Transisi Kapital di Sulawesi Tengah (3-habis)

Pengalaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit
Arianto Sangaji

PERBURUHAN

PERUSAHAAN perkebunan kelapa sawit, pada umumnya, membagi pengelolaan perkebunannya ke dalam afdeling (divisi) dengan luas areal dan jumlah tenaga kerja tertentu. Setiap afdeeling juga dibagi lagi ke dalam beberapa blok, dengan demikian pengorganisiran buruh dalam pekerjaan menjadi mudah. Dari sana bisa juga dihitung jumlah tenaga kerja di perusahaan perkebunan itu.

PT. Mamuang, anak perusahaan PT. AAL, Tbk. yang lokasinya berdampingan dengan 3 perusahaan sesusu lainnya, termasuk PT. LTT di perbatasan Sulteng dan Sulbar, misalnya, memiliki 13 afdeling, dengan buruh kurang lebih 70 orang perafdeling. Pada setiap afdeling terdapat 15 blok, di mana setiap blok meliputi areal seluas 40 hektar. Dari situ bisa dihitung, dengan luas areal perkebunan sekitar 7.800 hektar dengan pekerja sekitar 910 orang, maka setiap buruh perkebunan memikul tanggung jawab mengurusi sekitar 8 hektar kebun kelapa sawit. Atau PT. TGK, dengan luas perkebunan kelapa sawit (inti dan plasma) mencapai 10.000 hektar dan sebuah pabrik CPO hanya menyerap tenaga kerja tetap baik di perkebunan maupun di pabrik hanya sekitar 600 orang, dengan jumlah terbesar adalah buruh di perkebunan inti (4.000 hektar) dan 130an pekerja di pabrik CPO. Sementara PT. HIP dengan kebun kelapa sawit yang telah ditanami seluas 12.000 hektar menyerap kurang lebih 3.000 buruh, dengan mayoritas di antara mereka saat ini adalah buruh dengan sistem borongan, yakni pekerja yang terikat dengan pihak III untuk melakukan satuan pekerjaan tertentu secara temporer di perkebunan, di mana perusahaan tidak memiliki kewajiban langsung kepada para pekerja, baik upah maupun hak-hak buruh, kecuali kepada pihak III yang menggunakan atau memobilisasi para pekerja itu. Para pengkritik industri perkebunan kelapa sawit kerap mengaitkan rendahnya penyerapan tenaga kerja di dalam industri ini, yakni dengan melihat rendahnya jumlah buruh dibanding luas areal perkebunan kelapa sawit sebagai sasaran kecaman.


Tetapi, aspek yang tidak atau kurang diperhatikan, kehadiran industri perkebunan kelapa sawit menjadi contoh paling tepat bagaimana komoditisasi tenaga kerja berlangsung besar-besaran di wilayah-wilayah di mana hubungan-hubungan produksi kapitalis belum tampak, kabur, atau masih berskala terbatas, seperti di sebagian besar wilayah Sulawesi Tengah. Ini dapat dilihat dari dinamika pertumbuhan buruh yang bekerja di industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah.

Sumber tenaga kerja utama adalah petani tak bertanah atau warga miskin di wilayah asal, yang kemudian menjadi peserta program transmigrasi di Sulawesi Tengah. Ketika perusahaan perkebunan memulai usaha investasi, dengan melakukan kegiatan land clrearing, pembibitan, penanaman, dan perawatan maka sumber utama buruh adalah para transmigran yang biasanya berasal dari lokasi transmigrasi yang berdekatan dengan lokasi perkebunan. Dalam kasus PT. TGK, para transmigran asal Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang berlokasi di Kecamatan Bungku Barat dan Kecamatan Petasia menjadi pemasok utama pekerja di perusahaan perkebunan itu. Karena merupakan bagian dari proyek PIR-Trans, maka pada awalnya mereka menjadi buruh secara kolektif untuk kebun-kebun kelapa sawit yang telah ditanami. Dalam pengalaman PT. HIP, pemasok utamanya adalah transmigran asal Jawa, Bali, NTB, NTT yang juga sudah ditempatkan di sekitar areal perkebunan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kegiatan investasi perkebunan. Pada masa awal kedatangan transmigran, biasa dikenal sebagai masa sulit, terutama setelah berakhirnya jaminan hidup (Jadup) yang disediakan pemerintah selama masa satu tahun. Pada masa ini, kegagalan dalam pengolahan lahan pertanian atau keterbatasan modal usaha, membuat sebagian petani mencari nafkah dengan bekerja sebagai buruh tani harian di lahan-lahan petani yang lebih sukses, memungut hasil hutan, mengolah kayu, menjadi buruh bangunan atau konstruksi jalan untuk memperoleh uang tunai. Pekerjaan semacam ini tidak memberikan kepastian dari segi jumlah pendapatan dan peluang pekerjaan yang tidak datang setiap saat. Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit memberi peluang untuk jangka waktu yang pasti bagi petani untuk menjual tenaga kerjanya. Transmigran terus menjadi sumber utama buruh bahkan setelah perusahaan perkebunan telah memasuki fase produksi, di mana sebagian transmigran, lelaki dan perempuan, baik pecahan-pecahan keluarga, maupun eks transmigran yang telah menjual tanah dengan berbagai alasan menjadi sumber pemasok utama buruh untuk berbagai pekerjaan (panen, pemarasan, pemupukan, dan sebaginya) di perusahaan perkebunan. Itulah yang kini, misalnya, terjadi dengan warga eks-trans (Bali, NTB, Jabar, Jatim, NTT, APPDT) penempatan tahun 1991 di Desa Kokobuka, Kecamatan Tiloan Kabupaten Buol. Warga dari desa, di mana terdapat areal persawahan dan kebun kakao yang terhampar luas itu, setiap pagi dijemput dengan truck perusahaan di kampung itu dan dikembalikan sore harinya. Ringkas cerita, program transmigrasi menyumbang sangat penting bagi pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit di wilayah ini, di mana para transmigran merupakan sumber tenaga kerja utama dan murah bagi bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan akumulasi kekayaan.

