Fitri Yang Istiqomah

LAHIR di Jakarta, besar di Karawang, kerja dan kuliah, menjadi ketua Kohati (Korps HMI-wati), aktif di FSPEK-KASBI dan kini juga kader PRP. Sekalimat tersebut barangkali garis hidup sejauh ini dari aktivitas seorang Fitriyanti. Meskipun tentu saja banyak lika-likunya, sedikit drama dan serangkaian kebetulan.

Hanya saja, membaca kalimat awal tadi guna menyimpulkan begitu saja seorang Fitri, tentu sulit. Kombinasi identitas yang mungkin repot (dibayangkan) menyatu dalam diri seseorang. Maka kita ingin menguraikannya.

Fit, bagaimana awal mulanya?

“Aku memang lahir di Jakarta tapi kemudian ikut kakek-nenek yang tinggal di Karawang, setelah lulus SMA terus kerja di bagian admin (administrasi-red) di PT Supravisi Rama Optic yang memproduksi lensa kacamata.”

Apa yang kau kerjakan di sana?

“Yah, kerja-kerja administrasi sih, seperti ngatur jadwal cuti atau lembur karyawan, distribusi dokumen ke departemen-departemen lain.”

Kuliahmu?

“Oya, setahun setelah bekerja di SRO, aku kuliah di STMIK Sultan Agung Pamitran Karawang jurusan Teknik Komputer. Karena kuliah inilah aku terus masuk HMI. Sebelum jadi ketua Kohati, sempat jadi bendahara komisariat dan sekretaris Kohati kabupaten Karawang.”

Wah wah, sibuk nian dong?

“Pintar-pintar bagi waktu saja. Untungnya kerjaan selalu di pagi sampe agak sorean sedikit, jadi masih ngejar waktu kuliah.”

Fitri yang dulunya bercita-cita jadi dokter atau minimal perawat ini tampak sumringah. Barangkali mengenangkan waktu-waktu itu.

Dan bagaimana ceritanya hingga dirimu terlibat dalam gerakan?

“Sebenarnya boleh dibilang serangkaian kebetulan yang ’menjerumuskan’ Fitri ke gerakan. Suatu hari aku ketemu seorang buruh perempuan yang sudah kerja 5 tahun, tapi statusnya harian lepas. Dia itu lagi hamil, terus minta cuti ke pihak perusahaan. Tapi jawaban yang diterima sungguh tidak manusiawi. Menurut perusahaan, dia tidak boleh cuti karena sedari awal sudah ada perjanjian tidak boleh menikah.”

Terus?

“Hal-hal begitu memupuk rasa ingin tahu Fitri, mengenai hak-hak buruh. Suatu kali pas isu Revisi UU Ketenagakerjaan lagi santer-santernya, aku nanya pada ketua serikat pekerja tingkat pabrik soal isu itu. Tapi jawabnya sungguh tidak simpatik. Katanya isu-isu macam revisi UUK adalah urusan pengurus serikat dan anggota atau buruh biasa tidak perlu mikirin. Gila! Jawaban macam apa kayak begini ini….”

Lalu masuk SPEK?

“Oh nggak begitu! Ada senior HMI yang jadi koordinator FORSPEK sekira tahun 2006 (cikal bakal SPEK-red), terus ngajak Fitri masuk. Alasannya saat itu untuk beribadah, apalagi di SPEK belum ada anggota perempuan. Fitri langsung jadi koordinator Komite Perempuan. Tapi saat berhenti kerja di SRO (dan koordinator harus buruh aktif), aku di pindah ke departemen hubungan antar lembaga sekaligus staff keuangan.”

Fitri memang berhenti kerja setelah di paksa menulis pengunduran diri. Awal nya bukan karena urusan demo-demoan. Barangkali malah agak unik. Ceritanya bermula dari tur dalam rangka ulang tahun perusahaan.

Saat itu ada kebijakan aneh. Kalo keluarga buruh laki-laki digratiskan, tapi keluarga buruh perempuan justru tidak dan tetap harus membayar lagi untuk ikut tur tersebut. Fitri terang mengritik ke pihak HRD, karena ada perlakuan tidak adil ini. Tanggapan HRD rada-rada berlebihan. Katanya buruh perempuan justru harus bersyukur karena memiliki hak cuti yang lebih banyak dari buruh laki-laki

Apakah begitu saja?

