Mengenang Fauzi Abdullah (1949-2009)

Beberapa Pikirannya tentang Gerakan Buruh
Fahmi Panimbang

SETIAP hari Idul Qurban, saya selalu mengucapkan terima kasih pada Fauzi Abdullah atas pelajaran berkorban. Saya mengenalnya tidak terlalu lama, tidak lebih dari tujuh tahun terakhir dari seluruh usianya.

Bagi saya, Fauzi adalah guru sekaligus teman. Meski ia tidak pernah menggurui, saya banyak belajar darinya, terutama tentang perburuhan. Peran Fauzi sudah banyak menyumbang perkembangan gerakan buruh. Ia termasuk orang yang jarang, yang banyak berkorban, dan berani mengambil risiko dari melakukan pengorganisasian buruh, sejak masa Orde Baru yang kejam.

Fauzi tidak pernah menggurui siapapun. Meski gagasan-gagasannya besar dan melampaui perjuangan hak buruh di dalam pabrik atau perusahaan, pemikiran Fauzi selalu tertuju pada ‘yang bawah’ di serikat buruh. Sejak dulu, ketika menjadi relawan di LBH Jakarta tahun 1978, Fauzi memang selalu memilih duduk di tikar bersama-sama buruh dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Mendengar dan bertanya adalah metodenya.

Fauzi terinspirasi dari Pedagogi Kaum Tertindas, Paolo Freire. Ia pun mempraktekkan metode Freire ini dalam pengorganisasian buruh. Fauzi menggali pengalaman buruh bersama-sama buruh, mendorong mereka untuk mampu mengartikulasikan pengalamannya, mampu melakukan analisis sendiri atas kondisinya, dan juga mampu merumuskan tuntutannya sendiri.

Selalu sadar tentang nasib ‘yang bawah,’ Fauzi termasuk salah satu yang sadar bahwa kebanyakan buruh adalah perempuan, sehingga pendekatan pengorganisasian buruh pun harus memahami penindasan ganda yang dialami perempuan. Ia sudah banyak bekerja sama dengan perempuan dan memberi kesempatan pembelajaran gender dalam konteks perburuhan.

Lebih dari itu, Fauzi juga berpikir bahwa sangat penting untuk mendokumentasikan pengalaman buruh. Di lembaga yang turut ia bantu kelahirannya, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Fauzi hingga akhir usianya mengabdi mengembangkan gerakan buruh. Di lembaganya yang ramping itu, bersama dengan kawan-kawannya yang jauh lebih muda, Fauzi bekerja mendokumentasikan pengalaman buruh dan menyebarkan gagasan segar melaui penerbitan berkala, jurnal perburuhan Sedane.

Menurut Fauzi, gerakan buruh harus sadar betul bagaimana pengorganisasian buruh yang sesungguhnya. Ia selalu mencegah terjadinya mobilisasi massa. Satu ciri dari gerakan buruh tahun 1980-an yang dialaminya ialah selalu menolak cara-cara kekerasan, apalagi pengrusakan dan penjarahan. Aksi buruh pada dasawarsa itu, walau jumlahnya besar, tidaklah diwarnai kekerasan. Berbeda dengan sekarang, di mana aksi kecil saja sering berakhir dengan pengrusakan, satu citra negatif yang menempel pada buruh hingga sulit sekali mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas.

Berdasarkan pengalamannya, Fauzi berpendapat, cara memperjuangkan hak buruh tidaklah selalu harus dengan aksi mogok. Ia sadar bahwa serikat buruh haruslah dengan kuat melawan, tidak hanya terhadap pengusaha yang nakal dan negara yang kejam, tapi juga kapital global yang serakah. Tapi serikat buruh harus juga memiliki strategi yang penuh pertimbangan. Aksi-aksi mogok yang besar memang diperlukan, tapi harus selalu dihitung karena kadang-kadang malah berujung PHK bagi banyak buruh. Untuk itu pula ia menganggap pentingnya kecakapan memobilisasi sumber daya, agar aksi mogok dapat berpengaruh secara kuat dan risiko PHK dapat diatasi dengan tersedianya dana bagi korban PHK.