Sumber tenaga kerja lain berasal dari penduduk lokal dengan asal-usul yang beragam dan kompleks. Pertama, adalah petani dari penduduk lokal, baik mereka yang mengikuti program transmigrasi sebagai APPDT, maupun petani setempat yang tanah pertaniannya (sebagian atau seluruhnya) sudah dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit dengan demikian menjadi contoh bagaimana proses proletarisasi sedang terjadi, di mana para petani yang kehilangan alat produksi (tanah) karena kehadiran industri perkebunan kemudian terserap ke dalam industri ini sebagai buruh upahan. Kedua, adalah petani setempat yang karena sebelumnya tidak memiliki tanah menjadi buruh tani di kampung asal atau kampung tetangga mereka di sekitar perkebunan. Termasuk dalam kategori ini juga adalah mereka yang berdatangan dari berbagai tempat di dalam wilayah kabupaten atau propinsi menyusul kehadiran perkebunan sawit. Hilangnya lahan pertanian, karena berbagai sebab seperti jual beli dan perampasan atau munculnya pecahan keluarga yang tidak memilih tanah, membuat para petani tidak punya pilihan lain kecuali menjadi buruh dengan pendapatan yang pasti dari perkebunan kelapa sawit. Sejak kehadiran PT. RAS, di Kecamatan Mori Atas, sebagian warga di Desa Olukomunde, Kamba, dan desa-desa lain dari Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso beralih menjadi buruh harian di perusahaan dengan upah Rp. 31.000/hari. Sejak pagi buta mereka diangkut dengan truck milik perusahaan menuju Desa Era dan Desa Peleru, di Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, lokasi di mana perusahaan telah melakukan kegiatan penanaman kelapa sawit, untuk kemudian diangkut kembali ke desa-desa mereka setelah bekerja di sana selama 7 – 8 jam dari hari Senin hingga Jumat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran sebagian pemuka masyarakat mengenai masa depan pertanian masyarakat (sawah dan kakao) di desa-desa itu yang merupakan salah satu lumbung padi di Kabupaten Poso, karena beralihnya warga desa menjadi buruh tani di perusahaan perkebunan. Padahal menurut keterangan sejumlah warga, sebelumnya upah harian buruh tani di persawahan dan perkebunan kakao milik warga di kampung bisa mencapai Rp.35.000 per hari. Tentu saja, daya tarik warga untuk menjadi buruh harian di perusahaan perkebunan kelapa sawit karena setiap hari tersedia kesempatan untuk menjual tenaga kerja mereka, berbeda dengan menjadi buruh tani di kampung asal di mana peluang itu lebih terbatas dan bersifat musiman. Ketiga, adalah petani yang tanah pertanian produktifnya mengalami kemunduran karena bencana alam baik langsung atau tidak langsung yang merupakan dampak dari pembukaan lahan dan hutan yang luas oleh perusahaan perkebunan. Di Buol, bencana banjir tahunan karena meluapnya Sungai Buol dan Sungai Lantikadigo yang muncul sejak kedatangan PT. HIP di wilayah dengan curah hujan 3.000 mm pertahun itu, telah menghancurkan sawah, kakao, kopi dan kelapa dalam milik penduduk sehingga para petani dari Desa Pomayagon, Desa Wakat, Desa Bungkudu, dan sejumlah desa lainnya tidak punya pilihan lain, kecuali menjadi buruh harian atau buruh borongan di perusahaan perkebunan itu.

