Antonius Made Tony Supriatma
BARU-BARU ini, saya terlibat dalam diskusi yang cukup hangat dengan seorang rekan. Topiknya apalagi kalau bukan persoalan yang lagi hangat di tanah air: soal perseteruan KPK vs. Polri-Kejagung. Diskusi yang hangat berganti menjadi emosional, karena persoalan siapa sebenarnya yang menjadi pokok persoalan yang mengakibatkan kacau-balaunya penegakan hukum di tanah air tercinta ini. Kebanyakan kawan sepakat bahwa hukum kita dikuasai para ‘mafia’ yang populer dengan sebutan Markus (makelar kasus) itu. Para markus ini menjadi perantara antara cukong-cukong yang berperkara dengan aparat penegak hukum.
Untuk saya, pandangan ini salah. Ada dua alasan mengapa ini salah. Pertama, keberadaan para markus itu tergantung pada ada tidaknya kesempatan atau celah untuk melakukan percaloan (brokerage). Kedua, untuk mereka yang berperkara – yang sangat mudah dijerumuskan dalam terminologi rasial sebagai cukong – situasinya menjadi sangat dilematis. Mereka berada dalam posisi ‘loose-loose situation’ (situasi serba kalah). Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan adalah meminimalkan kekalahan tersebut.
Argumen saya adalah sumber utama dari segala kekisruhan hukum ini adalah para penegak hukum itu sendiri. Meletakkan persoalan pada para markus dan cukong berarti mengabaikan persoalan dasar penegakan hukum di negeri ini.
Dalam hal ini, para penegak hukum itu sudah menjadi predator (pemangsa) dari sebuah sistem yang seharusnya mereka tegakkan. Alih-alih menjadi penegak mereka malah menjadi pemangsa. Mereka membajak semua institusi-institusi yang seharusnya berfungsi untuk menjaga agar sistem kehidupan masyarakat kita berjalan dengan sehat.
Predatorian game
Saat ini semua jari ditunjukkan pada Anggodo. Tidak bisa disalahkan. Secara sosiologis dan psikologis, Anggodo berada pada posisi yang paling lemah. Sebagai pengusaha dia tidak akan pernah populer di masyarakat manapun. Belum lagi statusnya sebagai cukong yang mengindikasikan posisinya sebagai minoritas keturunan Cina. Orang semacam Anggoda adalah sebuah persoalan. Tapi dia bukan persoalan utama. Dia hanyalah sebuah sekrup dari kerusakan mesin yang besar.
Bayangkanlah kalau Anda berada dalam posisi Anggodo. Sebagai pihak yang memiliki perkara hukum di Indonesia, siapapun tahu, sulit mendapatkan keadilan. Situasi ini adalah khas situasi dalam ‘predation game.’ Pihak yang berperkara berada dalam posisi yang serba kalah. Jika mengikuti prosedur hukum, hasilnya jelas akan kalah. Jika tidak pun juga akan kalah. Namun, pertaruhan untuk menyelesaikan perkara lewat mekanisme percaloan jauh lebih menguntungkan dan dalam kalkulasi untung-rugi memakan biaya yang lebih sedikit. Dengan demikian, menyelesaikan persoalan melalui percaloan menjadi lebih cost-effective ketimbang menempuh prosedur hukum yang benar.
Persoalannya kemudian masuk ke arena yang jauh lebih mendesak untuk ditangani yakni penegak hukum. Berbeda dengan mereka yang berperkara, posisi mereka adalah serba-untung (win-win). Mereka berkuasa untuk memproses atau tidak memproses suatu perkara. Merekalah yang memegang kendali apakah seseorang bisa hukum atau tidak. Mereka dengan mudah membalikkan segala kesalahan menjadi benar. Begitu pula sebaliknya.
Kekuasaan ini tidak lahir karena salahnya sistem hukum kita, melainkan dari sedemikian kuatnya jaringan predator yang menguasai sistem hukum kita. Predatorisme sudah menjadi norma bagi mereka yang berkecimpung dalam penegakan hukum.
Tindakan untuk memangsa (the act of predation) selalu mengandaikan adanya koordinasi di antara para pemangsa. Sekalipun di dalam masyarakat pemangsa selalu ada persaingan dan saling memangsa (situasi homo homini lupus), namun dalam hal-hal tertentu koordinasi untuk saling membagi tulang-belulang dari para korban ini diperlukan. Secara telanjang kita sudah melihat ini dalam kasus Anggodo. Para markus menghitung dengan cermat biaya yang akan dikeluarkan untuk polisi, jaksa (dan nanti hakim juga), serta media massa. Tentulah juga para pengacara (lawyers) menjadi salah satu ujung tombak dari predatorisme ini.