Fauzi sering menyayangkan minimnya pengalaman berdemokrasi dalam serikat buruh, di mana anggota, ‘yang bawah’, seringkali hanya menjadi penonton atau bahkan target mobilisiasi. Karenanya, ia menekankan pentingnya pendidikan buruh, atau sering disebut sebagai peningkatan kapasitas.

Tapi peningkatan kapasitas buruh, menurutnya, seringkali direduksi menjadi sekedar pelatihan semata. Banyak organisai buruh yang fokus pada pelatihan saja. Padahal peningkatan kapasitas juga mencakup pembangunan organisasi dan pendidikan yang lebih luas, dengan tujuan memampukan buruh dan organisasinya menghadapi tantangan-tantangan gerakan buruh yang lebih besar dan kompleks.

Dalam banyak pelatihan yang dilakukan, serikat pun seringkali terjebak pada hal-hal yang sempit dan teknis, kurang menyentuh pada pembangunan solidaritas di dalam gerakan dan dengan gerakan sosial lainnya. Pembangunan kesadaran buruh pun seringkali cenderung dogmatis, menggunakan slogan yang walaupun mudah diserap oleh buruh tapi sulit mereka pahami. Karenanya, kebanyakan buruh hanya mahir berorasi, namun kurang mampu berargumentasi.

Fauzi selalu mendorong aktivis gerakan buruh untuk lebih fokus pada tujuan-tujuan jangka panjang. Menurutnya, ada dua komponen yang penting dan keduanya saling menguatkan untuk kesuksesan konsolidasi gerakan buruh. Pertama adalah struktur gerakan, yang menurutnya antara lain institusionalisasi, dokumentasi pengalaman, dan pembangunan jaringan untuk kerja sama yang lebih panjang demi memperbesar ruang aktualisasi politik gerakan buruh. Sedangkan komponen kedua mencakup komitmen, peran, dan kapasitas aktivis, baik teknis maupun intelektual, sebagai aktor yang memainkan peran-peran kunci dalam gerakan.

Fauzi percaya, tanpa keduanya gerakan buruh akan sulit berkembang. Di satu pihak, tanpa sturuktur gerakan yang kuat, aktivis buruh sulit memainkan perannya secara efektif. Di lain pihak, struktur tersebut hanya dapat diinstitusionalisasi melalui komitmen, kecakapan, dan kreativitas para aktor gerakan. Untuk itu, Fauzi berpendapat, gerakan buruh haruslah memperluas perjuangannya melampaui dinding pabrik, untuk kemudian membangun aliansi dengan gerakan sosial lain agar buruh mendapat pengakuan tidak semata-mata sebagai buruh, tetapi juga warga negara yang padanya melekat hak-hak yang wajib dipenuhi negara.

Sebagai bagian dari struktur gerakan, serikat buruh harus menjadi organisasi belajar, tempat di mana buruh dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman dan pengetahuan kolektif buruh ini diharapkan dapat menggerakkan buruh bersama-sama mentuntut hak-hak mereka.

Menurut saya, sosok Fauzi sendiri merupakan pengalaman. Kisah perjuangannya layak menjadi pengalaman kolektif gerakan buruh. Perjuangannya patut didokumentasikan agar menjadi pelajaran. Mungkin ada saja orang yang tidak suka pada Fauzi, tapi saya tahu banyak orang yang menghormatinya.

Pada hari Idul Qurban tahun 2009, saya menyesal tidak dapat mengucapkan terima kasih pada Fauzi atas pelajaran berkorban. Di hari itu ia meninggal, hari yang tepat bagi pejuang sepertinya yang sudah banyak berkorban.***

Fahmi Panimbang, aktivis Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor (www.lips.or.id).