari sebuah kebijakan kontroversial.
Sehingga pertanyaannya adalah jika seorang ahli lebih tahu cara penyelesaian masalah, lalu apakah otomatis ahli tersebut menjadi pemimpin yang harus kita ikuti?
Jawaban lengkap pertanyaan di atas tentunya memerlukan eksposisi yang mendetail. Apa yang ingin saya sampaikan disini hanyalah argumen teoritis yang saya pikir dapat menjadi dasar untuk pengembangan selanjutnya.
Metafor dokter atau pemadam kebakaran adalah karikatur. Sebagaiman layaknya sebuah karikatur, ia berguna karena melebih-lebihkan satu sisi dan menyembunyikan sisi lainnya.
Terdapat dua perbedaan utama situasi medis atau kebakaran dengan proses pengambilan kebijakan publik dalam rejim demokrasi. Pertama, ketika kita mengakui bahwa dokter memang ahli menyembuhkan penyakit. Artinya kita bisa mengidentifikasi ahli dan keahliannya memang relevan dengan masalah yang dihadapi. Kedua, kita memberikan consent kepada dokter untuk mengambil tindakan terhadap tubuh kita.
Dalam domain pemerintahan, consent ini bermasalah. Biasanya kita tidak memberikan consent kepada ahli atau teknokrat tapi kepada pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, tidak semua orang memilih pejabat yang berkuasa tetapi kebijakan yang dia buat berlaku baik untuk mereka yang memilihnya maupun yang tidak.
Penyelesaian masalah consent ini sangat rumit dan mungkin belum ada solusi praktisnya. Tetapi alasan pertama tentang kesulitan mengidentifikasi ahli dan keahliannya memutus argumen bahwa seorang ahli otomatis memiliki otoritas untuk memimpin. Penjelasannya sebagai berikut.
Misalkan anda seorang penganut agama yang salah dan percaya bahwa pemimpin harusnya seorang penganut agama yang benar. Karena anda tidak tahu bahwa agama anda salah, maka anda memilih pemimpin yang sama agamanya dengan anda; meskipun agama anda dan pemimpin ini salah. Masalahnya disini adalah anda tidak mengenali siapa ahli yang benar.
Jadi meskipun anda percaya bahwa ahli harus memimpin, tidak otomatis ahli menjadi pemimpin karena sulit mengidentifikasi secara pasti ahli tersebut.
Lalu bagaimana solusinya?
Karena penilaian tentang keahlian bergantung pada domain pengetahuan yang digunakan, maka untuk meningkatkan kemungkinan menemukan ahli yang legitimasinya diakui dari berbagai sudut pandang perlu melibatkan lebih banyak domain pengetahuan. Singkatnya, kita perlu memperluas partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Partisipasi publik ini bukan hanya penting untuk memberikan legitimasi demokratis tapi juga untuk meningkatkan kualitas kebijakan.
Metoda penyelesaian masalah yang umum dilakukan adalah sebagai berikut. Sebuah masalah besar dipecah menjadi masalah-masalah yang lebih spesifik. Selanjutnya masalah-masalah spesifik tersebut dipecahkan oleh ahli nya masing-masing. Artinya ahli adalah spesialis, dan spesialis bermanfaat memecahkan masalah spesifik yang sama dengan spesialisasinya.
Untuk masalah sederhana yang dapat dipecah, kita tidak kesulitan menentukan spesialisasi apa yang dibutuhkan. Tetapi banyak masalah kompleks yang dihadapi kita sekarang – misalnya kemiskinan, pendidikan, kesehatan – yang sulit dipecah menjadi sub masalah yang terpisah-pisah. Konteks sosial, sejarah, budaya, dan geografis yang unik menambah derajat kompleksitas masalah; sehingga kita tidak bisa sekedar menggabungkan para spesialis.
Artinya, penyelesaian masalah secara hirarkis tidak akan mampu mengatasi masalah dan konteks yang sangat bervariasi. Partisipasi lokal yang dinamis (juga dikenal sebagai wisdom of the crowd) menjadi salah satu cara untuk merespon variasi yang tinggi ini karena memungkinkan terjadinya proses pembelajaran sosial yang terus menerus.
Kesimpulannya, legitimasi demokratis yang berkualitas dapat diraih dengan memobilisasi pengetahuan seluas-luasnya. Partisipasi publik dapat menyelesaikan apa yang dianggap Hayek sebagai masalah fundamental yang harus diselesaikan ilmu sosial dan pemerintahan demokratis: bagaimana menggunakan pengetahuan yang tersebar di setiap orang.***
Roby Muhamad, adalah kandidat doktor sosiologi di Universitas Columbia, NY, Amerika Serikat.