Mungkinkah Sosialisme Diwujudkan Dengan Reformasi?

Sebuah catatan atas polemik Sosial-Demokrasi
Mohamad Zaki Hussein

POLEMIK antara AE Priyono (di sini) dan Coen Husain Pontoh (di sini), menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. AE Priyono mencoba mengusung gagasan sosial-demokrasi, untuk mendobrak kebuntuan gerakan di Indonesia saat ini. Pontoh sendiri, tidak membantah usul yang dilontarkan Priyono, ia hanya memberikan kritik atas sejumlah pandangan Priyono, yang dinilainya keliru.

Saya ingin merayakan polemik tersebut, dengan meninjau kembali secara singkat posisi teoritik Rosa Luxemburg, terutama melalui bukunya Reformasi atau Revolusi, ketika berhadapan dengan posisi teoritik kalangan sosial-demokrasi, khususnya Eduard Bernstein. Meninjau Rosa sangat penting karena ia adalah aktivis dan teoritikus pertama Marxists, yang memberikan tanggapan komprehensif terhadap posisi sosial-demokrasi.


Reformasi atau Revolusi karya Rosa Luxemburg diterbitkan pertama kali pada 1900 (edisi kedua yang direvisi terbit 1908). Buku ini berisikan polemik Rosa dengan kaum reformis atau revisionis di Partai Sosial-Demokrat Jerman (SPD), khususnya Eduard Bernstein, yang menjadi juru bicara teoretik aliran ini. Dalam buku ini, Rosa membantah pendapat mereka yang menyatakan bahwa kapitalisme bisa diubah menjadi sosialisme dengan jalan reformasi. Menurut Rosa, hal itu mustahil, karena kapitalisme memiliki kontradiksi internal yang hanya bisa diatasi oleh revolusi. Itulah kenapa, bagi Rosa, revolusi bukanlah hal yang bersifat taktis, melainkan prinsipil. Ini bukan berarti Rosa menolak reformasi, karena reformasi tetap memiliki tempat dalam gerakan sosialis, tetapi ia hanya merupakan alat, sementara tujuannya adalah revolusi.

Menurut Rosa, gagasan reformis Bernstein berakar pada ketidakpercayaannya bahwa kapitalisme akan mengalami degradasi dan krisis. Alasannya karena kapitalisme memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi dan produksi kapitalisme semakin beragam. Kemampuan adaptasi kapitalisme yang tinggi itu dimungkinkan karena adanya sistem kredit, organisasi pengusaha dan alat-alat komunikasi dan informasi yang meluas. Rosa membantah pendapat ini. Sekalipun kredit bisa memperhalus salah satu kontradiksi kapitalisme, tetapi ia juga mendorong krisis, karena ia memprovokasi overproduksi dan spekulasi. Selain itu, kredit, dalam keadaan krisis, juga menghantam dari sisi pertukaran, dengan mengurangi kapasitas konsumsi pasar sampai tingkat minimum. Adapun organisasi pengusaha, menurut Rosa, sekalipun bisa menekan krisis dengan regulasi produksi, tetapi karena sifat-dasarnya adalah meningkatkan tingkat keuntungan suatu cabang industri dengan mengurangi tingkat keuntungan cabang industri lain, maka mustahil ia bisa diperluas ke seluruh cabang industri yang ada. Begitu pula, di kenyataannya, organisasi pengusaha biasanya berhasil mendapatkan keuntungan di pasar dalam negeri dengan cara menjual murah di pasar luar negeri, sehingga memperparah persaingan di pasar luar negeri.

Terkait dengan persoalan krisis, Rosa juga mengkritik pandangan yang dengan gegabah menganggap bahwa krisis sudah hilang hanya karena dalam jangka waktu tertentu tidak terjadi krisis. Pandangan ini, menurut Rosa, mengacaukan esensi dengan bentuk luarnya yang bersifat sekunder. Esensi teori krisis adalah bahwa kapitalisme berisikan berbagai kontradiksi internal yang akan membawanya ke suatu titik ketidakseimbangan dan membuatnya mustahil, sementara krisis yang muncul ke permukaan adalah bentuk luarnya. Di sini, teori Bernstein sendiri dibuktikan keliru oleh krisis yang muncul setelah ia mempublikasikan teorinya. Setahun setelah bukunya, Pra-Kondisi Sosialisme dan Tugas-Tugas Sosial-Demokrasi, terbit, yaitu pada tahun 1900, muncul sebuah krisis umum dan tujuh tahun setelah itu, yaitu pada tahun 1907, muncul lagi sebuah krisis pasar dunia yang dimulai di Amerika Serikat.

