Marah

Sebuah cerpen
Andre GB

AKU sudah berkali – kali memikirkan ini sendiri ataupun berdiskusi dengan teman-teman yang lain sesama seniman di organisasi tempat aku belajar dan bernaung saat ini. Membicarakan bagaimana posisi kami dalam sebuah ruang yang sebenarnya harus dimiliki bersama secara adil. Secara kolektif. Secara lebih merata, tanpa ada ekploitasi dari yang lain kepada sahabat yang lain. Namun dalam kenyataan yang kini sombong menghadapi kami, tidak begitu. Kami tersisih. Kami terhisap ditengah-tengah orang yang membicarakan tentang anti penindasan. Kami terlikuidasi oleh sebuah keegoisan yang menganggap bahwa posisi kami tidaklah lebih dari penggembira dalam setiap aksi demonstrasi yang dijalani. Kami hanya bertugas untuk membuat aksi lebih semarak bagi para wartawan yang bagiku lebih kelihatan bukan sebagai pencari berita yang objektif, namun menyerupai rentenir fenomena.

Ini yang membuat Fauzan sampai kesal berkali-kali tiap mendapat laporan dari yang lain tentang masalah ini. Dia bahkan sampai ekstrim dan memilih mogok untuk membacakan puisi-puisinya kala demonstrasi saat launching antologi puisinya bulan lalu tak mendapat respon dari sesama kawan aktivis yang lain. Mereka lari dan bersembunyi dalam tabir alasan yang sebenarnya klise dan kuno. Sekuno cara mereka memandang keberadaan kami ditengah-tengah gejolak politik ini. Ya. Keberadaan seniman-seniman kerakyatan dalam ruang politik sungguh sangat ironi dan naif. Entah kami atau mereka.

Micky bahkan sangat sedih ketika pameran lukisannya justru lebih banyak dihadiri oleh musuh-musuhnya dalam berkesenian dibanding mereka yang mengaku peduli dengan sebuah seni pembebasan yang berkarya untuk pencerahan rakyat miskin di negara sialan ini. Dengan selimut diskusi, agenda mendesak ataupun yang lain, mereka menolak secara sengaja keberadaan kami yang mencoba menopang ribuan bahasa alien mereka yang susah dimengerti oleh masyarakat yang rata-rata tak punya pendidikan tinggi. Kami yang mencoba menjadi jembatan makna bagi mereka yang menjadi pahlawan dijalanan saat berpidato layaknya nabi-nabi modern bagi kebingungan yang merasuki jutaan orang tertindas di republik kotor ini.

Kami tak ingin menghakimi, namun ini yang terjadi. Pijakan bersama itu perlahan namun pasti tergeser menjadi sebuah privatisasi keberadaan. Dan ratusan puisi kami yang kini teronggok bingung menatap penuh tanya yang belum terjawab. Sketsa-sketsa dan karikatur realita kemiskinan seakan diludahi oleh pahlawan-pahlawan muda heroik yang tak mengerti jalan lingkar politik yang didengungkan hingga bagaiman ia bisa sampai dan terjelaskan kepada massa rakyat.

“Mereka terlalu politis, sehingga tak mampu mengerti bagaimana seni menjadi kaki yang akan melangkah didepan demi kejayaan komunal.” Itu kegundahan Ipunk yang dibuangnya bersama kepulan asap rokok dan tegukan kasar kopi kental digelas tunggal ditengah-tengah kami. Seperti gambaran keterasingan kami ditengah para politisi rakyat itu.

Dan semuanya menjadi tak normal lagi. Ketika pementasan malam kemarin yang kami gagas untuk perayaan International Woman`a Days berujung pembubaran paksa dan penangkapan beberapa kawan. Termasuk Andi dan Rudy yang masih menaruh kepercayaan kepada mereka yang memperkosa artefak kesenian kami. Dan mereka hanya mengirimkan selembar ucapan solidaritas belasungkawa tanpa dosa dan rasa bersalah.

Tinggal kami sendiri yang harus berjuang mengahadapi persidangan esok. Sendiri tanpa ramai. Hanya berteman gitar tua yang telah puluhan kali mengiringi aksi-aksi kami dihari-hari yang telah berlalu dengan sombong. Memunggungi keterpojokan seniman-seniman politik yang dinista oleh ketidak dewasaan politik. Namun terus mengepalkan tinju ke awan dan berteriak menuntut demokrasi sampai mereka disana bisa mengerti, kami juga adalah anak-anak waktu yang dibesarkan oleh kemelaratan bangsa ini. Karena rentetan cerita sendu tentang bangsa kaya yang terus terjajah dan masih dihinggapi optimisme anak-anak muda yang percaya akan keniscayaan perubahan esok yang lebih baik.***