Prastowo Justinus
Who control the past control the future,
Who control the present, control the past.
( George Orwell )
DARI pelajaran sejarah kita menjadi maklum, betapa masa lalu selalu menarik dan penting diperebutkan. Sungai waktu menjadi saksi, sejarah adalah kisah tentang pemenang, dan jelaslah bahwa kebenaran sejarah tak ubahnya sebuah rekonstruksi kebenaran oleh penguasa, demi memeroleh pijakan bagi masa kininya. Memungut puing masa lalu kemudian menyusun bangunan kisah yang lain pastilah mengandung bahaya, menjadi subversif, persis karena masa depan begitu sulit digenggam oleh status quo.
Satu kisah malang juga menimpa demokrasi. Mungkin ia kini menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan sebagai mantra sekaligus penanda, bahwa saya adalah bagian dari dunia kebanyakan. Tetapi, olehnya pula, demokrasi mudah jatuh dalam pengertian yang dangkal. Demokrasi lalu kawin-mawin dengan beragam ideologi dan pemikiran, dan di negeri ini belumlah sahih ucapan seseorang jika belum menyeru dirinya seorang ‘demokrat,’ atau belum fasih bertutur tentang demokrasi.
Baiklah, mari kita uji ikhwal demokrasi itu sendiri, dengan belajar dari masa lalu. Dengan resiko, kita buru-buru dituduh usang dan kuno, terlalu romantisis, bahkan sentimentil. Namun mari dicoba, barangkali itu juga cermin ketakutan dari hilangnya kuasa atas masa kini, persis ketika kita memeroleh sesuatu yang berbeda dari hasil berguru ke masa lalu.
Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos, dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957). Karenanya kita perlu memikirkan definisi demokrasi secara lain akibat kedangkalan dan pemburukan makna ini.
Berguru ke masa lalu tak serta merta mengikat dan menjadi keharusan bila makna hakiki ditemukan di masa kini. Ia menjadi normatif saat apa yang ada sekarang dirasakan tidak memadai. Yang jelas, reduksi demokrasi pada sekedar sebuah sistem voting, yakni penentuan putusan atas dasar suara terbanyak, adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Dalam literatur kita mengenal setidaknya tiga model rejim: monarchia (monos = sendiri), oligarchia (hoi oligoi = sedikit), dan demokratia. Memperhatikan tiga model ini saja kita dapat mulai bertanya, pertama mengapa yang disebut terakhir tidak merujuk pada jumlah? Demokrasi, dengan kata demos tak merujuk pada jumlah melainkan pada “tubuh kolektif”.
Jelas bahwa demokrasi tidak tepat untuk disodori pertanyaan berapa banyak yang berkuasa? Istilah Yunani yang merujuk istilah “yang banyak” adalah hoi polloi dan sejauh kita melacak ke literatur klasik, tak ditemukan istilah pollokratia, dan jika pun istilah poliarchia ada, itu tak lebih dari olok-olok kemudian terhadap demokrasi oleh pendukung oligarkhi. Kedua, mengapa yang disebut terakhir memiliki unsur bentukan yang berbeda? Jika monarchia dan oligarchia memiliki sufiks (berakhiran) –arche, demokrasi berakhiran –kratos. Di sini kita dapat mengajukan simpulan sementara bahwa kratos memiliki arti atau makna yang berbeda dengan arche. Untuk membantu kita mendedah beda yang terperam, baiklah kita menengok ke Max Weber.
Perspektif Weberian dapat memandu kita menilik makna kratos ini, ketika Weber membedakan Herrschaft (basis legitimasi ) dan Macht (kekuasaan belaka ) atas dasar legitimasi. Istilah arche dan kratos dapat diteropong dari sudut legitimasi ini. Arche memiliki makna “asal usul”, “imperium atau lembaga kekuasaan yang hegemonik”, atau “magistrasi”. Intinya arche menunjuk pada lembaga kekuasaan (office), baik oleh satu orang (monos) dalam monarchia atau oleh beberapa orang (oligos), dalam oligarkhia. Sebaliknya, kratos tidak pernah terkait dengan office (lembaga), melainkan pada power (kekuasaan).
