Mengakhiri Sandiwara Politik

Gerakan Sosial dan Insiatif Politik Lokal
Saiful Haq

KETIKA Pemilu 2009 tengah berlangsung, seorang teman perempuan saya, yang tidak punya minat terhadap politik, memberikan sebuah alamat website. Mengejutkan, website itu berisi poster-poster kampanye caleg (calon anggota legislatif) di berbagai daerah. Buat saya, bukan foto calegnya yang menarik, namun desain poster, janji-janji, jargon, ilusi, bercampur dan tayang di situ.
Kontestasi pemilu lalu mengubah demokrasi menjadi pasar, pasar demokrasi. Setiap orang orang berlomba mendapatkan pembeli, dengan menawarkan produk berkualitas rendah tapi mahal harganya. Maka wajar ketika Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), menyatakan ”presiden bisa lahir dari mesin ATM.” Visi dan misi politik menjadi tidak penting, kalah dengan adalah popularitas, uang dan kekuasaan.

Demokrasi seperti ini disebut oleh Huntington sebagai pseudo democracy (demokrasi palsu). Demokrasi hanya sebatas prosedur-prosedur resmi tanpa makna. Ini juga yang digambarkan Robert A. Dahl, yang mengatakan, jika peningkatan partisipasi politik membawa sektor masyarakat kelas sosial-ekonomi rendah yang berpikiran otoriter ke tengah arena politik, maka demokrasi dapat terancam. Coen Husain Pontoh menambahkan, dalam era demokrasi seperti ini kesadaran politik rakyat tidak dibimbing oleh sebuah ideologi politik tertentu tapi, oleh isu politik harian yang dikuasai oleh para oligarkhis: penguasa media, para kapitalis, rejim berkuasa, dan kelompok bersenjata . Demokrasi liberal dan prosedural seperti ini disatu sisi menghadirkan kebebasan politik, tapi disisi lain harus dibayar dengan pencabutan subsidi untuk kelompok marginal yang diakibatkan oleh liberalisme ekonomi, karena demokrasi liberal hanya bisa kekal ketika berjalan seiring dengan liberalisasi di sektor ekonomi.

Figur yang bertarung dalam demokrasi seperti ini adalah hasil produk dua jaman. Di satu sisi, adalah figur-figur produk jaman otoritarianisme orde baru, disisi lain mereka yang dilahirkan oleh jaman demokrasi liberal, yang oleh A.E Priyono et.al disebut sebagai ”demokrat mengambang.” Fidur baru ini mengagungkan prosedur demokrasi, mengabaikan program politik, dan menjalankan tradisi pasar (teori pemasaran) sebagai metode dalam kampanye. Dalam prosedur demokrasi, partai politik tidak lagi bisa dikatakan punya relasi langsung dengan massa, dukungan massa diraih dengan politik uang dan menebarkan janji-janji palsu hanya untuk memenangkan pemilihan umum. Di sisi lain, gerakan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat terjebak pada sektarianisme isu, gerakan sosial terkotak-kotak dalam perjuangan berbasiskan isu, kelompok yang berjuang di isu hak asasi manusia seringkali tidak punya hubungan dan sinergi dengan kelompok yang berjuang di isu korupsi, lingkungan, gender dll. Ini menyebabkan gerakan sosial tidak memiliki energi yang cukup untuk mendorong perubahan, gerakan sosial memiliki kebebasan dan keleluasaan politik di satu sisi, dan disaat yang sama kehilangan sinergi untuk menciptakan tatanan sosial baru. Hal ini berujung pada keputusasaan politik tokoh-tokoh gerakan sosial. Pada akhirnya pragmatisme dilihat sebagai jalan keluar satu-satunya. Jangan heran jika dalam pemilu 2009, banyak tokoh-tokoh gerakan sosial yang beralih menjadi caleg maupun tim sukses kandidat atau partai politik tertentu. Tentu saja dengan berbagai apologi.

Mengakhiri Sandiwara Politik; Merebut Panggung Politik 2014

Ketika kandidat, partai politik, dan calon presiden yang bertarung dalam kontestasi politik 2009 tidak cukup menawarkan perubahan, maka diperlukan sebuah refleksi serius di kalangan akademisi dan aktivis gerakan pro demokrasi sosial di Indonesia. Demokrasi liberal bersama sistem ekonomi liberalnya, telah terbukti gagal menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi. Masih banyak alternatif demokrasi yang bisa kita pilih, tanpa perlu kembali ke rejim otoritarianisme dan militeristik. Harapannya tentu bertumpu pada gerakan sosial yang masih berada di luar sistem politik yang sudah mapan.

Tetapi gerakan sosial di luar sistem ini, bukan tanpa kelemahan. Seperti yang dengan tepat dikritik Olle Tornquist, gerakan sosial di Indonesia, dimana kelompok organisasi non pemerintah (NGO) sebagai komponen dominan, kerapkali gagal membangun akar yang kuat di aras akar rumput. Sebaliknya, organisasi yang bermain di aras akar rumput, seringkali tak cukup cakap dalam membangun ruang politik yang memadai bagi kaitan yang kuat antara kerja-kerja demokrasi di tingkat lokal dan sistem politik yang lebih makro. Gerakan sosial sejatinya, dalam terminologi Habermas, Offe maupun Malucci, adalah ruang antara (intermediary space) yang menjembatani antara negara dan masyarakat sipil. Argumentasi ini seringkali digunakan oleh para aktivis NGO untuk menjalankan gerakannya, yang belakangan terdengar seperti apologi murahan, karena kemudian terjebak pada pekerjaan-pekerjaan administratif ketimbang melakukan pengorganisasian masyarakat.