Rosa juga melontarkan kritik terhadap pemahaman kaum reformis bahwa sosialisme bisa diwujudkan melalui serikat buruh dan koperasi. Untuk soal serikat buruh, Rosa beranggapan bahwa serikat buruh bergerak dalam kerangka hukum upah dan ia tidak bisa menghilangkan hukum upah atau merubah cara produksi kapitalisme. Bahkan dalam "fungsi normalnya" untuk memperjuangkan upah agar sesuai dengan harga pasar, serikat buruh selalu ditekan oleh situasi masuknya tenaga kerja baru ke dalam pasar tenaga kerja akibat proletarisasi lapisan menengah masyarakat dan reproduksi kelas pekerja secara alamiah. Adapun mengenai koperasi, Rosa beranggapan bahwa dalam kapitalisme, koperasi produsen akan selalu berada dalam tekanan kompetisi, sehingga ia hanya bisa bertahan apabila ia mengamankan pasarnya melalui koperasi konsumen. Tetapi ini juga berarti bahwa ruang lingkupnya akan terbatas hanya pada pasar lokal atau barang yang melayani kebutuhan secara langsung, khususnya makanan. Ia akan dieksklusi dari cabang-cabang produksi yang penting, seperti tekstil dan pertambangan, dan dengan demikian, tidak dapat dianggap sebagai sebuah alat transformasi sosial yang serius.

Kaum reformis percaya bahwa sosialisme bisa diwujudkan secara bertahap dengan reformasi sosial. Keyakinan ini didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan sejarah akan mengarah kepada pembatasan hak khusus kapitalis, di mana pada akhirnya si kapitalis hanya akan memainkan peran sebagai pengelola belaka. Tetapi menurut Rosa, skema ini tidak sesuai dengan realitas. Pada kenyataannya, perkembangan kapitalisme malah berjalan ke arah yang sebaliknya. Alih-alih membuat si kapitalis hanya menjadi pengelola, si kapitalis malah dipisahkan dari proses produksi, sehingga ia hanya menjadi pemilik murni tanpa berpartisipasi dalam pengelolaan produksi. Contoh dari hal ini adalah fenomena saham atau kredit industri.

Pemikiran lain yang menjadi dasar keyakinan kaum reformis bahwa sosialisme bisa diwujudkan secara bertahap melalui reformasi adalah gagasan tentang demokrasi yang akan terus meluas. Di sini, penguasaan mayoritas parlemen dianggap akan mengarah pada perwujudan sosialisme secara bertahap. Rosa mengkritik pandangan ini dengan menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme memang mendorong demokrasi, tetapi hanya selama tidak bertentangan dengan kepentingan kelas borjuis. Kelas borjuis dan perwakilannya bisa mengorbankan demokrasi apabila demokrasi mulai menolak karakter kelasnya sendiri. Selain itu, demokrasi parlementer bukanlah elemen sosialis yang merembes ke dalam masyarakat kapitalis secara bertahap. Di sini, Rosa tidak menolak arti demokrasi bagi gerakan kelas pekerja dan gerakan sosialis. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa demokrasi sangat penting bagi gerakan kelas pekerja, karena hanya dengan mempraktekkan hak-hak demokratisnya, kelas pekerja bisa sadar akan kepentingan kelasnya. Begitu pula, karena kelas borjuis, sebagai akibat dari kontradiksi kapitalisme, tidak akan konsisten dengan demokrasi, maka nasib demokrasi sebenarnya bergantung kepada gerakan sosialis.***


Mohamad Zaki Husain, adalah anggota redaksi Jurnal Bersatu.

Dalam versi yang sedikit berbeda, artikel ini telah dimuat di Jurnal Bersatu Jurnal Bersatu, Edisi Mei 2008, dengan judul, “Mungkinkah Sosialisme Diwujudkan Dengan Reformasi?
 Sebuah Ulasan Singkat Atas" Reformasi Atau Revolusi" Karya Rosa Luxemburg.”