Roby Muhamad
PEMILU yang baru lalu memberikan tontonan menarik yaitu akrobat para politikus. Pasangan presiden dan wakil presiden yang berjuang bersama selama lima tahun berpisah; PKS bergabung dengan kelompok yang juga dipenuhi mereka yang dikenal sebagai Islam liberal; sebagian aktivis progresif dan militer yang biasanya berseteru menjadi satu dalam semboyan Megawati-Prabowo; dan sekarang ada kemungkinan besar Golkar yang sebelumnya menjadi lawan SBY di pemilihan presiden akan menjadi bagian dari pemerintah.
Melihat ini, kita cenderung berpikir bahwa kepentingan mengotori politik dan membuatnya korup. Dalam pikiran kita, politik seharusnya adalah politik yang mendahulukan kepentingan nasional dan berpihak pada rakyat. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan kelompok.
Pikiran di atas terlihat bagus, tapi memiliki satu masalah karena mengabaikan satu fakta penting: setiap individu adalah bagian dari satu atau beberapa kelompok. Perilaku seorang individu selalu dipengaruhi dan mempengaruhi perilaku individu lain disekitarnya, terutama mereka yang memiliki kepentingan sama dalam sebuah kelompok.
Apakah itu kelompok petani, pedagang, pedesaan, perkotaan, pejabat, penyanyi, hingga pelajar, setiap kelompok memiliki kepentingan masing-masing yang sering bertentangan satu sama lain. Orang berpolitik karena ingin mendapatkan sesuatu. Orang berarti secara politis hanya jika dia menjadi bagian kelompok, dan kelompok hanya berarti jika kelompok itu bergerak memperjuangkan kepentingannya.
Sayangnya, dalam politik, kompetisi antar kelompok sangat rumit karena tiga hal. Pertama, setiap orang memiliki lebih dari satu kelompok. Kedua, tidak ada kelompok yang berdiri sendiri, setiap kelompok saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Ketiga, tidak ada kelompok yang berperilaku dalam satu perilaku yang konsisten; lingkungan yang selalu berubah membuat kelompok harus sigap beradaptasi dengan lingkungan. Akibatnya aliansi antar grup selalu berubah-ubah. Karena itu, presiden, partai politik, dan aktor politik lain, dalam pandangan ini, tidak berarti apa-apa selain medium tempat kepentingan kelompok saling berinteraksi dan berkompetisi. Semua sektor pemerintahan adalah arena pertarungan kepentingan.
Tumbukan berbagai kepentingan ini akan menimbulkan keputusan yang pintar, keputusan yang bodoh, konspirasi, kerja sama, korupsi, kedermawanan, perjuangan, penipuan, kesabaran, dan segala macam aktivitas yang terus menerus terjadi di sekitar kita.
Meskipun ini semua terlihat pesimis dan sinis, apa yang disebutkan di atas adalah gambaran realitas politik di lapangan. Realitas ini selanjutnya menjadi dasar bagi kita melaksanakan proses politik secara optimis.
Agar dapat melakukan politik secara optimis, paling sedikit kita perlu melakukan dua hal. Pertama adalah kita harus tahu kepentingan terselubung di balik setiap retorika ideal. Ini bukan berarti mereka yang menyuarakan retorika ideal berbohong (meski kemungkinan berbohong jangan pernah diabaikan), bisa saja orang secara tulus dan jujur beretorika dengan hal-hal yang ideal. Tetapi, ketika retorika ideal dijalankan secara praktis maka "logika kepentingan" menjadi dominan.
Dari sudut pandang ini, kita bisa melihat bahwa politikus yang berjanji melakukan reformasi untuk kepentingan nasional, apa yang dia lakukan sebenarnya adalah merubah keseimbangan yang ada dengan memperkuat sebagian kelompok dan memperlemah kelompok lain. Tidak ada yang bisa menyenangkan semua orang. Politisi harus mampu menjelaskan kenapa dia memilih menyenangkan sebagian kelompok dan membiarkan kelompok lainnya.
Kedua, mengakui bahwa kepentingan adalah hal positif dan fundamental dalam politik. Implikasinya, mereka yang mau bekerja keras menggalang organisasi sosial-politik akan memetik hasil. Misalnya, jika Anda merasa pemerintahan sekarang merugikan Anda atau orang lain yang Anda pedulikan, maka solusinya adalah membentuk organisasi oposisi: terjemahkan kepentingan Anda dengan aksi.
Kepentingan tidak selalu identik dengan kerakusan terhadap kekuasaan atau uang; memperjuangkan kepentingan bukan berarti mengabaikan etika. Memperjuangkan kepentingan kelompok termasuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak mampu berjuang sendiri. Intinya, karena semua orang termasuk ke dalam kelompok, maka perjuangan setiap kelompok menjadi bagian tak terpisahkan dari politik.
Politik Indonesia akan menjadi lebih dinamis dan mampu merespon kebutuhan lebih banyak orang jika lebih banyak kelompok kepentingan terjun ke arena politik dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing, sambil sadar bahwa kelompok lain juga sedang memperjuangkan kepentingan mereka. Kepentingan bukanlah hal tabu dalam politik.
Semua orang memiliki kepentingan, baik yang menguntungkan secara ekonomi atau tidak. Para politikus adalah mereka yang ahli dalam meyakinkan kepentingan mereka sama dengan kepentingan publik. Karena publik selalu terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan masing-masing, maka sudah sepantasnya kita jujur mengakui bahwa politik adalah soal kompetisi kepentingan golongan atau kelompok. Yang perlu dilakukan selanjutnya, bukan menghilangkan kepentingan kelompok dari politik, tetapi justru memberdayakan setiap kelompok--terutama kelompok yang selama ini lemah--agar mampu memperjuangkan kepentingannya. Politik optimis adalah politik yang menyalurkan kekecewaan dan kemarahan menjadi aksi gerakan terorganisir yang memiliki misi ini: memperjuangkan kepentingan secara terus-menerus.***
Roby Muhamad tengah menyelesaikan disertasi doktoral ilmu sosiologi di universitas Columbia, New York, AS.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di http://pemilu.liputan6.com/kolom/200908/239221/Politik.Optimis, August 5, 2009 at 10:24am. Dimuat ulang di sini untuk kepentingan pendidikan.