Menyikapi Politik Buruh

Surya Tjandra

SEBUAH pertemuan bersejarah kaum buruh Indonesia bertajuk ”Trade Unions Meeting for Political Consensus” dilaksanakan di Sukabumi, 23-25 November 2009.

Pertemuan ini digagas Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan diselenggarakan bersama dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Friedrich Ebert Stiftung Indonesia, dan the American Center for International Labor Solidarity, serta dihadiri oleh sekitar 50 aktivis dari sejumlah organisasi.
Diberitakan Kompas (23/11), pertemuan ini bertujuan membangun gerakan buruh yang lebih solid, antara lain terkait isu reformasi jaminan sosial, pengawasan ketenagakerjaan, dan perlawanan terhadap sistem kontrak. Wacana untuk melebur ketiga konfederasi tersebut juga digulirkan (Kompas, 24/11).

Pertemuan ini bersejarah karena memang baru pertama kali dilaksanakan sejak reformasi 1998, di mana berbagai serikat buruh arus utama berkumpul dan membicarakan isu yang selama ini praktis disingkirkan dari wacana para aktivis serikat buruh sendiri: politik.

Reformasi memang memberikan kebebasan buruh untuk berorganisasi, tetapi itu tidak berarti pengaruhnya juga meningkat. Setelah mengalami depolitisasi dan deorganisasi selama 30 tahun Orde Baru, seiring reformasi, serikat buruh mulai membangun pengaruhnya meski masih jauh dari yang diharapkan.

Bukti paling nyata adalah rendahnya keanggotaan serikat buruh, sementara fragmentasi gerakan buruh relatif tinggi. Pada awal 1998 tercatat hanya ada 1 serikat buruh, tahun 2002 menjadi 45, dan tahun 2005 menjadi 90. Namun, jumlah keanggotaan serikat buruh justru menurun dari 8.281.941 orang tahun 2002 menjadi 3.338.597 orang tahun 2005, atau hanya 6-7 persen dari total 50 juta buruh di sektor formal (data hasil verifikasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi).

Ini berakibat pada lemahnya posisi tawar serikat buruh dalam penentuan kebijakan yang menyangkut buruh, seperti politik pasar kerja maupun khususnya perundingan kolektif.

Lemahnya posisi tawar serikat buruh mengakibatkan ketergantungan buruh pada ketentuan undang-undang yang berlebihan. Sebagian besar buruh Indonesia, misalnya, masih amat bergantung pada ketentuan upah minimum untuk menaikkan upahnya.

Sebagian besar buruh praktis hanya naik upahnya kalau upah minimum juga naik. Ini yang menjelaskan mengapa upah minimum selalu menjadi isu panas setiap tahun.

Serikat buruh juga tidak banyak berpengaruh terhadap fakta 30 persen buruh tetap dan 50 persen buruh lepas bekerja dengan upah di bawah ketentuan upah minimum (Saget 2006). Selain itu, sejak sepuluh tahun reformasi, upah riil buruh praktis tidak pernah naik dari kisaran Rp 200.000 per bulan dibandingkan dengan sebelum 1998 yang setiap tahun rata-rata naik 5 persen (Dhanani dkk 2009).

Serikat buruh barangkali memang sudah diakui keberadaannya oleh pemerintah dengan, misalnya, pengesahan Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Tahun 2000 serta ratifikasi Konvensi ILO No 87 dan 98 tentang kebebasan berorganisasi dan berunding bersama. Namun, serikat buruh tampaknya masih belum juga diakui oleh pengusaha.

Upaya serikat buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan anggotanya sering kali berakhir dengan pemutusan hubungan kerja pengurusnya atau bahkan penutupan perusahaan secara sepihak.

Oleh karena itu, pertemuan seperti di Sukabumi dan khususnya gagasan untuk menyatukan ketiga konfederasi tersebut adalah sesuatu yang memang sudah sepatutnya dilakukan kalau memang serikat buruh ingin menguatkan posisi tawar di hadapan pengusaha dan pemerintah, juga masyarakat.

Namun, belum sempat hasil-hasilnya disosialisasikan, pertemuan tersebut sudah mengundang kritik dari sebagian kelompok buruh. Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP), misalnya, menilai ketiga konfederasi yang hadir tidak menyuarakan kepentingan buruh, malah justru sering mendukung kebijakan pemerintah yang merugikan buruh.

KP-PRP juga menilai para elite pimpinan ketiga konfederasi tersebut hanya mempermainkan nasib semua buruh di Indonesia demi kepentingan pribadinya, sementara buruh tetap saja miskin (Bisnis Indonesia, 23/11).

Fenomena ini sekali lagi membuktikan betapa gerakan serikat buruh di Indonesia masih lemah.

Di negara maju, seperti Eropa, konsolidasi dan penggabungan organisasi buruh yang berbeda sudah berlangsung sejak dekade lalu. Khususnya seiring penurunan jumlah anggota, yang berarti juga pengaruh, serikat buruh akibat globalisasi.

Dengan kata lain, penyatuan dan penggabungan serikat justru untuk memperkuat posisi berhadapan dengan pengusaha dan pemerintah.

Di Indonesia, dalam situasi lemahnya serikat, upaya konsolidasi gerakan serikat buruh dengan mudah dikaitkan dengan manipulasi elite pimpinan buruh, yang ujungnya penundukan terhadap penguasa dan pengusaha, untuk kepentingan pribadi elite serikat buruh.

Dalam konteks itu, kritik KP-PRP harus dilihat sebagai upaya untuk demokratisasi internal gerakan serikat buruh. Dalam arti inisiatif para elite pimpinan serikat buruh, sebaik apa pun, perlu juga mendapatkan dukungan dari basisnya. Alih-alih mendebatkan siapa lebih benar, barangkali akan lebih bermanfaat untuk terus membangun persatuan buruh yang sesungguhnya.

Serikat buruh penting untuk didukung karena ia mewakili satu dari sedikit institusi yang dapat mendorong sebagian tuntutan untuk pemerataan dan keadilan sosial di masyarakat.

Sejarah menunjukkan semua alternatif dari kecenderungan saat ini yang tidak menguntungkan masyarakat secara umum didasarkan pada pengorganisasian dari kekuatan ini, yang, tidak dapat dihindarkan, seperti dulu juga terjadi di Eropa, adalah proses yang panjang dan sering kali menyakitkan.***

Surya Tjandra, Dosen FH Unika Atma Jaya, Jakarta; Sedang Menempuh Studi Bidang Hukum Perburuhan di Institut Van Vollenhoven, Universitas Leiden, Belanda.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Sabtu, 26 Desember 2009.