“Entahlah. Karena sesudah itu situasinya serba tidak enak lagi. Fitri boleh dibilang karyawan teladan karena selalu masuk kerja. Selain Fitri, di bagian admin ini ada seorang kawan, tapi lalu dipindah ke bagian lain. Jadinya, pekerjaan pun menumpuk ke aku. Sepertinya memang sengaja dibikin nggak betah. Kerjaan dibanyakin, pas libur tiba-tiba disuruh masuk dan kalo pulang kerja sering terlambat dan terpaksa pulang sendiri (tanpa jemputan perusahaan yang berarti nambah ongkos sendiri). Semuanya itu Fitri lakuin tanpa kompensasi upah lebih.

Endingnya ya itu tadi. Perusahaan akh-irnya memaksa Fitri menandatangi surat pengunduran diri.

Sekarang kita beralih ke aktivitas organisasimu. Tentu saja ada perbedaan langgam kerja antara ketika pas di HMI dengan aktif di serikat buruh kiri macam SPEK?

“Memang. Dari hal-hal kecil saja terasa banget. Misalnya pas di HMI, bikin proposal kegiatan mudah sekali dapat dana dan fasilitas. Di SPEK, hal itu tidak bisa dilakukan lagi. Segalanya serba lebih susah. Tapi hal ini bagi Fitri jauh lebih menantang.”

Bagaimana dengan Fitri sendiri, maksudnya transformasi diri dari aktif di organ kekanan-kanan beralih ke kiri seperti PRP?

“Tentu saja ada pertentangan semacam itu. Banyak suara di sekitar Fitri yang mewanti-wanti soal sosialisme yang dibilang anti-agama. Aku juga sempat ikut kegiatan PKS dan mereka bilang boleh aktif di serikat, tapi janganlah di SPEK. Seorang senior di HMI, yang merasa ngebimbing Fitri, merasa bersalah karena merasa tidak benar-benar memantau. Tapi akhirnya dia mengakui aktivitas Fitri, lalu berkata, “Neng, istiqomah di gerakan buruh ya….”

Orang tua bagaimana?“

Jangan tanya, deh. Mana ada orang tua yang mengijinkan anaknya jadi aktivis kiri? Tapi toh lama-lama mereka menyadari pilihan Fitri. Hanya saja mereka selalu kasih rambu-rambu supaya tidak terlalu menonjol."

Ada kegalauan yang mengarahkan seorang Fitri ke pangkuan PRP. Banyak persoalan di perburuhan, tapi pemerintah tutup telinga, mata dan kuping. Anggota-anggota dewan demikian halnya. Lucunya, banyak dari mereka yang kenal dekat dengan Fitri. “Rasanya gak enak pas demo ngata-ngatai mereka, tapi Fitri benar-benar kenal dan dikenal mereka karena latar belakang HMI.” Tapi bagaimanapun itulah faktanya. Banyak aktivis mahasiswa yang setelah menjadi pejabat publik, kerja dan prestasinya tidak bisa diharapkan rakyat pekerja.

Melalui diskusi panjang dan pendidikan di serikat, mulai terbukalah hati Fitri. Baginya, sejarah telah dibengkokan. Hal-hal di masa lalu dibumbui horor dan lalu digunakan untuk menakut-nakuti mereka yang berusaha kritis terhadap kekuasaan. Sosialisme yang jelas-jelas masa depan bangsa ini meraih kemajuan, dipermak dan dirusak citranya. Situasi yang membikin keterjarakan amat lebar antara rakyat pekerja dan sosialisme.


Pertanyaan terakhir, Fit. Yakinkah kamu PRP menjadi partainya kelas pekerja dan suatu saat menjadi kekuatan politik dominan di negeri ini?


(Fitri pun tersenyum)

“Yakin, yakin sekali. Yakin 100%."*** (JOXUM)

Percakapan ini sebelumnya telah dimuat di media terbitan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Koran Rakyat No. 14 Juni 2009. Dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.