Potret Utang Indonesia

Martin Manurung

SUNGGUH menarik pemilihan presiden tahun ini sebab selain diskursus ideologi neoliberalisme, juga muncul kontroversi posisi utang Indonesia.

Pemerintah menanggapi dengan mengemukakan, posisi utang kita masih wajar dan aman. Meski stok utang bertambah, proporsinya terhadap produk domestik bruto (PDB, total nilai tambah output yang diproduksi perekonomian) terus turun dan kini sekitar 33 persen.

Namun, melihat stok dan rasio utang terhadap PDB saja tak cukup untuk memotret wajah utang Indonesia secara utuh. Karena itu, perlu dipahami secara lengkap bagaimana profil utang kita agar didapatkan pemahaman yang utuh, mencakup stok, solvabilitas, dan likuiditas.


Stok utang

Selama lima tahun belakangan ini tak dapat dimungkiri, stok utang memang bertambah. Kini, posisi utang dan obligasi dari dalam dan luar negeri mencapai Rp 1.695 triliun, meningkat dari Rp 1.275 triliun pada lima tahun lalu. Dari stok utang ini, sekitar 60 persen bersumber dari dalam negeri.

Bila dilihat dari komposisi berdasar mata uang, proporsi utang dalam rupiah meningkat dari 50 persen (2004) menjadi 54 persen saat ini. Dengan demikian, risiko nilai tukar atas stok utang itu memang telah berkurang.

Namun, berkurangnya risiko nilai tukar tak berarti bahwa risiko gagal bayar pun berkurang. Sebab, risiko premium akibat berbagai faktor ekonomi dan non-ekonomi masih tinggi. Hal itu terlihat dari relatif tingginya rentang tingkat suku bunga yang dikenakan pada obligasi negara, yaitu 10,5-13,5 persen. Tingkat suku bunga ini relatif jauh lebih tinggi daripada yang ditawarkan negara-negara lain. Bahkan, AS yang kini dilanda krisis finansial dahsyat pun mengenakan suku bunga sekitar 9,0 persen. Ini berarti Indonesia masih dipandang lebih berisiko daripada krisis finansial di AS.

Solvabilitas

Faktor kedua adalah solvabilitas yang diukur dengan rasio utang terhadap PDB. Penjelasan pemerintah dan kampanye yang mengatakan rasio itu telah menurun tidak salah. Memang, rasio utang terhadap PDB terus menurun dari 57 persen (2004), 47 persen (2005), 39 persen (2006), 35 persen (2007), 33 persen (2008).

Solvabilitas menggambarkan kemampuan output suatu perekonomian untuk menutupi utang seandainya terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan anggaran negara tidak likuid. Semakin baik solvabilitasnya, semakin kecil kemungkinan perekonomian itu bangkrut (insolven) sebab total nilai tambah output masih melebihi nilai utangnya.

Meski demikian, suatu perekonomian yang solven belum tentu memiliki anggaran negara yang cukup untuk membayar kewajiban utangnya. Karena itu, tetap penting mengetahui kemampuan anggaran dengan memerhatikan sisi likuiditas.

Likuiditas

Faktor ketiga adalah likuiditas yang menggambarkan kemampuan anggaran membiayai pengeluaran dari penerimaannya sendiri di luar utang dan obligasi. Pada masa lalu, sering digunakan parameter debt to service ratio (DSR, rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor). Namun, proporsi utang yang saat ini lebih besar berasal dari dalam negeri membuat parameter itu kurang tepat digunakan.

Karena itu, diperlukan parameter keseimbangan primer (primary balance) yang menunjukkan surplus atau defisit APBN yang dihitung dari penerimaan negara di luar utang dan obligasi terhadap pengeluaran negara di luar pembayaran cicilan utang dan bunga. Dengan demikian, dapat diketahui posisi anggaran tanpa pembiayaan dan pengeluaran utang.

Data statistik makro menunjukkan, keseimbangan primer kita terus menurun selama lima tahun belakangan ini. Bahkan, diperkirakan tahun ini anggaran mengalami defisit primer sebesar negatif 0,5 persen terhadap PDB. Artinya, penerimaan negara (di luar utang dan obligasi) sudah lebih kecil daripada pengeluaran umum sehingga untuk membiayai belanja dan tentu utang, diperlukan utang atau obligasi yang baru. Defisit primer itu menunjukkan kita akan mengalami situasi ”gali lubang tutup lubang” tahun ini.

Memerhatikan hal itu, kita tahu bahwa faktor likuiditas amat penting untuk mendapat penekanan dan bukan hanya soal solvabilitas seperti yang selama ini didengung-dengungkan. Sebab, utang secara langsung membebani anggaran negara, bukan output perekonomian.

Likuiditas yang terus turun mengungkap alokasi pengeluaran untuk pembiayaan utang yang membesar dan berakibat pada berkurangnya alokasi anggaran membiayai fungsi sosial negara, seperti kesehatan, pemberantasan kemiskinan, dan pertahanan-keamanan.

Karena itu, agar fungsi sosial negara tak dibiayai dari utang sebagaimana terjadi sekarang, sumber-sumber penerimaan dalam negeri harus diperbaiki, khususnya dari bagi hasil sumber daya alam, ekspor, dan perluasan basis pajak serta reformasi perpajakan. Dengan demikian, negara dapat semakin mandiri dan mampu melayani kebutuhan rakyat serta mengelola utangnya dengan produktif.***

Martin Manurung Analis Ekonomi-Politik dan Pembangunan; Anggota Dewan Pengarah Jaringan Sosial Demokrasi Se-Asia; Alumnus School of Development Studies, University of East Anglia, Inggris

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Selasa, 7 Juli 2009.