Tetapi kesempatan menjual tenaga kerja secara teratur bukan saja terjadi di dalam perusahaan perkebunan inti, tetapi juga di kebun-kebun sawit milik petani plasma. Berbeda dengan buruh di kebun inti, terutama untuk panen, di mana dalam kasus PT. TGK dilakukan oleh buruh upahan tetap di perusahaan (SKU), maka dalam kebun-kebun sawit milik petani plasma para buruh memperoleh upah harian mencapai Rp. 50.000 per hari. Biasanya, setiap petani pemilik kebun kelapa sawit memegang buruh harian berdasarkan ikatan secara informal dalam kurun waktu yang lama. Selain berasal dari transmigran, juga berasal dari pecahan keluarga atau mereka yang sudah kehilangan tanah, dan dari penduduk lokal, baik yang tidak memiliki lahan pertanian, maupun mereka yang memiliki lahan plasma seluas 1 hektar. Di PT. TGK, seorang petani plasma pemilik lahan 1 hektar menyatakan bahwa ia memegang 3 kapling, masing-masing seluas 2 hektar kebun kelapa sawit milik petani plasma lain (eks APPDT) sebagai buruh panen, di mana setiap bulannya ia memperoleh upah tetap Rp. 1.050.000, kumulasi dari pendapatan Rp.350.000 per kapling. Sementara seorang penduduk asli lain bukan petani plasma juga menjadi buruh panen untuk dua kapling, masing-masing seluas 1 hektar, menyatakan ia memperoleh upah tetap setiap bulan sebanyak Rp. 600.000 perbulan.

Kesejahteraan buruh. Hierarki merupakan salah satu ciri utama dalam industri perkebunan, di mana tingkat kesejahteraan buruh perkebunan sawit sangat tergantung pada posisi mereka pada hierarki tersebut, dari mana perbedaan-perbedaan perlakuan di antara sesama buruh mencolok terlihat. Buruh pada level manajemen lebih tinggi hingga karyawan tetap, memperoleh pelayanan perusahaan meliputi upah, bonus, premi, pelayanan kesehatan gratis, fasilitas perumahan plus litrik dan air, pelayanan pendidikan bagi anak-anak karyawan, dan alat transportasi kendaraan bermotor. Tetapi, pelayanan itu berbeda-beda sesuai dengan posisi mereka, di mana buruh dalam hirarki lebih tinggi mendapatkan pelayanan lebih baik dibanding mereka yang berada di kaki piramida yang lebih rendah. Kesan paling mencolok bisa dilihat ketika mengunjungi areal perkebunan, di mana kompleks perumahan-perumahan karyawan yang menyebar di dalamnya memilik perbedaan ciri-ciri fisik, dari yang paling baik dengan dinding tembok, lantai keramik, fasilitas AC, garasi mobil, antena parabola, hingga yang paling sederhana dengan rumah berdinding kayu, fasilitas WC umum, sepeda motor di depan serambi, dan pemandangan jemuran pakaian yang ramai. Tetapi tidak semua buruh tetap tinggal di dalam kompleks perumahan karyawan, yang dibagi-bagi menurut perumahan afdeling (divisi) perkebunan, perumahan karyawan pabrik, perumahan manajer, dan perumahan sopir. Satu atau dua orang tetap tinggal di kampung halaman mereka, jika mereka berasal dari desa-desa paling dekat dengan perusahaan.

Sebagian karyawan atau buruh tetap (SKU) dengan posisi rendah tetap bermimpi satu ketika dapat keluar dari perusahaan untuk menjadi petani pemilik tanah. Seorang buruh (eks transmigran pecahan keluarga) di PT. TGK, misalnya, yang sudah 3 tahun berstatus karyawan tetap dengan upah 700.000 perbulan dan premi sekitar 700.000 – 800.000 perbulan, tunjangan beras 32 kg untuk isteri dan kedua anaknya, dan fasilitas gratis kesehatan bagi seluruh anggota keluarganya, kecuali anaknya yang ketiga, masih berharap satu ketika ia dapat membeli lahan pertanian (sawah atau kebun sawit), sehingga dengan demikian dia akan meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh tetap perusahaan. Menurutnya, dengan pendapatan sebanyak itu tidak cukup baginya membiayai keluarganya secara lebih baik, dibanding tetangganya, seorang petani plasma pemilik 2 hektar kebun kelapa sawit yang tingkat pendapatan dan kehidupannya jauh lebih baik. Dia juga menyatakan bahwa pekerjaannya sebagai buruh panen dengan basis 80 tandan per hari, bukanlah pekerjaan yang ringan. Meninggalkan rumah pagi hari karena harus mengikuti apel sebelum bekerja di kebun, yang kerap tidak dilakukannya tepat waktu, dengan risiko memperoleh teguran berulang dari mandor, kemudian kembali berkumpul dengan keluarga menjelang malam, merupakan pengalaman berulang yang melelahkan setiap hari yang memperkuat pertimbangannya untuk meninggalkan perusahaan suatu waktu.

