Arianto Sangaji
PERNYATAAN SBY menanggapi serangan barbar di Jakarta (17/8/2009) dinilai akan ikut menyuburkan spekulasi bahwa peledakan bom terkait rangkaian kekerasan seusai pilpres.
Teror-teror yang terjadi, termasuk kasus penembakan di Papua, dispekulasikan sebagai bagian dari kekerasan yang terkait perebutan kekuasaan (election-related terrors). Spekulasi ini bersandar pada teori kaitan terorisme dengan politik negara.
Di negeri di mana sejarah perebutan kekuasaan selalu penuh intrik dan berdarah-darah, spekulasi selalu tumbuh subur. Apalagi negeri ini tidak punya tradisi menginvestigasi dan mengungkap kasus-kasus kekerasan politik yang melibatkan elite politik. Padahal, usaha seperti itu penting, bukan saja mencegah setiap spekulasi dapat dianggap sebagai kebenaran, tetapi juga memberi pelajaran baik bagi perpolitikan bangsa.
Keterlibatan JI
Kendati masih perlu pengujian, pejabat keamanan di Jakarta telah membuat pernyataan yang lebih fokus terkait dugaan pelaku peledakan bom. Dugaan itu mengaitkan JI atau organisasi pecahan pimpinan Noordin M Top di balik serangan.
Dasar tuduhan itu, karena aparat keamanan memiliki informasi lengkap tentang ”apa dan siapa” organisasi ini. Mereka menguasai anatomi JI, faksi-faksi, anggota, dan bekas anggotanya, modus operandi, kekuatan dan potensi serangan. Informasi itu amat lengkap sehingga menjadi rujukan puluhan publikasi aneka lembaga pemikiran di bidang keamanan dan terrorism experts yang dekat dengan pemerintah di kawasan Asia Tenggara.
Dugaan itu senada pandangan resmi global tentang JI sebagai organisasi teroris internasional seperti disebut PBB mengingat wilayah operasinya di beberapa negara ASEAN dan memiliki hubungan dengan Al Qaeda. Apalagi dalam Global War on Terror (GWOT) yang diperkenalkan Presiden Bush, dengan kawasan ini sebagai second front, JI adalah target utamanya.
Namun, jika faksi paling radikal dari pecahan JI terbukti pelaku peledakan bom, ini adalah tamparan bagi pemerintah. Amat ironis saat aparat keamanan sedang mengejar Noordin M Top, faksinya melakukan serangan penting. Peledakan bom Hotel JW Marriott yang pernah mengalami teror dan Ritz-Carlton menunjukkan peledakan bom itu dirancang matang. Kegagalan aparat keamanan memperkirakan dan mencegah serangan berulang ini patut dipertanyakan.
Di sisi lain, jika pelakunya Noordin M Top dan jaringannya, jelas serangan ini bukan urusan politik domestik, tetapi soal global. Di sini letak kelemahan paling mendasar dalam mengenali organisasi seperti JI dengan menganggap fundamentalisme kekerasan agama sebagai asal- usul penyakit tunggal. Pandangan hitam putih ini mengikuti keyakinan Bush dalam GWOT yang melihat terorisme sebagai produk evil ideology.
Padahal, secara global terbukti, berbagai kebijakan imperialisme AS di bawah Bush, misalnya dengan menduduki Irak, telah memainkan peran penting dalam menciptakan dan menyuburkan aksi-aksi teror transnasional.
Konstruksi teori terorisme dalam konteks global seperti ini perlu digali lebih dalam guna mengenali aksi teror di Jakarta, termasuk mengaitkan dengan berbagai serangan pengeboman di Irak, Afganistan, Pakistan.
Perhatian
Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, mendorong polisi mengungkap tuntas kasus ini. Pengungkapan seharusnya lebih mudah karena pelaku meninggalkan bukti-bukti forensik, seperti sidik jari, DNA, data komunikasi komputer dan telepon, rekaman CCTV, transaksi keuangan, dan lainnya di kedua hotel. Dengan peralatan, keahlian, dan pengalaman, Polri pasti bisa mengungkapnya.
Kedua, secara paralel, sebaiknya pemerintah dan DPR membentuk komisi untuk mengumpulkan informasi terkait peledakan bom dan melihat seberapa jauh aparat keamanan memiliki informasi intelijen tentang serangan dan antisipasi yang dilakukan. Ini penting guna menilai kinerja aparat keamanan sekaligus mencegah politisasi tidak perlu dari peledakan bom ini.
Ketiga, hindari solusi-solusi dangkal ekonomi dan politik menyusul barbarisme ini. Misalnya, tidak membiarkan para pendukung neoliberal menunggangi peristiwa ini untuk memaksakan agenda fundamentalisme pasar, termasuk melucuti peran tradisional aparat keamanan negara dan menggantinya dengan private security companies (PSCs) yang tumbuh subur dalam industri GWOT, tetapi gagal memerangi terorisme.
Organisasi masyarakat sipil juga perlu meninjau ulang proyek-proyek ”bencana” yang menunggangi ide-ide pluralisme dan sebagainya yang kerap mengucur seusai peristiwa semacam, tetapi tidak punya efek domino terhadap berulangnya kekerasan berdalih fundamentalisme agama. Dari Disaster Capitalism, Naomi Klein memberi inspirasi untuk memerangi hasrat meraup profit di atas lumuran darah.***
Arianto Sangaji Pemerhati Masalah Terorisme
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Rabu, 22 Juli 2009. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.