Politik Yang Tidak Perlu Massa-rakyat

A. Made Tony Supriatma

MUNGKIN tidak banyak disadari, sebuah gejala baru telah terjadi di dalam perpolitikan Indonesia. Tidak sulit diraba sebenarnya.

Bagaimana mungkin sebuah partai tanpa basis organisasi yang solid – juga tanpa ideologi yang jelas -- seperti partai Demokrat, bisa menempatkan diri pada urutan pertama dalam pemilihan legislatif?

Bagaimana mungkin seseorang yang hanya mengandalkan image politiknya, bisa menjadi sedemikian popular dan menang dalam pemlihan presiden hanya dalam satu putaran?

Mau tidak mau, kita dipaksa untuk menemukan karakteristik yang baru dalam perpolitikan Indonesia.

Politik Aliran

Para pemerhati Indonesia selama bertahun-tahun memperhatikan politik aliran. Istilah ini ditemukan pertama kali oleh antropolog Clifford Geertz, untuk tingkah laku politik orang Jawa. Pemilih Jawa, kata Geertz, tidak memilih berdasarkan kasta sosial melainkan nilai ‘keagamaan’.

Hasil analisis antropologi ini merambah ke mana-mana. Bahwa PNI (Partai Nasional Indonesia), adalah partainya para priyayi (para aristokrat dan birokrat). Bahwa Masjumi dan NU (Nahdlatul Ulama), adalah partainya orang santri. Dan bahwa orang-orang abangan (kelas bawah yang rasa keagamaannya sinkretik) cenderung untuk memilih PKI (Partai Komunis Indonesia) atau partai-partai kiri dan nasionalis.

Pemilihan umum tahun 1950an, sangat kuat merefleksikan tingkah laku ini. Tidak saja di Jawa namun juga di luar Jawa. Masjumi berjaya di daerah-daerah yang Islamnya taat. PKI dan partai nasionalis hanya kuat di Jawa yang memang sangat sinkretik.

Pada jaman Orde Baru, sekalipun partai-partai politik digencet habis-habisan, toh politik aliran tidak mati. Golkar menjadi partainya para priyayi. PPP menjadi representasi politik santri. Dan, PDI menjadi representasi kaum abangan, yakni kelas bawah yang sembahyangnya kurang.

Analisis ini menurut saya agak mengabaikan realitas. Di tingkat masyarakat perubahan-perubahan yang mendasar juga telah terjadi.

Lingkaran Konsesi

Apakah yang berubah dari 30 tahun lebih pemerintahan Orde Baru? Seorang pemerhati tentara, Prof. Jun Honna, pernah menulis bahwa Orde Baru dikuasi oleh trilogi: tentara, birokrat, dan elite bisnis. Inilah yang dia sebut sebagai ‘lingkaran konsesi” (concession circle).

Setiap elemen dari lingkaran konsesi ini punya peranan. Tentara tugasnya memberangus mereka yang membangkang dari garis politik rejim. Golkar dan birokrat fungsinya selain mengamankan legitimasi, juga mengamankan kontrak-kontrak ekonomi. Sementara elite pengusaha menjadi pensuplai dana baik untuk militer, Golkar, maupun birokrat. Lingkaran konsesi ini berjalan sangat baik, mulai dari tingkat nasional hingga lokal. Itulah yang memungkinan Orde Suharto, bertahan lebih dari tiga dekade.

Setelah jatuh pun, sisa-sisa lingkaran konsesi ini masih berjalan. Golkar menjadi partai dengan suara terbanyak dalam pemilu parlemen tahun 2004.

Ada satu hal penting yang patut digarisbawahi dari politik aliran dan politik berbasis lingkaran konsesi ini. Itu adalah kekuatan nilai atau ‘ideologi’ (dalam politik aliran) dan kekuatan institusi (dalam lingkaran konsesi). Nilai adalah semen perekat, yang mampu membuat pengikut partai untuk “pejah gesang” (hidup atau mati) bersama partai. Sementara, kekuatan organisasional mampu mengikat para elite untuk bersama-sama berkuasa sambil menindas yang menentang.

Jika yang pertama mengandalkan ‘passion’ dari para pengikut, yang kedua merupakan buldozer yang membuat rata setiap hal yang dianggap sebagai perintang. Kedua-duanya memiliki basis nilai dan basis material yang terlihat dengan jelas. Keduanya bercermin pada realitas. Yang pertama bercermin pada kekuatan realitas di masyarakat. Bahwa orang menjatuhkan pilihan politiknya karena afiliasinya terhadap suatu nilai.

Sementara yang kedua, betapapun buruknya, bercermin pada kekuatan pihak yang berkuasa. Koalisi kekuatan senjata, kekuatan birokratis, dan kekuatan ekonomi itu memungkinkan kekuasaan itu berjalan. Sekalipun dengan penindasan.

Bribing The Masses?

Media massa di Indonesia, sedikit sekali melaporkan bagaimana mesin-mesin politik dari partai Demokrat bekerja. Namun, dari laporan-laporan yang minim itu, saya berusaha mengendus apa yang berubah dari politik Indonesia. Saya sampai pada beberapa kesimpulan yang bersifat sementara. Butuh riset yang baik untuk mendapatkan data dan analisis yang baik.