Akan tetapi kekuasaan dalam arti apa? Ada tiga arti bagi kratos, yang merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Melalui analogi pada istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah publik. Dengan demikian kratos - dalam pemakaian sebagai sufiks model-model rejim – berarti kapasitas untuk melakukan sesuatu. Implikasinya adalah demokratia tidak pernah berarti “demos yang memonopoli lembaga-lembaga kekuasaan”, dan tidak sekedar bermakna “demos yang memiliki kekuasaan monopolistik di antara pemegang kekuasaan lain dalam sebuah Negara”. Demokratia adalah kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum. Praktik berdemokrasi di zaman Yunani antik juga tak melulu berpusat pada voting. Bahwa voting perlu bagi pengambilan keputusan tidak dimungkiri, namun prinsip utamanya adalah demos terpilin atas tubuh individual yang secara sosial berbeda, keunikannya dihargai, dan masing-masing mampu memilih secara bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Bahkan mengenai siapa yang memeroleh giliran memimpin, kita bisa lakukan undian atau lotere.
Belajar dari masa lalu, kita bertanya, sejak kapan istilah demokrasi dipadankan dengan “kekuasaan oleh mayoritas” atau “pengambilan keputusan melalui voting”? Tampaknya itu dimulai ketika terbit pamphlet oleh pendukung rejim oligarkhia di abad ke-5, yang mengolok-olok demokrasi sebagai kemerosotan akibat pemerintahan oleh “mereka yang banyak”, yakni si miskin. Kini kita dihadapkan pada dua soal itu, pengagungan voting sebagai satu-satunya mekanisme pengambilan keputusan dan mendaku suara terbanyak sebagai representasi kedaulatan rakyat. Dari tilikan praktik zaman antik, keduanya memang bagian dari sejarah, namun bukanlah contoh baik bagi sebuah virtue (keutamaan). Barangkali terlalu mewah berbicara tentang kebaikan umum, kesetaraan, atau kapabilitas. Kita hidup dalam mentalitas pasar, di mana aku berjuang bagi keuntunganku, tidak lebih, dan pasar lebih mengandaikan dan menyukai orang sebagai kerumunan, bukan jejaring individu yang sadar akan hak dan kapasitasnya.
Membandingkan kekayaan pemikiran dan praktik masa lalu dengan praktik dan pemikiran masa kini, kita pantas malu tatkala di abad ke-5, polemik anti-demokrasi mengemuka dan persis mewartakan apa yang kurang lebih kita saksikan akhir-akhir ini, bahwa hampir semua politisi memahami demokrasi sebagai kekuasaan oleh mayoritas, dan karenanya mereka pun berlomba menjadi pemenang, padahal kesadaran dan keikhlasan menjadi pecundang yang fair juga bagian dari kualitas unggul. Yang di zaman lalu bahkan dihargai dengan cara lotere, kini diutamakan, dan sebaliknya yang di masa lalu dianggap penting yakni kesetaraan, penghargaan akan perbedaan, dan penempatan bonum commune sebagai telos kini sama sekali tak disinggung sebagai keutamaan etis. Menghargai kapabilitas dan kesetaraan individu berarti menyodorkan konsep, program, mengajak diskusi dan berdebat secara sehat, tak sekedar memajang gambar molek, slogan narsis, dan janji utopis.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penentuan anggota legislatif dengan suara terbanyak tampaknya bagian dari kesalahpahaman terhadap konsep inti demokrasi, di mana kedaulatan dikuantifikasi dan demokrasi dipahami sebagai praktik kekuasaan atau penguasaan lembaga kekuasaan. Sebaliknya kecurigaan pada oligarki oleh partai politik juga beralasan ditilik dari elitisme dan jauhnya aktivisme partai politik tentang pendidikan politik dan konsistensi pada fatsoen politik yang baik. Dan akhir-akhir ini diimbuhi taburan hasil jajak pendapat, bahkan iklan yang menamai diri dengan ‘demokrasi’ namun sama sekali tak melakukan pendidikan publik, bahkan sekedar menggiring opini publik secara dangkal.
Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asali. Lebih mengkhawatirkan jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi dalam pemilihan umum yang dianggap mewakili mayoritas. Tanpa pendidikan politik, pada akhirnya pertunjukkan politik negeri ini terasa sedemikian hambar dan menyesatkan. Hanya bertarung melalui citra dan polesan iklan, saling mendaku keberhasilan tapi emoh mengakui kegagalan dengan rendah hati. Di mana-mana hantu bergentayangan siap menyandera daulat rakyat kembali menjadi daulat tuanku. Dan agaknya pepatah kuno tetaplah nyaring bergema ‘tak ada sesuatu yang baru di muka bumi’.***
Justinus Prastowo, Aktif di Komunitas Filsafat AGORA, Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara – Jakarta.