Data Brainanta
H+1
BERTUBI-TUBI media memberitakan kemenangan SBY. Isu DPT bermasalah yang sempat terangkat menjelang hari H kini tenggelam sudah, begitu pun kasus2 kecurangan lainnya. Quick count yang mengetuk palu, bukan KPU; sementara suara-suara sesungguhnya masih dalam perhitungan. Media menyegel kemenangan incumbent, sambil membujuk yang kalah agar legowo - kadang bahkan mengejek: golput lebih besar dari mega atau jk! JK kalah di TPS rumahnya! (Omong-omong siapa yang menang di TPS korban Lapindo ya?) Hanya segelintir kecil saja yg masih peduli memprotes kemenangan yang cacat hukum ini. Suara pembaruan, sbg salah satu yg bukan pendukung SBY, dalam editorialnya menyatakan bahwa kemenangan incumbent tidaklah terhormat di mata lawannya.
Mengapa penyelewengan demokrasi ini bisa berlalu begitu saja di depan mata publik? Barangkali jawabannya sederhana, siapa peduli teknis demokrasi yg bersih, toh semuanya juga kotor, yang penting jagoan gue menang. Atau lebih sederhana lagi: EGP!
Yah. Inilah realitas demokrasi neoliberal. Penjelasan yang jitu justru ada pada email Andi Mallarangeng (palsu katanya, yang menyatakan bahwa masyarakat kita sudah begitu konsumtif, sehingga nilai-nilai sosial dan ideologi sudah tak ada artinya. Alih-alih mempertahankan Pancasila, masyarakat kita justru lebih rela berjuang mati-matian, ngutang sana sini, untuk membeli Blackberry - katanya. Tepat sekali kan?
Konsumerisme atau sifat konsumtif konotasi umumnya adalah negatif. Tentu, ini tergantung perspektif juga. Dalam wacana neoliberalis itu diagung-aungkan sebagai penggerak masyarakat dan kemajuan peradaban. Tengoklah pendapat menteri keuangan Sri Mulyani, yang bilang bahwa Indonesia punya potensi dalam pasar global karena jumlah konsumen usia muda cukup tinggi. Bukan tingkat pendidikan, bukan budaya, bukan pula kemampuan produksi yang dijadikan acuan, melainkan sejauh apa masyarakat usia produktifnya keranjingan mengkonsumsi sehingga rela terus menerus bekerja keras untuk melunasi tagihannya. Dalam skala negara, negeri kita pun juga telah menjadi negeri konsumtif, yang berhutang gila-gilaan untuk memoles angka-angka ekonomi makro yang sesungguhnya tak lebih dari make-up untuk menyembunyikan kemiskinan yang meluas, akibat APBN yang digunakan untuk melunasi utang dan pembelanjaan yang tidak menambah kemampuan produksi negeri ini.
Kata Pram, akar korupsi berasal dari konsumsi yang melebihi produksi. Tak heranlah bila pemberantasan korupsi (KPK) hanya sekedar sandiwara berlakon tebang pilih. Gak percaya? Cek saja ke Transparancy International; peringkat korupsi Indonesia tidak ada perbaikan.
Kekorupan pemilu ini justru berlangsung terang-terangan. Untuk menang pemilu dalam masyarakat yang telah dibuat begitu konsumtif, maka metodenya pun bukan program-program politik/ekonomi yang maju, melainkan image, citra, seperti halnya tampil dalam American Idol atau reality show lainnya. Mau sosialisme, kapitalisme atau neolib sekali pun rakyat tidak peduli, yang dipedulikan adalah siapa calon yg paling menarik perhatian mereka, yang tampil paling keren. (Mallarangeng, 2009)
Di sini peran media jadi sentral. Siapa menguasai media, maka satu kakinya sudah melalui garis finish. Kaki lainnya tinggal pada kontrol pengerahan massa. Bagi incumbent yang telah solid menguasai organisasi negara, seperti tentara yang strukturnya nasional, maka yang ini bukan masalah besar. Tinggal bagaimana caranya mempertahankan diri dari tantangan-tantangan mobilisasi dari saingan-saingannya, termasuk dari gerakan massa. Ini pun dapat dinetralisir dengan ideologi yang apolitis atau anti-elektoral.
Monopoli media incumbent pun begitu terang, hingga sesungguhnya banyak melanggar aturan hukum. Siaran pooling seluruh stasiun TV yg biasa pada jaman Orba, kini bisa disaksikan lagi. Yang juga cukup mencengangkan, iklan kampanye lawan politik - Mega-Pro - ditolak oleh stasiun-stasiun TV. Bukan bawaslu yang menolak, tapi stasiun tv. Tidak perlu lagi lembaga sensor negara. Kini siapa yang punya cukup uang bisa menyensor apa pun yang ia mau.
Tak heran, yang paling awal merayakan kemenangan SBY adalah kerajaan uang, yakni bursa saham, bahkan sejak semalam sebelum pilpres dimulai - atau tepatnya, ketika DPT cacat tidak diproses oleh KPU. Goldman Sachs, bank investasi AS yang paling mengambil keuntungan dari keruntuhan finansial tahun lalu, paket bailout dan krisis saat ini (bahkan bisa dibilang turut mendalangi semua itu), yang orang-orangnya menguasai posisi ekonomi kunci dalam administrasi Obama, menaikkan peringkat Indonesia pada malam itu juga. Dan besoknya, barulah digelar pilpres.