Keadaan lebih buruk dialami oleh buruh harian berstatus kontrak, yakni mereka yang bekerja untuk perusahaan dalam masa tertentu, tergantung kebutuhan perusahaan, biasanya ketika menghadapi masa panen raya. Bersama-sama dengan buruh borongan, mereka merupakan lapisan buruh dalam jumlah paling besar. Upah mereka sangat bergantung pada jenis pekerjaan (panen, pemupukan, pemarasan) dan status mereka, di mana buruh-buruh dengan status harian biasanya memperoleh upah yang lebih baik dan pasti dibanding mereka berstatus sebagai buruh borongan. Untuk memangkas ongkos produksi, perusahaan-perusahaan perkebunan sawit mengalihkan buruh-buruh harian menjadi buruh dalam sistem borongan. Beberapa buruh PT. HIP yang diwawancarai menyatakan, upah buruh harian bisa mencapai Rp. 700.000 perbulan dan borongan hanya sekitar Rp. 400.000. Pendapatan ini jauh di bawah pengeluaran bulanan mereka, akibatnya mereka terikat dengan utang bahan kebutuhan pokok dengan pedagang-pedagang kecil di kampung.

Ketika mengunjungi perusahaan itu awal Agustus 2009, tampak muncul keluhan yang meluas di kalangan buruh berkenaan dengan kebijakan perusahaan untuk mengalihkan sebagian buruh harian menjadi buruh borongan. Mereka meminta perusahaan mengembalikan sistem borongan menjadi sistem harian. Sebuah ancaman mogok kerja disampaikan oleh Serikat Pekerja Perkebunan Sawit (SPPS) di perusahaan tersebut, 10 Agustus 2009, jika tuntutan buruh tidak dipenuhi. Tetapi, sebuah kesepakatan yang sangat umum dilakukan antara perusahaan, pengurus SPPS, dan Dinas Nakertrans, di mana perusahaan akan mempertimbangkan tuntutan buruh secara proporsional, tanpa ada kejelasan waktu tuntutan itu dipenuhi, telah membatalkan rencana pemogokan yang sudah ramai dipercakapkan oleh buruh-buruh yang tinggal menyebar di berbagai desa di sekitar areal perkebunan itu.

Sementara itu pelayanan perusahaan di luar upah sangat buruk, dari tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan anak-anak, hingga tidak ada atau buruknya perumahan. Di PT. HIP, misalnya, sebuah kompleks perumahan di blok 7 yang dihuni 46 orang buruh, sama sekali tidak memiliki fasilitas listrik, air bersih dan WC. Para penghuninya terpaksa membersihkan diri dan membuang tinja di WC alam, yakni parit dan sungai yang nyaris kering yang melintas di sekitar perumahan itu. Dalam setiap bilik rumah (teras, ruang tamu, sebuah kamar, dapur) yang layak dihuni satu kepala keluarga malah menumpuk dengan beberapa buruh. Bahkan terdapat satu rumah dihuni oleh tiga pasangan suami-isteri. Sementara sejumlah perempuan yang menjadi buruh borongan yang jam kerjanya mulai pukul 6 pagi memilih meminjam lahan di kebun warga untuk membangun pondok-pondok sebagai tempat tinggal sementara. Para buruh yang tinggal di perumahan Blok 7 yang umumnya adalah penduduk asli dari Desa Panimbul Kecamatan Momunu, sebagian meninggalkan keluarga mereka di kampung, yang berjarak sekitar 7 kilometer, karena pertimbangan tidak ada akses anak-anak mereka untuk bersekolah di kompleks perkebunan. Memang ada fasilitas bus sekolah yang disiapkan oleh perusahaan, tetapi itu tidak melayani anak-anak buruh jenis ini. Beberapa anak yang terpaksa tinggal bersama orang tua mereka di kompleks perusahaan terpaksa menghadang mobil tangki perusahaan pengangkut CPO atau BBM yang melintasi di jalanan terdekat ketika hendak pergi atau pulang sekolah. Tahun 2007, menurut Ketua SPPS, pernah terjadi 2 hari mogok kerja para buruh yang menuntut pelayanan fasilitas perumahan dan listrik yang lebih, di mana tuntutan mereka dipenuhi perusahaan. Tetapi, sukses itu tidak dinikmati oleh buruh-buruh paling rentan, seperti mereka yang tinggal di kompleks perumahan blok 7.