Para predator pun tahu bagaimana membagi jarahan ini menurut jenjang-jenjang kepangkatan dan bagaimana menciptakan atau mengkoordinasikan sebuah sistem untuk saling melindungi.
Sistemik dan Bukannya Oknum
Salah satu kegemaran kita adalah menipu diri sendiri dengan ‘mengindividukan’ persoalan. Pada jaman Orde Baru, setiap persoalan sistemik selalu jatuh pada adagium bahwa itu adalah perbuatan para ‘oknum.’ Padahal penyakit ini tersebar merata di semua tingkatan penegakan hukum. Praktek suap, percaloan, racketeering terjadi dimana-mana. Orang yang berurusan dengan hukum di negeri ini pasti tahu akan hal ini. Praktek-praktek kotor percaloan sudah dimulai dari jalan raya, pengurusan SIM, atau sekedar mencari surat kelakuan baik (yang anehnya ditempuh dengan cara yang sungguh tidak baik!)
Sesungguhnya inilah penyakit bangsa yang paling kronis. Adalah ironis, mereka yang seharusnya menjadi penjaga negara justru menjadi musuh utamanya. Mereka yang seharusnya menjadi abdi negara justru menjadi parasitnya.
Untuk orang yang memiliki perkara, tidak ada pilihan lain selain mengikuti ‘prosedur predatorial’ ini. Keluar dari prosedur ini adalah hanya menghasilkan kematian dan kemusnahan.
Bersalah Sebelum Terbukti Benar
Kasus KPK vs. Polri-Kejagung ini sesungguhnya merupakan kesempatan besar untuk menggoyahkan jaringan para pemangsa ini. Selama beberapa minggu, kita dihadapkan pada kenyataan yang sangat telanjang akan betapa parahnya – dan menjijikkannya – tingkah laku para predator ini.
Sayang sekali, pejabat tertinggi di negara ini mengabaikan momentum ini. Jika saja presiden sebagai penanggungjawab utama negara segera mencopot Kapolri dan Jaksa Agung, serta mulai menyikat para pemangsa ini, maka kekisruhan ini tidak akan berlarut-larut sampai sekarang. Dengan mencopot (dan bila perlu menahan!) Kepala Polri dan Jaksa Agung, memecat Kabareskrim dan Wakil Jaksa Agung, memerintahkan untuk menahan Anggodo, Situmeang, dan orang-orang lain yang terlibat, maka rantai koordinasi para pemangsa ini akan diperlemah.
Alasan ‘presumption of innocence’ (azas hukum ‘tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah’) tidak berlaku untuk mereka-mereka ini. Karena tingginya ketidakpercayaan masyarakat (distrust) kepada para individu ini serta institusi yang diwakilinya, maka azas ini tidak berlaku untuk mereka. Jika rasa keadilan masyarakat tercederai, maka yang harus dilakukan adalah ‘reversed presumption of innocence’ yakni anggapan bahwa "mereka sudah bersalah sebelum dibuktikan benar."
Hal yang senada juga berlaku untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Banyak gossip dan rumors beredar tentang keterlibatan presiden pribadi dalam kasus pelemahan KPK. Banyak juga yang mengaitkan dengan kasus bail-out Bank Century. Yudhoyono tidak bisa mengabaikan semua ini dengan dalih tidak mau mencampuri proses hukum. Seharusnya dia pun tahu bahwa proses penegakan hukum itu sudah dibajak oleh para predator model Susno, Danuri, Ritonga, Situmeang, Anggoro-Anggodo, dan lain-lainnya itu. Yudhoyono tidak bisa berpura-pura tidak tahu akan hal ini.
Untuk itu, sulit untuk memberikan benefit of the doubt [keyakinan bahwa seseorang itu memiliki itikad yang baik ditengah keraguan apakah dia baik atau jahat] kepada Yudhoyono. Mungkin Yudhoyono harus tahu bahwa dia sudah menghabiskan semua trust-capital-nya, karena membiarkan semua ini berlarut-larut dengan terus menerus menjaga image (jaim). Mungkin harus lebih banyak orang berteriak, “Mr. President, either you’re with us or against us!”***