Perlawanan terhormat thd fait-a-compli ini ditunjukkan oleh Prabowo, yg pada malam sebelum pilpres menggelar orasi politik dan menuding - dengan tepat - bahwa SBY melakukan malapraktik.
Dalam pertarungan ini, Prabowo yang punya dosa besar pada gerakan pro-dem dekade lalu, kini seakan-akan menjadi pejuang terdepan bagi demokrasi yang bersih, jurdil. Tentunya, kali ini dia begitu berkepentingan untuk mendapatkan perlakuan yang adil, dia menuntut hak-hak demokratiknya - hak-hak yang dulu dirampas dari tangan rakyat oleh rejim Harto, yang mana ia menjadi salah satu tukang jagalnya.
Begitu pula dalam masa kampanye ini dia menjadi pembela ekonomi pro-rakyat, yang telah dicerabuti dari bumi nusantara dengan dijatuhkannya Sukarno dan dibunuhnya jutaan pengikut dan simpatisannya, lagi-lagi oleh Harto. Namun ayahnya Prabowo, Sumitro D, pernah pula turut berperan melawan rejim Sukarno yang pro-rakyat.
Kalau ada penebusan dosa, maka sesungguhnya Prabowo sudah ada di jalan yang benar. Walaupun masih sekedar retorika menegakkan demokrasi yang adil dan ekonomi pro-rakyat - dua hal yang ia maupun papinya pernah berperan dalam menghancurkannya.
Walaupun sepertinya gagal menghentikan kelanjutan rejim neoliberal tulen (SBY-Bud-Sri Mulyani), pilpres 2009 bisa dibilang cukup istimewa bagi pendidikan politik rakyat. Praktis sejak para kandidat telah mendaftar, isu yang terangkat adalah isu yang benar-benar membedah sebab-musabab ketertinggalan bangsa, yakni ekonomi politik, neolib. Susah memang, ini bukan barang jualan yang laris, isu ini bukan indomie yang sedap, massal, instan, murahan, tapi gak bergizi; melainkan gado-gado, yang handmade, bergizi tinggi, dan sebenarnya lebih sedap kalau mau nambahin duit lagi dikit. Dengan terangkatnya neolib, walaupun mungkin masih banyak yang belum menerima, setidaknya di masa depan kebijakan-kebijakan neoliberal yang anti-rakyat, seperti privatisasi, liberalisasi jasa sosial, tidak dapat lagi begitu saja didandani cantik seperti sebelumnya.
Pelajaran kedua adalah tentang bagaimana berdemokrasi. Gede Sandra benar, Rizal Ramli telah lebih dulu memperingatkan kecurangan elektoral dalam pilpres, bahkan pileg, namun memang para elit terlalu sibuk membangun koalisi mengatur posisi. Barangkali juga para elit tidak cukup berani mengambil isu itu karena dapat dengan mudah dipelintir oleh media, yang dikuasai incumbent, dengan menggambarkannya sebagai wujud keegoisan sang pemrotes. Anti-neolib lebih aman, karena SBY jelas-jelas ngerangkul anteknya neolib di Indonesia: Budiono.
Walau begitu persoalan demokrasi justru cukup penting dalam melawan neolib. Kaum neoliberalis sedapat mungkin melepaskan diri dari kontrol demokrasi, baik dengan menyuap utusan-utusan rakyat di DPR, maupun dengan memprivatisasi atau meliberalisasi fungsi-fungsi negara. Pendidikan yang kewajiban negara; coret, jadikan badan hukum/perusahaan. Kesehatan, Telekomunikasi, Energi, BBM,....daftar jagal kaum neoliberal sangat panjang. Hanya dengan kontrol demokrasi yang utuh maka kesewenang-wenangan kaum neoliberal ini bisa dibendung. Demokrasi utuh maksudnya adalah yang mensyaratkan akses informasi yang luas, bukan yang dibentuk semata-mata oleh korporasi media mainstream, serta aturan legislasi yang inklusif, tidak diskriminatif.
Mungkin, secara praktisnya, perlu mulai dipikirkan bagaimana mekanisme elektoral yang lebih baik, yang bisa menjamin independesi KPU, meminimalisir rekayasa dapil atau kecurangan lainnya maupun mengontrol intervensi kekuatan opini seperti media dan lembaga survey swasta. Mungkin juga sudah saatnya mempelajari ide-ide yang lebih partisipatoris seperti pengaturan plebisit/referendum untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang kontroversial dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak, sehingga rakyat memiliki kekuatan langsung dan legal dalam menolak penerapan legislasi dan kebijakan neoliberal, bukan lagi diserahkan kepada anggota DPR yang tidak susah untuk dibeli, maupun eksekutif yang sering kali tak berdaya di hadapan kepentingan finansial global. Tentu ini mensyaratkan perubahan legal yang lebih mendalam, yakni amandemen konstitusi. Dan ini perlu diusung oleh suatu gerakan politik persatuan yang nyata.
Demokrasi pada 2009 telah berjalan semakin cacat dibandingkan lima tahun lalu. Mereka yang peduli pada tetap terbukanya ruang demokrasi, apalagi memperdalam demokrasi, mestinya perlu mengevaluasi ini untuk merumuskan langkah ke depan. Gerakan pro-rakyat saat ini memang perlu mundur sementara untuk merapatkan barisan, karena perlawanan harus berlanjut selama penindasan berseru "lanjutkan."***