Petani Plasma

Di Sulawesi Tengah, perusahaan-perusahaan perkebunan sawit membangun hubungan inti-plasma dengan dua model. Pertama, kebun sawit, biasanya seluas antara 1 atau 2 hektar, diserahkan hak kepemilikan dan pengelolaan kepada petani peserta plasma setelah masa produksi dimulai. Para petani dengan demikian memiliki hak atas tanah dan kebun sawit di atasnya berdasarkan sertifikat hak milik (SHM), di samping mengelola kebun sawit milik mereka secara otonom, mulai dari perawatan, pemupukan, hingga panen. Tetapi para petani harus menjual hasil produksi sawit mereka kepada perusahaan Inti, meraih pendapatan bulanan setelah dipotong cicilan kredit minimal 20 persen hingga lunas, sesuai skema kredit lunak jangka panjang (13 tahun) untuk golongan ekonomi lemah. Praktik ini yang terjadi dengan PT. TGK di Morowali.

Kedua, kebun sawit seluas 1 atau 2 hektar diserahkan hak kepemilikan kepada petani, namun pengelolaannya tetapi dipegang secara terpusat oleh perusahaan. Para petani memperoleh pendapatan bulanan dari hasil penjualan buah sawit setelah dipotong kredit investasi dan ongkos produksi. Jika bekerja pada perusahaan, maka para petani itu akan dihargai sebagai buruh dengan upah yang umum berlaku di perusahaan. Praktik seperti ini berlangsung di PT. HIP di Buol.

Dari pengalaman di Sulawesi Tengah, terdapat dua jalan menjadi (petani) plasma. Pertama, Pengalaman PT. TGK memperlihatkan bahwa para transmigran yang ditempatkan di sekitar lokasi perkebunan menjadi sumber utama petani plasma. Yang dimaksud dengan transmigran di sini adalah transmigran asal Jawa, Bali, Lombok, NTT dan penduduk setempat (APPDT), yang terutama terdiri dari petani pecahan keluarga, baik dari desa-desa sekitar maupun dari desa-desa lain di dalam wilayah kabupaten. Mereka memperoleh masing-masing kebun sawit di atas lahan seluas 2 hektar, sesuai skema program PIR-Trans. Di luar mereka, masih juga terdapat penduduk lokal bukan transmigran sisipan yang telah menyerahkan lahan mereka memperoleh kebun sawit seluas satu hektar. Penetapan pembagian lahan semacam itu didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Poso No. 188-45/4409/Disbun tertanggal 25 Oktober 1994.

Rasialisasi penetapan sebagai plasma semacam ini yang memicu para petani kemudian menolak keras. Pemda Poso melalui Kepala kantor Sosial Politik, Kapten Sunardi mengintimidasi warga, tokoh masyarakat, dan kepala desa dengan tuduhan melawan pemerintah dan mengancam mereka dengan UU subversi, sehingga warga kemudian menerima secara terpaksa. Tetapi sebagian warga terus protes dengan keputusan tersebut, melakukan pembongkaran jembatan yang telah dibangun PT.TGK, di mana kendaraan-kendaraan yang mengangkut buah sawit selalu melewatinya. Akibatnya, pada tahun 1996 tujuh warga desa Ungkaya ditangkap oleh Kepolisian Resor Poso dengan tuduhan melakukan makar terhadap pemerintah. Sepanjang tahun 1998, terutama setelah reformasi, para petani yang tergabung dalam FK-PPKS melakukan protes, termasuk di antaranya berunjuk rasa di gedung DPRD Tingkat II Poso di Poso dan DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah di Palu. Puncak kemarahan warga terjadi pada 1 Maret 1999, ketika sekitar 5.000 petani dari 15 desa melakukan unjuk rasa di kantor PT.TGK menuntut perusahaan menyerahkan kebun sawit kepada petani yang belum memperolehnya. Aksi panas itu diamankan oleh 1 satuan setingkat kompi (SSK) Brimob dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan 2 SSK Perintis dari Kepolisian Resor Poso. Bukannya meladeni aksi dengan dialog, PT. TGK malah sebaliknya dengan memakai truck mengerahkan 50 eks transmigran asal Flores (NTT) yang membawa golok dan pentungan kayu dengan maksud menyerang pengunjuk rasa, sementara aparat keamanan hanya membiarkannya. Sebuah tindakan yang bodoh ketika ketegangan etnis dan agama sedang meningkat tajam di Poso saat itu, di mana di kemudian hari sebagian di antara eks trans asal NTT inilah yang dimobilisasi untuk melakukan kekerasan dalam konflik Poso sekitar tahun 2000 dan berakhir dengan eksekusi hukuman mati terhadap para petani itu, Fabianus Tibo, Dominggus Soares, dan Marinus yang dikriminalisasi sebagai penanggung jawabnya. Setelah unjuk rasa itu, aparat keamanan tetap ditempatkan di sekitar perkebunan, di mana sejumlah aktivis FK-PPKS setiap hari selalu didatangi oleh aparat intel.