Teori ruang antara atau intermediary space, tidak lagi memadai dalam konteks demokrasi di Indonesia. Pertama seperti dikatakan Tornquist, masalah pokoknya adalah keterputusan antara NGO dan organisasi masyarakat di satu sisi, dan massa di akar rumput di sisi lain. Keterputusan ini membuat gerakan sosial sebagai ruang antara menjadi lemah. Kedua, teori ruang antara, seperti halnya teori gerakan sosial baru (new social movement-NSM) dan teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization theory-RMT), memerlukan penyesuaian dalam prakteknya di berbagai negara. Ketiga, ruang antara, biar bagaimanapun tidak bermaksud untuk menggantikan peran negara. Hal ini terkadang mempersulit gerakan sosial untuk melakukan mobilisasi politik, karena kelompok demokrat mengambang yang kini mengisi ruang-ruang negara pasti akan tetap mempertahankan sistem yang sudah mapan.

Oleh karena itu, gerakan sosial perlu melakukan upaya serius setidaknya untuk lima tahun mendatang, agar sandiwara politik ini tidak terulang lagi. Berkaca pada kelemahan gerakan sosial yang terjadi sekarang, dibutuhkan setidaknya, pertama, karena keterputusan antara NGO dan massa, maka dibutuhkan aksi kolektif dari organisasi yang bermain di aras ruang antara untuk menyiapkan sebuah organisasi koalisi strategis yang mengombinasikan pembentukan identitas politik kolektif ala NSM, dengan optimalisasi potensi struktural untuk merebut ruang politik melalui pengorganisasian ala RMT. Dengan tersedianya identitas kolektif dan ruang politik, maka energi politik yang dihasilkan akan semakin besar. Kedua, dibutuhkan wilayah kerja yang tidak terlalu luas. Upaya pembangunan koalisi besar selama ini terbukti gagal, karena luasnya cakupan isu maupun sektor kerja. Selain itu, wilayah kerja yang sangat luas juga adalah faktor utama kegagalan ini.

Pada titik ini, gerakan sosial di level lokal justru mencatat kemajuan yang signifikan. Oleh karena itu, perlu kiranya menjadikan beberapa model keberhasilan lokal ini untuk mendorong inisiatif di wilayah lainnya. Di Aceh misalnya, gerakan sosial lokal terbukti efektif dalam merebut ruang-ruang politik yang tersedia. Keberadaan partai lokal tentu membuat panggung demokrasi lokal semakin meriah. Inisiatif lokal ini diharapkan dapat menjadi cikal bakal untuk memikirkan ulang bukan, hanya hubungan antara pemerintah pusat dan negara, tapi juga antara negara dan masyarakat sipil.

Dua hal penting di atas, akan menjadi antitesis dari demokrasi liberal dan prosedural yang sedang berlangsung. Dengan model gerakan sosial yang diarahkan untuk melakukan mobilisasi politik, diharapkan demokrasi tidak lagi dibajak oleh kaum demokrat mengambang. Politik ruang antara harus diisi oleh figur yang sudah terlebih dahulu melewati proses rekruitmen politik di gerakan sosial. Inisiatif gerakan sosial lokal penting untuk melakukan koreksi dan reformasi terhadap watak partai politik nasional yang selama ini hanya menjadi (layaknya) calo tenaga kerja: siapa yang membayar tinggi akan mendapatkan kursi.

Sementara itu, kebuntuan gerakan sosial di level nasional hanya bisa dijawab melalui inisiatif-inisiatif lokal. Alasannya jelas, karena pengorganisasian politik akan lebih mudah dilakukan di level lokal; wilayah kerja yang lebih kecil memudahkan untuk menemukan identitas kolektif; jarak dengan konstituen massa lebih dekat; karena keragaman jenis kebutuhan sosial di masing-masing wilayah membutuhkan pendekatan yang berbeda; dan faktor kekayaan dan keragaman nilai kultural di level lokal bisa lebih memperkaya potensi gerakan sosial.

Pada akhirnya, politik lokal akan memberikan jawaban pasti akan dibawa ke mana negara Indonesia ini. Dengan kata lain, demokrasi model Indonesia akan ditemukan dan lahir dari referensi gerakan sosial lokal, lahir dari rahim ibu pertiwi.***

Saiful Haq, pengamat politik dan militer, sekarang bekerja untuk Friedrich Ebert Stiftung (FES).

Kepustakaan:

Coen Husain Pontoh, “Artikel; Mari Bung Rebut Demokrasi”, 2002.
Darmawan Triwibowo, “Gerakan Sosial,” LP3ES, 2006, hal. 34.
http://janganbikinmalu2009.com/web/galeri.php