Satu pendapat yang akhir-akhir ini dominan adalah kemenangan Demokrat dan Yudhoyono adalah karena BLT (bantuan langsung tunai). Kebijakan populis, yang mirip dengan strategi Thaksin Sinawatra di Thailand ini, kabarnya diterapkan setelah Yudhoyono sadar akan ketidakpopuleran menaikkan harga BBM. Harga yang dibayar untuk kebijakan populis ini sekitar US$2 Milliar. Tidak sedikit untuk ukuran APBN Indonesia.

Sebenarnya, Yudhoyono membayar itu dari subsidi BBM. Dengan kata lain, ia mencabut subsidi dan memberikan uang itu kepada golongan miskin dan setengah miskin. Menurut Majalah Tempo, program BLT itu berimbas kepada sekitar 72 juta penduduk RI.

BLT ini seperti menembak dua burung. Secara ekonomis menguntungkan, semacam duit untuk menstimulasi ekonomi, dengan mendorong konsumsi sehingga produksi juga bisa terangkat. Salah satu faktor Indonesia tidak terkena krisis, karena kini ekonomi Indonesia lebih mengandalkan pasar domestik. Apakah BLT ada sumbangannya? Secara pasti kita tidak tahu. Tapi secara logika, mungkin iya.

Secara politik, yang paling diuntungkan adalah Yudhoyono. Bagaimanapun juga dia dikenang sebagai penebar duit. Dengan “menyuap” massa-rakyat pemilih, tidak heran kemenangan mutlak bisa diraih.

Partai Catch-All dan Citra

Sementara partai Demokrat menangguk untung besar dari Yudhoyono, partai ini tidak memiliki ideologi. Ia bisa dikategorikan sebagai partai catch-all. Siapa saja dan apa saja bisa masuk, asalkan memberikan kenaikan suara. Partai ini juga tidak memiliki struktur yang rapi seperti Golkar atau PDI-P. Jangan bandingkan dengan Partai Keadilan Sejahtera.

Namun, justru absennya organisasi dan ideologi ini membuatnya fleksibel. Ia bisa berkoalisi dengan siapa saja.

Bila di partai lain arah dan kebijakan ditentukan oleh para ideolog partai, di dalam Demokrat arahnya ditentukan oleh pribadi Yudhoyono. Hampir semua elemen Demokrat bergantung pada Yudhoyono, sebagai komoditi paling berharga. Tanpa Yudhoyono, tidak akan ada partai Demokrat. Sebaliknya, Yudhoyono bisa eksis tanpa Partai Demokrat.

Demikian sentralnya figur Yudhoyono, sehingga yang bekerja paling keras adalah tim pencitraan. Jadilah Yudhoyono muncul sebagai penyanyi, sebagai presiden, sebagai bapak, sebagai reformis, dan lain sebagainya. Tidak ada presiden Indonesia yang punya kualitas sebanyak Yudhoyono. Dan itu semua berkat kerja tim pencitraan. Tidak heran jika beberapa konsultan asing juga terlibat dalam tim pencitraan ini.

Hal lain yang juga absen di partai Demokrat adalah ideolog-ideolog partai. Konsekuensi yang wajar karena memang partai catch-all tidak memiliki ideologi.

Lalu bagaimana menjalankan mesin partai? Dalam partai tradisional, partai dijalankan oleh kader. Kader ini diikat oleh nilai-nilai (ideologi), dipelihara militansinya, dan setiap kali diberikan pendidikan politik. Untuk partai catch-all hal ini tidak diperlukan dan bahkan dianggap usang. Kader-kader digantikan oleh kontraktor-kontraktor politik. Kader digantikan oleh tukang-tukang politik (political engineers) yang dipersenjatai dengan survey dan iklan. Bahkan, penciptaan isu-isu dan central-command pun dipegang oleh para kontraktor dan tukang-tukang politik ini.

Kemampuan mereka sangat tidak bisa diremehkan. Mereka sangat ahli dan memiliki gelar doktor ilmu politik dari universitas-universitas terkemuka di Amerika. Mereka sangat sadar bahwa ilmu, seperti survey, itu bebas nilai. Dan karena itu bisa dipakai sebagai indikator, dan sesekali untuk memanipulasi opini publik juga.

Apa Yang Hilang?

Partai catch-all tidak memerlukan massa. Untuk dipilih ia memerlukan teknik untuk memanipulasi. Itu dilakukan lewat image. Tidak begitu mengherankan, jika pengeluaran partai yang paling besar adalah untuk biaya iklan, konsultan, dan kontraktor politik.

Partai ini tidak perlu kelas menengah, apalagi kelas buruh militan. Tidak juga ideologi. Kalaupun mungkin perlu label ideologi, maka pragmatisme adalah ideologinya.

Seperti Thaksin Sinawatra di Thailand, Berlusconi di Italia, atau rejim-rejim populis lainnya, begitu berkuasa dia akan membeli lapisan elite ekonomi – dan mengenyahkan elit ekonomi yang dianggap menjadi penghalang. Ujung-ujungnya, elite-elite inilah yang akan menyokong biaya pencitraan.

Pada akhirnya, yang hilang di sini adalah massa-rakyat. Mereka diperlukan hanya di saat-saat pemilihan. Inilah barangkali, apa yang dikatakan oleh filsuf Perancis Jean Baudrillard , sebagai simulacrum.***


A. Made Tony Supriatma, bekerja sebagai tukang sebar kabar/berita. Suami dari seorang istri dan ayah dari seorang anak.