Kedua, hadirnya petani plasma di luar rencana, seperti dalam kasus PT. HIP merupakan buah dari konflik pertanahan yang panjang antara perusahaan dengan petani yang tinggal di sekitar areal proyek. Mereka menjadi petani plasma sebagai jalan keluar untuk meredam konflik yang meluas dan melelahkan yang tidak terpecahkan setelah petani yang tergabung dalam FTB melakukan reclaiming atas tanah-tanah pertanian mereka yang sebelumnya telah ditanami kelapa sawit. Melalui dialog yang keras, setelah sebelumnya anggota-anggota FTB dan aktivis Yayasan Dopalak Indonesia, sebuah LSM yang bekerja sama dengan FTB diteror melalui organisasi-organisasi tandingan dan sejumlah preman, maka muncul kesepakatan untuk menyerahkan 400 hektar lahan kelapa sawit kebun inti untuk dijadikan lahan plasma dengan prioritas kepada 191 petani dari 12 desa. Dalam kesepakatan itu perusahaan juga akan menambah program plasma sampai mencapai 1.500 hektar, di mana tidak akan menanam kelapa sawit pada lahan kebun rakyat untuk program plasma. Kesepakatan itu sendiri dilakukan oleh perusahaan dengan FTB dan disaksikan Bupati Buol, Ketua DPRD Buol Tolitoli, Kepala Kepolisian Resort Buol Tolitoli, Komandan Komando Distrik Militer (KODIM) 1305 Buol Tolitoli, dan pejabat pemerintahan lainnya. Bupati Buol Drs. Karim Hanggi kemudian mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan sebuah tim yang terdiri atas wakil-wakil pemerintah, termasuk kepala-kepala desa, dan wakil dari FTB untuk menetapkan petani peserta plasma dengan prioritas diberikan kepada petani yang tanah pertaniannya terkenai dampak perusahaan. Dalam skema ini para petani plasma membentuk koperasi petani plasma kelapa sawit (Koptan Plasa) yang mewakili para petani. Para petani plasma kemudian memperoleh pembayaran setiap triwulan dari PT. HIP dengan potongan fee sebesar 5 persen untuk Koptan Plasa. Pembayaran oleh PT. HIP kepada petani plasma sendiri dimulai sejak 2005, yang didahului dengan rapat penetapan harga jual tandan buah segar (TBS) yang dilakukan oleh sebuah tim penetapan harga Tingkat I Propinsi Sulawesi Tengah yang dilakukan setiap tiga bulan. Tim itu sendiri diketuai oleh Asisten II Sekda Sulteng, yang beranggotakan wakil-wakil dari dinas Perkebunan, Perindustrian, Koperasi, Perdagangan, PT.HIP, dan Koptan Plasa.

Dewasa ini PT. HIP mulai mengembangkan program plasma sekitar 1.000 hektar, terutama di atas lahan-lahan milik eks transmigran yang berada di sekitar areal perkebunan. Tampaknya, perusahaan memanfaatkan sebuah klausul kesepakatan dengan FTB (20/6/2000) tentang pengembangan plasma sampai 1.500 dari 400 hektar yang sudah direalisasi. Anehnya, areal 1.000 hektar ini bukan diambil dari kebun inti, tetapi pada lahan-lahan perkebunan rakyat milik eks transmigran. Di Wanangun, desa paling dekat dengan kantor perusahaan dan merupakan desa eks transmigran asal NTB, NTT, JABAR, JATIM, APPDT penempatan 1994/95, sedang terjadi penanaman sawit pada lahan II (baik yang sudah diolah dan maupun yang belum diolah) dan lahan persiapan seluas 600 hektar milik eks transmigran itu. 300 di antara warga desa itu akan menjadi petani plasma dengan memiliki 1 hektar kebun sawit dan 150 orang yang merupakan pecahan KK dan tambahan dari desa lain yang mengikuti program TSM (transmigrasi swakarsa mandiri) akan memperoleh masing 2 hektar kebun sawit. Menurut jurubicaranya, perusahaan juga sedang dalam proses persiapan plasma untuk penduduk dari desa-desa asli, di mana lahan-lahan pertanian mereka yang umumnya belum besertifikat akan difasilitasi oleh perusahaan untuk memperoleh sertifikat hak milik. Pada lahan-lahan petani yang akan diplasmakan ini tidak akan ada ganti rugi, tetapi dilakukan secara sukarela, di mana pada lahan-lahan mereka yang pada umumnya sudah ditanami kakao, warga membuat pernyataan penyerahan tanah untuk land clearing.

Sejumlah masalah muncul berkenaan dengan petani plasma. Pertama, terjadinya akumulasi kepemilikan kebun plasma di kalangan para petani plasma sendiri, di mana sebagian petani menjadi tuan tanah baru dengan memiliki kebun plasma hingga di atas 10 hektar, yang memungkinkan mereka juga untuk mengakumulasi lahan persawahan yang luas, dan bahkan kebun sawit di wilayah perkebunan sawit lain yang juga menerapkan pola plasma. Munculnya tuan tanah baru ini juga ditandai dengan kedatangan penduduk, terutama pedagang dengan membeli kebun-kebun plasma milik para petani plasma. Dengan pendapatan bersih petani plasma di PT. TGK antara 4 – 5 juta per dua hektar setiap bulan membuat kepemilikan kebun sawit menjadi bernilai secara ekonomi. Akibatnya transfer kepemilikan kebun sawit melalui jual beli menjadi lazim dengan harga jual antara 75 – 100 juta rupiah per hektar. Terkait dengan utang-piutang, biaya sekolah anak, biaya pernikahan, biaya pengobatan membuat sejumlah petani plasma menjual kebun sawit mereka kepada sesama petani plasma atau kepada penduduk pendatang yang tinggal di desa. Proses ini selain menciptakan ketimpangan dalam kepemilikan kebun kelapa sawit di kalangan petani, juga sejumlah petani plasma, karena kehilangan tanah kebun sawit yang berharga, kemudian alih profesi menjadi buruh tani.

Kedua, muncul keresahan di kalangan petani terutama berkenaan dengan ketidakjelasan rencana perusahaan untuk peremajaan kelapa sawit, di mana isu mengenai menurunnya produksi kelapa sawit yang telah mencapai usia lebih tua. Seperti diketahui, usia produktif kelapa sawit adalah antara 25 sampai 30 tahun. Dalam percakapan dengan petani mereka juga mengeluh mengenai mahalnya harga pupuk sehingga membebani ongkos produksi. Ketiga, menyebarnya ketidakpuasan antara sesama petani di pedesaan, karena sebagian terpilih sebagai petani plasma dan lainnya tidak atau memperoleh lahan kebun yang lebih sedikit. Dalam kasus PT. TGK, ketimpangan kepemilikan lahan kebun sawit menimbulkan kecemburuan beralaskan suku, di mana kategori penduduk pendatang (Lombok, Flores, Jawa, Bali dan Bugis) dan penduduk asli menjadi isu yang tumbuh di bawah permukaan. Sementara di PT. HIP, sejumlah anggota FTB menyoal sejumlah hal mulai dari munculnya beberapa nama yang menurut mereka tidak layak menjadi petani plasma karena proses penunjukan yang tidak fair; rendahnya pendapatan petani plasma dari hasil penjualan buah sawit di mana setiap triwulan mereka hanya memperoleh antara Rp.400.000 hingga Rp. 500.000; hingga anggapan tidak bermanfaatnya program plasma, baik karena rendahnya pendapatan petani plasma maupun munculnya konflik terutama di antara sesama anggota FTB.

Catatan penutup

(1) INDUSTRI perkebunan kelapa sawit menjadi contoh paling baru bagaimana transformasi kapitalis sedang berlangsung dengan jelas. Sifat-sifat industrinya yang padat modal, berskala besar, dan melayani kebutuhan pasar secara global telah membuka ruang yang luas bagi peranan investasi swasta. Sangat jelas, industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah menggambarkan sedang berlangsungnya proses kerja hubungan produksi kapitalis yang semakin mendalam. Proses ini bekerja begitu kompleks terutama ditandai dengan (a) pemisahan petani dari alat produksi, dimulai dari hilangnya akses untuk mengolah lahan-lahan pertanian milik mereka di dalam sistem pertanian subsisten atau sistem di mana tanah dan tenaga kerja masih rendah tingkat komoditisasinya, dan (b) beralih menjadi tenaga kerja produktif dalam industri perkebunan sawit yang modern, di mana terjadi (c) konsentrasi alat-alat produksi di tangan kelas kapitalis. Inilah tiga aspek kunci yang oleh Marx (1976) menyebutkannya sebagai akumulasi primitif. Proses ini berjalan, tentu karena peranan sentral pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan/kebijakan pemerintah yang mendukung di bidang pertanahan, perburuhan, investasi, dan keuangan, serta menyebarkan kekerasan, teror, dan intimidasi untuk mengakhiri klaim-klaim petani atas tanah dan sekaligus mendesak keluar sistem ekonomi prakapitalis.

(2) Proses ini juga meliputi bermigrasinya buruh-buruh tani sewaan dari kegiatan pertanian pedesaan berskala kecil ke industri perkebunan kelapa sawit yang jauh lebih kapitalistik. Peranan paling sentral dari pemerintah dalam proses ini mencakup kebijakan-kebijakan dan program-program penyediaan tenaga kerja murah melalui skema pemindahan penduduk miskin dari daerah-daerah padat penduduk, di mana sejarah pemisahan mereka dari kepemilikan alat produksi sudah berlangsung lebih lama. Keseluruhan proses ini yang memungkinkan akumulasi kekayaan swasta dalam industri perkebunan kelapa sawit di daerah ini dapat berlangsung.***

Palu, 28 Agustus 2009.

Daftar pustaka

Aditjondro, G.J., (2006) Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, tangsi, dan partai penguasa, Yogyakarta: LKIS.

Aragon, L. (2001) Communal violence in Poso, central Sulawesi: where people eat fish and fish eat people
Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah (2005) Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Survey Rumah Tangga Perkebunan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu: Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.

Bisnis Indonesia (2009) UE janji ekspor CPO Indonesia tidak terganggu, Bisnis Indonesia, 27 Juli.

Carter, C., et.al, (2007) Palm Oil Market and Future Supply, Eur.J. Lipid Sci. Technol, 109:307-314.

Casson, A. (2002) The political economy of Indonesia’s oil palm sub sector dalam C.J. Cofler & I.A.P. Resosudarmo, (eds.) Which Way Forward?: People, forest, and policy making in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Colchester, M. et.al. (N.D.) Promised Land Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implication for local communities and indigenous people, unpublished paper.

Davis, G. (1976) Parigi: A Social history of the Balinese Movement to Central Sulawesi, 1907 – 1974, a PhD Dissertation at Stanford University.

Eva Martha Rahayu (2006) Manuver Murdaya – Hartati Membangun Kerajaan Bisnis, Swasembada, No. 07/XXII/6-19 April.

Gelder, J.W.V., (2004) Greasy Palms: European buyers of Indonesian palm oil, London: Friend of the Earth.

Golden Agri-Resources Ltd., (2008) Annual Report 2008, Singapore: Golden Agri-Resources Ltd.
Henley, D. (2005) Fertility, Food and Fever: Population, economy and environment in North and Central Sulawesi, 1600 – 1930, Leiden: KITLV.

Indonesian Commercial Newsletters (2008) Outlook Agribusiness – 2009, Indonesian Commercial Newsletter, December.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (2006) Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit, Jakarta: Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Republik Indonesia.

Kontan (2009) FTA Diteken Bea Masuk CPO Indonesia turun, Kontan, 9 Juli.

Larson, D.F. (1996) Indonesia’s Palm Oil Subsector, Policy Research Working Paper, Washington, D.C.: The World Bank.

Levang, P. (2003) Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta: KPG.

Li, T.M. (2007) the Will to Improve: Governmentality, development, and the practice of politics, Durham: Duke University Press.

Marx, K. (1990) Capital: A Critique of Political Economy (Volume I), London: Penguin Books.

McRae, D. (2008) The Escalation and Decline of Violent Conflict in Poso, Central Sulawesi, 1998-2007. Unpublished Dissertation, College of Asia and the Pacific, Australian National University.

PT. Astra Agro Lestari, Tbk., (2008) Take Care for the Future: Laporan tahunan 2008, Jakarta: PT. Astra Agro Lestari, Tbk.

PT. Astra International, Tbk., (2008) Maintaining Momentum: Annual Report 2008, Jakarta: PT. Astra International, Tbk.

Sami Darby Berhad (2008) Annual Report 2008, Kuala Lumpur: Sami Darby Berhad.

Schrauwers, A. (2000) Colonial ‘Reformation’ in the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892 – 1995, Toronto: University of Toronto Press.

Schrauwers, A. (1998) ‘Let’s Party’: State intervension, discursive traditionalism and the labour process of highland rice cultivators in Central Sulawesi, Indonesia, the Journal of Peasan Studies, vol. 25 (3): 112-131.

Schwarz, A. (1999) A Nation in Waiting: Indonesia’s search for stability, NSW: Allen & Unwin.

The Jakarta Post (2000) Malaysia’s Kumpulan Guthrie Wins Salim Plantation Firms, The Jakarta Post, 28 September.

The Star (2009) Indonesia’s current palm oil production far from target, June. [online]. akses melalui: http://biz.thestar.com.my/news/story.asp?file=/2009/6/24/business/4181330&sec=business. [akses 29 Agustus 2009].